MasukMelewati lamanya perjalanan menuju Italia dan menuju apartemen sementaranya. Bagas sama sekali tidak membuka suaranya.Sejak tadi pria itu hanya menatap keluar jendela mobil, mengikuti bayang-bayang lampu kota yang memantul di kaca. Sesekali jemarinya mengetuk pelan pahanya, kebiasaan yang muncul ketika kepalanya terlalu penuh.Sopir yang menjemput mereka sudah beberapa kali melirik lewat kaca, memastikan apakah dua orang itu lelah atau sekadar murung. Tapi Bagas tetap seperti patung, diam, tegak, dengan rahang yang sesekali mengencang. Begitu mobil berhenti di depan gedung apartemen, Bagas baru bersuara—hanya satu kata.“Turun.”Biya mengikuti langkah Bagas dengan ragu. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer lobi, gema halus yang terasa terlalu keras dalam kesunyian itu.Lift naik perlahan. Di sudut lift yang luas dan mewah itu, Bagas berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menunduk, napasnya dalam tapi tidak stabil.Biya menatapnya pelan. “Kalau capek, tidak perlu menganta
"Sunshine, I miss you so much."Seorang perempuan yang berpakaian seksi memeluk Bagas. Seorang perempuan yang selalu menempel pada Bagas sejak keduanya bertemu di Italia. "Fuck off. Why are you here?" Bagas mengernyitkan dahi. Seingatnya, tidak pernah memberitahu Valerie akan kepergiannya ke Perancis. Namun, bagaimana bisa perempuan itu tahu dan kembali mengikutinya. "Because I miss you, iam your angel, so thats why i have to always by your side."Jelas. Valerie sedang mabuk dari caranya berbicara, baunya saat berbicara."Oh God," keluh Bagas.Lengan besar itu membawa tubuh Valerie masuk ke kamar hotel dan menendang pintu agar tertutup. Bagas mengeluh akan masalah yang selalu dihadapinya saat bertemu dengan Valerie, seperti membawanya pulang dengan selamat saat mabuk."Berat, selalu menyusahkan," lagi-lagi Bagas mengeluh.Bagas melemparkan tubuh Valeris ke kasur tapi sayangnya lehernya juga tururt di tarik. Tubuh mereka hampir bertubrukan.“Shit, Valerie, let go!” Bagas berusaha me
"ITALI?!" Teriakkan Arsen memenuhi apartemen mereka. Biya baru saja memberitahu abangnya bahwa ia mendapatkan kerja sama di perusahaan Italia- tentunya tanpa memberitahu bahwa perusahaan itu milik Bagas. "Abang, apaan sih. Lebay banget," keluh Biya sambil menggosok telinganya, sakit mendengar teriakan Arsen."Abang nggak kasih ijin.""Dih, ini kan mimpiku. Lagian abang udah janji kan kalau mau mendukung adik kecilmu ini meraih mimpinya," ucap Biya mendramatisir keadaan. "Tapi nggak pindah negara juga, dek. Abang khawatir.""Abang, aku udah gede loh. Udah 28 tahun ini."Arsen memutar bola matanya, menatap adiknya yang kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya persis seperti dulu saat merengek minta izin main di taman belakang rumah."Umur nggak jamin kamu bisa jaga diri, Biya," sahutnya datar tapi dengan nada protektif khas seorang kakak yang sulit menurunkan egonya.Biya mendesah pelan, lalu menghampiri Arsen dan duduk di sebelahnya di sofa.“Abang, please. Ini bukan cu
"Selamat datang Ms. Abiya Ardhanaya."Rasanya begitu menganggumkan berada di sebuah tempat di mana mimpinya menjadi kenyataan. Paris Fashion GroupSebuah rumah utama bagi semua mode terkenal di Perancis. Dan, Biya akan menjadi salah satu di antara mereka."Kami senang sekali menantikan kerja sama dengan Anda. Mengingat saya sudah melihat beberapa koleksi yang Anda buat selama masa kuliah. Itu luar biasa."Biya tersenyum sopan, menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan.“Terima kasih banyak. Saya merasa terhormat bisa berdiri di sini,” ucapnya lembut, meski dalam dadanya ada perasaan campur aduk antara gugup dan bangga.Ruangan itu begitu elegan dengan dinding kaca tinggi, karpet merah muda pucat, aroma bunga peony yang lembut, dan cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke Rue Saint-Honoré. Semua terasa seperti mimpi yang akhirnya terwujud.“Saya masih ingat koleksi Anda yang bertajuk Rebirth. Itu seperti metafora kehidupan perempuan yang penuh luka tapi juga kuat. Apa itu
“Formidable, mon amour.”Kalimat itu membuat seorang perempuan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan tuxode hitam dan sepatu mengkilap yang selalu terlihat luar biasa.“ABANG!”Teriak Biya dan memeluk abangnya erat.“Selamat sudah lulus secara cumlaude, adek abang tersayang,” ucapnya sambil membalas pelukan Biya.“Hadiah,” pinta Biya sambil bergelanyut manja di pelukan Arsen.“Iya, di rumah ya.”Tiga tahun sudah berlalu sejak hari di ruang sidang itu, hari ketika semua hal berantakan tapi sekaligus mulai pulih.Abiya Ardhanaya, gadis yang dulu hidup di bawah bayang-bayang dendam dan cinta salah arah, kini berdiri di panggung kehormatan universitas mode di Paris, mengenakan toga dengan pita merah dan topi yang hampir jatuh karena angin musim semi yang lembut.Gadis itu berhasil. Bukan hanya lulus, tapi cumlaude.Sebuah pencapaian yang tidak hanya membuktikan kepintarannya, tapi juga keberaniannya untuk bertahan.Dan Arsen, pria yang dulu marah dan membuat Biy
Arsen memalingkan wajah, tapi genggaman Biya membuatnya sulit benar-benar pergi. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama mengganjal di dadanya.“Jangan nangis, Biya. Abang nggak mau lihat kamu kayak gini,” suaranya serak, tapi dingin.“Abang, maaf,” Biya mendongak, air matanya jatuh deras, suaranya pecah. “Abang boleh marah, abang boleh Jijik sama aku, abang a-aku yang-”“Cukup.”Satu kata itu membuat Biya terdiam. Tatapan Arsen tajam, tapi di baliknya ada luka, ada ketakutan.“Abang nggak mau tahu siapa yang mulai. Karena, yang abang tahu, kamu adik abang, dan kita disini untuk selesain masalah mama dan papa. Setelah semuanya selesai, kita kembali ke swiss, atau kalau perlu kita pindah negara.”Biya menunduk, bahunya bergetar. “Abang.”“Kamu bisa mulai hidup baru dengan bebas. Karena kali ini kita nggak perlu lagi pakai nama samaran, abang akan pastikan kalau bagas nggak akan sentuh kamu atau nemuin kamu lagi. Kamu juga bisa lanjut kuliah lagi, kamu bisa lakui







