LOGINPintu menutup dengan pelan, suara kecil yang terasa jauh lebih keras di telinga Bagas. Valerie masih berdiri di sampingnya, satu tangannya menggantung manja di bahunya.“Kok kamu bengong?” tanyanya sambil tertawa kecil, nada manja yang biasanya membuat Bagas malas merespons.Tapi kali ini berbeda. Bagas bahkan tidak berkedip, tatapannya tetap tertuju pada pintu yang baru saja tertutup itu seolah menunggu Biya muncul kembali. Yang tentu saja tidak terjadi.“Sunshine?” Valerie memanggil lagi.Bagas akhirnya mengalihkan pandangan, tapi rahangnya sudah mengeras. “Kamu tidak bilang akan datang.”Valerie tersenyum, tidak merasa bersalah sama sekali.“I miss you. Lagian kamu selalu welcome kalau aku masuk ruangan ini.” Ia menepuk dadanya sendiri dengan percaya diri. “Dan kamu biasanya nggak keberatan kalau aku-”“Valerie.” Nada suaranya jatuh, dingin. “Jangan ulangi itu kalau saya sedang meeting.”“Meeting?” Valerie tertawa seperti itu hal paling lucu di dunia. “Kamu meeting sama... asist-”
Ponsel Biya terus berdering, sedangkan si pemiliknya sedang sibuk beradaptasi di kantor baru. Abangnya itu sangat tidak sabar, padahal kemarin malam sudah ditelpon, dan Biya harus susah payah menyembunyikan suara serak sehabis menangisnya.Biya mengambil ponsel, mematikan suara, dan meletakkannya jauh-jauh.“Tenang, Abang, nanti ya aku telpon balik,” gumam Biya pelan.Suara seraknya masih tersisa, meski sudah tertutup make-up ringan. Biya bahkan harus menahan diri agar tidak terlalu banyak bicara tadi saat dikenalkan pada tim, takut getaran suaranya ketahuan.“Saya bisa lihat kamu gelisah,” ucap seseorang dari samping.Sekretaris Bagas, pria muda bernama Matteo, berdiri sambil membawa dua tumpuk dokumen. Senyumnya ramah, menenangkan, berbeda dengan persona CEO yang dingin itu- yang sayangnya sangat Biya pahami mengapa begitu."Ah maaf. Sepertinya karena ini hari pertama saya mulai bekerja," ucap Biya.Tidak berbohong karena demi Tuhan Biya semalamam kurang tidur karena efek kalimat hu
Melewati lamanya perjalanan menuju Italia dan menuju apartemen sementaranya. Bagas sama sekali tidak membuka suaranya.Sejak tadi pria itu hanya menatap keluar jendela mobil, mengikuti bayang-bayang lampu kota yang memantul di kaca. Sesekali jemarinya mengetuk pelan pahanya, kebiasaan yang muncul ketika kepalanya terlalu penuh.Sopir yang menjemput mereka sudah beberapa kali melirik lewat kaca, memastikan apakah dua orang itu lelah atau sekadar murung. Tapi Bagas tetap seperti patung, diam, tegak, dengan rahang yang sesekali mengencang. Begitu mobil berhenti di depan gedung apartemen, Bagas baru bersuara—hanya satu kata.“Turun.”Biya mengikuti langkah Bagas dengan ragu. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer lobi, gema halus yang terasa terlalu keras dalam kesunyian itu.Lift naik perlahan. Di sudut lift yang luas dan mewah itu, Bagas berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menunduk, napasnya dalam tapi tidak stabil.Biya menatapnya pelan. “Kalau capek, tidak perlu menganta
"Sunshine, I miss you so much."Seorang perempuan yang berpakaian seksi memeluk Bagas. Seorang perempuan yang selalu menempel pada Bagas sejak keduanya bertemu di Italia. "Fuck off. Why are you here?" Bagas mengernyitkan dahi. Seingatnya, tidak pernah memberitahu Valerie akan kepergiannya ke Perancis. Namun, bagaimana bisa perempuan itu tahu dan kembali mengikutinya. "Because I miss you, iam your angel, so thats why i have to always by your side."Jelas. Valerie sedang mabuk dari caranya berbicara, baunya saat berbicara."Oh God," keluh Bagas.Lengan besar itu membawa tubuh Valerie masuk ke kamar hotel dan menendang pintu agar tertutup. Bagas mengeluh akan masalah yang selalu dihadapinya saat bertemu dengan Valerie, seperti membawanya pulang dengan selamat saat mabuk."Berat, selalu menyusahkan," lagi-lagi Bagas mengeluh.Bagas melemparkan tubuh Valeris ke kasur tapi sayangnya lehernya juga tururt di tarik. Tubuh mereka hampir bertubrukan.“Shit, Valerie, let go!” Bagas berusaha me
"ITALI?!" Teriakkan Arsen memenuhi apartemen mereka. Biya baru saja memberitahu abangnya bahwa ia mendapatkan kerja sama di perusahaan Italia- tentunya tanpa memberitahu bahwa perusahaan itu milik Bagas. "Abang, apaan sih. Lebay banget," keluh Biya sambil menggosok telinganya, sakit mendengar teriakan Arsen."Abang nggak kasih ijin.""Dih, ini kan mimpiku. Lagian abang udah janji kan kalau mau mendukung adik kecilmu ini meraih mimpinya," ucap Biya mendramatisir keadaan. "Tapi nggak pindah negara juga, dek. Abang khawatir.""Abang, aku udah gede loh. Udah 28 tahun ini."Arsen memutar bola matanya, menatap adiknya yang kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya persis seperti dulu saat merengek minta izin main di taman belakang rumah."Umur nggak jamin kamu bisa jaga diri, Biya," sahutnya datar tapi dengan nada protektif khas seorang kakak yang sulit menurunkan egonya.Biya mendesah pelan, lalu menghampiri Arsen dan duduk di sebelahnya di sofa.“Abang, please. Ini bukan cu
"Selamat datang Ms. Abiya Ardhanaya."Rasanya begitu menganggumkan berada di sebuah tempat di mana mimpinya menjadi kenyataan. Paris Fashion GroupSebuah rumah utama bagi semua mode terkenal di Perancis. Dan, Biya akan menjadi salah satu di antara mereka."Kami senang sekali menantikan kerja sama dengan Anda. Mengingat saya sudah melihat beberapa koleksi yang Anda buat selama masa kuliah. Itu luar biasa."Biya tersenyum sopan, menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan.“Terima kasih banyak. Saya merasa terhormat bisa berdiri di sini,” ucapnya lembut, meski dalam dadanya ada perasaan campur aduk antara gugup dan bangga.Ruangan itu begitu elegan dengan dinding kaca tinggi, karpet merah muda pucat, aroma bunga peony yang lembut, dan cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke Rue Saint-Honoré. Semua terasa seperti mimpi yang akhirnya terwujud.“Saya masih ingat koleksi Anda yang bertajuk Rebirth. Itu seperti metafora kehidupan perempuan yang penuh luka tapi juga kuat. Apa itu