LOGINMalam itu, Biya kembali ke kamar pukul 7 malam dengan Arsen yang sudah menunjukkan raut khawatir dan sedikit marah- sepertinya."Abang," panggil Biya lirih saat melihat abangnya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. "Kamu habis dari mana aja, abang udah cariin di taman dan hotel nggak ada,""Mungkin pas abang ke taman, aku udah jalan ke tempat lain. Aku butuh udara segar, Bang. Lagi pula aku kangen Jakarta."Kalimat itu jelas bohong. Jelas saja- Abangnya itu tidak menemukannya karena dirinya sedang berada di kamar hotel milik Bagas dan sedang merasakan kenikmatan. Beruntung, dirinya mandi terlebih dahulu di kamar Bagas dan kembali ke kamar ini dengan kondisi normal. Arsen menutup laptopnya pelan, menatap adiknya dengan mata tajam tapi penuh lelah. “Kangen Jakarta, ya?” Nada suaranya datar, tapi Biya tahu betul bahwa Arsen sedang menahan sesuatu.Bukan hanya marah, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.“Iya, aku kangen semua hal disini” jawab Biya pelan, mencoba tersenyum
Keduanya langsung duduk tegap dan wajah Biya pias."Biar saya ambil, kamu tenang saja," ucap Bagas sambil berdiri dan melangkah untuk mengambil ponsel milik Biya. Akh!Biya berteriak karena Bagas langsung berdiri tanpa memakai celananya. Tapi, si pria justru hanya tersenyum kecil dan menghiraukan nya saja. Terlihat jelas bagaimana kejantanan pria itu yang masih berdiri tegak seolah tidak pernah puas. Benar saja, Bang Arsen- kontak yang tertulis disana sedang memanggil. "Makasih, Mas," ucap Biya duduk tegap dan menerima ponselnya. Baru saja Biya menggeser tombol hijau dan menerimanya, Bagas justru berjongkok dan melebarkan kaki Biya yang dihadiahi kebingungan darinya. "Kamu di mana, Dek?" tanya Arsen diseberang sana. Baru saja Biya akan menjawab, Bagas sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di area sensitif milik Biya. "Ah, A-aku ... a-aku cari angin, Bang." Bagas menahan tawa kecil di antara paha Biya yang mulai gemetar. Lidahnya bergerak perlahan, menggoda kelopak yang masih b
Cahaya kuning lampu kamar hotel menyorot lembut, memantul di kulit yang kini dipenuhi sisa kehangatan. Biya menyandarkan kepala di dada Bagas. Dada itu terasa hangat, berdebar pelan di bawah telapak tangannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia terasa berhenti, tidak ada suara, tidak ada kebencian, hanya dua manusia yang sama-sama kelelahan mencoba memahami bagaimana mereka bisa sampai di titik ini.“Setelah ini, gimana, Mas?” bisik Biya.Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti asap yang perlahan memudar tapi meninggalkan bekas yang lama hilangnya.Bagas tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar hotel, seolah sedang menimbang seribu kata tapi tak ada satu pun yang cukup tepat. Tangannya masih di punggung Biya, bergerak lambat dan hati-hati, seperti takut menyentuh sesuatu yang bisa membuatnya sadar akan realitas.“Saya juga tidak tahu, Biya,” ujarnya akhirnya, pelan tapi jujur. “Saya tidak tahu kenapa saya di sini bersama kamu. Saya t
Seolah lupa akan apa yang Bagas lakukan pada Biya saat di villa, gadis itu kini menikmati setiap sentuhan milik Bagas. Sampai akhirnya Biya tak sanggup lagi menahan. Tubuhnya menegang seperti busur yang ditarik penuh, jari-jarinya mencengkeram bahu Bagas hingga memutih, dan napasnya tercekat di tenggorokan."Mas, aku... aku," gumamnya terputus-putus, suaranya pecah jadi desahan panjang yang tak tertahankan.Lalu datanglah gelombang itu, deras, tak terkendali. Biya menjerit lirih, mulutnya tertutup rapat oleh tangannya sendiri, tapi suara itu tetap lolos dari sela-sela jari."Aaaahhh!" Pinggulnya bergetar hebat, mendorong wajah Bagas lebih dalam, dan cairan hangat mengalir deras dari dalamnya, membasahi lidah Bagas, dagunya, bahkan menetes ke lantai. Bagas tak mundur sedikit pun, ia tetap jongkok, mulutnya menangkap setiap denyut, setiap getar, menjilat lembut untuk memanjangkan kenikmatan itu. Biya hampir saja ambruk ke depan, lututnya menyerah. Tapi Bagas sudah siap berdiri dengan t
Tidak pernah Biya sangka bahwa Bagas juga menginap di hotel yang sama. Saat Biya sampai di lantai 6 sendirian, karena Arsen masih mengobrol dengan Pak Rendra, sepasang matanya menangkap pria yang baru saja ditemuinya di ruang sidang, Bagas. Baru saja akan mundur, Bagas menemukannya, menatapnya dan terdiam. Untuk sepersekian detik, dunia seperti berhenti. Bagas masih menatapnya dan mulai melangkah mendekat. Tangannya yang sedari tadi berada di saku celana kini terangkat pelan, menyapu rambutnya yang agak berantakan karena hujan tadi. Mata tajam itu menatap Biya lama, cukup lama hingga gadis itu menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. “Sepertinya, bahkan di tempat netral pun, kamu tetap menghantui,” ucap Bagas yang sudah sampai di hadapan si gadis. Biya menggeleng pelan, berusaha menahan diri agar tidak terlihat rapuh. “Harusnya aku yang ngomong begitu, Mas. “Begitu ya,” gumam Bagas, tersenyum miring. Bagas menatap gadis di depannya, tubuhnya yang mungil berdiri kaku d
Arsen menatap adiknya dengan isyarat tegas agar tidak bicara. Bagas terkekeh kecil menatap keduanya, tapi tawa itu kosong. “Kamu pikir saya tidak tahu betapa keras kamu berusaha membalik keadaan di pengadilan hari ini?”Arsen maju setengah langkah, menatap Bagas lurus dengan rahang mengeras. “Orang tuaku sudah menyesal dan alasan yang menyebabkan mereka pergi sejenak. Jadi, aku hanya mengungkap kebenaran yang sebenarnya terjadi.”“Kebenaran?” Bagas menatap tajam, nadanya naik. “Benar untuk siapa, Arsen? Untuk kamu, untuk keluargamu yang menabrak dan meninggalkan orang tua saya sekarat di jalan?”Hujan di luar semakin deras, menimpa atap dengan suara berat.Biya menggigit bibir, bahunya bergetar. Ia melangkah ke depan perlahan, menembus perlindungan Arsen.“Mas, biarkan aku bicara.”Arsen menoleh cepat. “Biya, jangan—”Namun Biya sudah melangkah, berdiri di depan Bagas dengan mata merah dan suara gemetar.“Aku tahu kamu benci kami. Aku tahu kamu punya hak untuk itu. Tapi tolong, berhe