LOGIN“Formidable, mon amour.”Kalimat itu membuat seorang perempuan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan tuxode hitam dan sepatu mengkilap yang selalu terlihat luar biasa.“ABANG!”Teriak Biya dan memeluk abangnya erat.“Selamat sudah lulus secara cumlaude, adek abang tersayang,” ucapnya sambil membalas pelukan Biya.“Hadiah,” pinta Biya sambil bergelanyut manja di pelukan Arsen.“Iya, di rumah ya.”Tiga tahun sudah berlalu sejak hari di ruang sidang itu, hari ketika semua hal berantakan tapi sekaligus mulai pulih.Abiya Ardhanaya, gadis yang dulu hidup di bawah bayang-bayang dendam dan cinta salah arah, kini berdiri di panggung kehormatan universitas mode di Paris, mengenakan toga dengan pita merah dan topi yang hampir jatuh karena angin musim semi yang lembut.Gadis itu berhasil. Bukan hanya lulus, tapi cumlaude.Sebuah pencapaian yang tidak hanya membuktikan kepintarannya, tapi juga keberaniannya untuk bertahan.Dan Arsen, pria yang dulu marah dan membuat Biy
Arsen memalingkan wajah, tapi genggaman Biya membuatnya sulit benar-benar pergi. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama mengganjal di dadanya.“Jangan nangis, Biya. Abang nggak mau lihat kamu kayak gini,” suaranya serak, tapi dingin.“Abang, maaf,” Biya mendongak, air matanya jatuh deras, suaranya pecah. “Abang boleh marah, abang boleh Jijik sama aku, abang a-aku yang-”“Cukup.”Satu kata itu membuat Biya terdiam. Tatapan Arsen tajam, tapi di baliknya ada luka, ada ketakutan.“Abang nggak mau tahu siapa yang mulai. Karena, yang abang tahu, kamu adik abang, dan kita disini untuk selesain masalah mama dan papa. Setelah semuanya selesai, kita kembali ke swiss, atau kalau perlu kita pindah negara.”Biya menunduk, bahunya bergetar. “Abang.”“Kamu bisa mulai hidup baru dengan bebas. Karena kali ini kita nggak perlu lagi pakai nama samaran, abang akan pastikan kalau bagas nggak akan sentuh kamu atau nemuin kamu lagi. Kamu juga bisa lanjut kuliah lagi, kamu bisa lakui
Arsen menarik kerah kemeja Bagas kasar, napasnya memburu, matanya menyala penuh amarah. “Untuk apa? Untuk apa dia datang ke lo, hah?!”Bagas memejamkan mata sejenak, darah segar di sudut bibirnya kembali menetes, tapi suaranya tetap tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja dipukuli habis-habisan.“Untuk memohon… supaya saya mengajarinya berciuman,”Ruangan itu langsung membeku.Arsen menatapnya tak percaya, napasnya terhenti di tenggorokan. “APA?!” serunya, mendorong tubuh Bagas hingga terhempas ke dinding.Tapi Bagas tetap tidak melawan. Ia justru tertawa kecil, getir, pahit, tawa yang lebih terdengar seperti luka.“Lucu ya, Sen. Dari semua hal yang bisa diminta seorang mahasiswi 22 tahun, dia memilih itu. Bukan karena nafsu, bukan karena iseng, tapi karena katanya, dia dipermalukan tidak bisa berciuman, bercinta oleh mantannya.”Arsen membeku. Urat di pelipisnya menegang, matanya membulat tajam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Lo bilang apa ba
Bagas menunduk, menatap cairan merah tua di gelasnya yang berputar perlahan, seolah mencari jawaban di dasar wine."Pandai sekali kamu dalam menebak isi hati saya. Apa begitu terlihat kalau saya terlalu mencinta gadis itu?" tanya Bagas dengan tatapan masih ke dalam wine.Suara di seberang sana sempat terhenti beberapa detik sebelum Nando menjawab dengan hati-hati,“Saya bekerja cukup lama dengan Bapak untuk tahu, kapan sesuatu atau seseorang mulai menggoyahkan fokus Bapak.”Bagas tersenyum tipis, getir. “Jadi saya benar-benar terlihat selemah itu, ya?”“Tidak, Pak,” balas Nando cepat. “Hanya sedikit berbeda. Biasanya Bapak memisahkan segalanya dengan rapi antara pekerjaan, emosi, bahkan rasa marah. Tapi sejak ada Nona Biya, batas itu mulai kabur. Begitu juga dengan kasus yang sudah bertahun-tahun Bapak kejar, nyatanya sekarang Bapak rela memberikan keringanan hanya karena mereka orang tua Non Biya."Bagas terdiam. Jemarinya mengetuk perlahan sisi gelas yang kini setengah kosong, mencip
“Aku habis berenang, Bang di kolam renang umum. Biar seger hehe.”Nada ringan itu terdengar terlalu dibuat-buat di telinga Arsen. Sama seperti kemarin, jawaban yang tidak masuk akal, senyum yang sama, tapi ada sesuatu yang tidak sama dari sorot mata Biya.Ada tenang yang aneh, tenang yang justru membuat Arsen ingin bertanya lebih jauh. Tapi sayangnya si abang menahan diri. Untuk sekarang, akan lebih baik fokus pada pengajuan banding, bukan pada sesuatu yang bahkan belum bisa di jelaskan.Namun malam itu, ketika Arsen lewat di depan kamar Biya, langkahnya terhenti. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, dan sosok adiknya duduk di tepi ranjang, dengan rambut tersingkap sebelah. Arsen melihat tanda merah samar yang sejujurnya sejak kemarin adiknya itu memakai syal kecil- yang Arsen kira itu sebagai fashion saja."Biya?" panggilnya pelan dari depan pintu.Tubuh adiknya itu menegak cepat, bahunya kaku, lalu buru-buru menarik rambutnya agar menutupi semua sisi lehernya."Bang? Belum ti
Gigitan ringan Bagas di puncak itu, tepat di klitoris yang membengkak oleh hasrat, membuat Biya menggelinjang hebat, pinggulnya bergoyang insting, mencari lebih banyak tekanan."M-Mas... ahh... terlalu... dalem," desahnya, suaranya pecah, tangannya mencengkeram dada Bagas lebih kuat, merasakan otot-otot keras di bawah telapaknya yang basah.Bagas tak menjawab dengan kata-kata, hanya dengkuran rendah yang teredam, getarannya merambat ke seluruh tubuh Biya seperti arus listrik. Mulutnya bekerja dengan rakus tapi terhitung, lidahnya berputar pelan di sekitar lubang yang masih berdenyut dari kenikmatan sebelumnya, menyedot lembut hingga Biya merasa seperti akan runtuh.Biya tertarik pada pemandangan di sana, kejantanan Bagas yang tegak sempurna, panjang dan tebal, urat-uratnya menonjol biru di bawah kulit yang berkilau basah, ujungnya merah muda dan basah oleh cairan orgasme yang menetes pelan ke lantai ubin. Itu seperti patung Yunani yang hidup, berdenyut pelan mengikuti ritme hisapan Ba







