LOGIN“Aku habis berenang, Bang di kolam renang umum. Biar seger hehe.”Nada ringan itu terdengar terlalu dibuat-buat di telinga Arsen. Sama seperti kemarin, jawaban yang tidak masuk akal, senyum yang sama, tapi ada sesuatu yang tidak sama dari sorot mata Biya.Ada tenang yang aneh, tenang yang justru membuat Arsen ingin bertanya lebih jauh. Tapi sayangnya si abang menahan diri. Untuk sekarang, akan lebih baik fokus pada pengajuan banding, bukan pada sesuatu yang bahkan belum bisa di jelaskan.Namun malam itu, ketika Arsen lewat di depan kamar Biya, langkahnya terhenti. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, dan sosok adiknya duduk di tepi ranjang, dengan rambut tersingkap sebelah. Arsen melihat tanda merah samar yang sejujurnya sejak kemarin adiknya itu memakai syal kecil- yang Arsen kira itu sebagai fashion saja."Biya?" panggilnya pelan dari depan pintu.Tubuh adiknya itu menegak cepat, bahunya kaku, lalu buru-buru menarik rambutnya agar menutupi semua sisi lehernya."Bang? Belum ti
Gigitan ringan Bagas di puncak itu, tepat di klitoris yang membengkak oleh hasrat, membuat Biya menggelinjang hebat, pinggulnya bergoyang insting, mencari lebih banyak tekanan."M-Mas... ahh... terlalu... dalem," desahnya, suaranya pecah, tangannya mencengkeram dada Bagas lebih kuat, merasakan otot-otot keras di bawah telapaknya yang basah.Bagas tak menjawab dengan kata-kata, hanya dengkuran rendah yang teredam, getarannya merambat ke seluruh tubuh Biya seperti arus listrik. Mulutnya bekerja dengan rakus tapi terhitung, lidahnya berputar pelan di sekitar lubang yang masih berdenyut dari kenikmatan sebelumnya, menyedot lembut hingga Biya merasa seperti akan runtuh.Biya tertarik pada pemandangan di sana, kejantanan Bagas yang tegak sempurna, panjang dan tebal, urat-uratnya menonjol biru di bawah kulit yang berkilau basah, ujungnya merah muda dan basah oleh cairan orgasme yang menetes pelan ke lantai ubin. Itu seperti patung Yunani yang hidup, berdenyut pelan mengikuti ritme hisapan Ba
Kolam renang ini menjadi bukti serta pengalaman hebat bagi Biya mencapai kenikmatan. Seperti sekarang saat Bagas memutar tubuh Biya hingga punggungnya menempel di dadanya. Tangan besar itu melingkar di perut Biya, naik pelan ke bawah bra, jarinya menyentuh payudaranya dari bawah, mengangkatnya ringan, ibu jarinya menggosok puting yang sudah mengeras. Biya menarik napas tajam, kepalanya terdongak dengan mengeluarkan erangan kecil."Ahh... Mas, pelan," desah Biya. Air membuat segalanya licin, gerakan tangan Bagas terasa lebih halus, lebih menggoda untuk memilin puting itu pelan, tarik-lepas, sambil bibirnya menggigit cuping telinga Biya. Tangan satunya turun, menyusuri perut datar Biya, hingga ke pinggul, lalu ke depan, jari tengahnya menyentuh area sensitif di balik celana dalam yang sudah basah- bukan hanya oleh air kolam."Kamu sudah basah," gumam Bagas serak, suaranya penuh kemenangan. Jarinya menggesek pelan di sana, lingkaran kecil yang membuat Biya menggeliat, pinggulnya bergera
"Kolam renang?" gumam Biya setelah masuk ke salah satu pintu yang sudah diperintahkan oleh karyawan itu sambil memberikan kartu akses. Biya berjalan pelan, mencari Bagas dalam ruang temaram ini. Ruangan ini sangat luas dan seingat Biya hanya ada 2 pintu di lantai 8 ini- yang memungkinkan hanya ada dua ruang kolam renang yang bisa disewa secara privat, mengingat ada kolam renang umum di lantai 4. Biya menelan ludah, menatap sekeliling. “Mas Bagas?” panggilnya pelan, tapi suaranya justru bergema lembut, menyentuh permukaan air yang hening.Tak ada jawaban. Hanya suara mesin filter air dan tetes kecil dari pancuran di sisi kolam. Ia berjalan lebih jauh, tumit sepatunya bergema di lantai batu. Kepalanya menunduk sedikit, memperhatikan bayangan tubuhnya yang memantul samar di permukaan air. Lalu...“Biya.”Suara berat itu muncul begitu saja dari sisi lain ruangan. Suara yang ia kenal, yang bisa membuat jantungnya seolah kehilangan ritme seketika.Disana, Bagas hanya mengenakan celana hit
"Baik. Untuk Pak Dharma, Bu Kirana selaku pelaku dan Pak Bagas selaku korban dari kejadian ini. Kami memberikan waktu untuk bermusyawarah dan membicarakan terkait dengan semua ini."Pukul 10 siang, mereka semua dikumpulkan di ruangan negosiasi untuk pembicaraan dingin. Mengingat kasus ini dapat mengajukan banding yang mana mungkin saja akan memberatkan keluarga korban. Sekaligus, sudah 20 an tahun kasus ini terbengkalai.Arsen dan Biya juga turut hadir duduk berdampingan dengan Arsen yang menatap was-was. Di ujung meja, Bagas duduk dengan ekspresi datar, jas hitamnya rapi, posturnya tegak dan tegas seperti biasa. Sementara di sebelah kanan sudutnya, Biya duduk dalam diam, menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung rok dengan gugup.“Baik. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa pertemuan ini untuk mengonfirmasi bahwa keluarga korban menerima pengajuan banding dengan kasus yang berusia 21 tahun lalu,” ucap seorang Mediator pelan, berusaha menjaga nada netral. Di sisi lain meja,
Malam itu, Biya kembali ke kamar pukul 7 malam dengan Arsen yang sudah menunjukkan raut khawatir dan sedikit marah- sepertinya."Abang," panggil Biya lirih saat melihat abangnya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. "Kamu habis dari mana aja, abang udah cariin di taman dan hotel nggak ada,""Mungkin pas abang ke taman, aku udah jalan ke tempat lain. Aku butuh udara segar, Bang. Lagi pula aku kangen Jakarta."Kalimat itu jelas bohong. Jelas saja- Abangnya itu tidak menemukannya karena dirinya sedang berada di kamar hotel milik Bagas dan sedang merasakan kenikmatan. Beruntung, dirinya mandi terlebih dahulu di kamar Bagas dan kembali ke kamar ini dengan kondisi normal. Arsen menutup laptopnya pelan, menatap adiknya dengan mata tajam tapi penuh lelah. “Kangen Jakarta, ya?” Nada suaranya datar, tapi Biya tahu betul bahwa Arsen sedang menahan sesuatu.Bukan hanya marah, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.“Iya, aku kangen semua hal disini” jawab Biya pelan, mencoba tersenyum







