LOGINSeolah lupa akan apa yang Bagas lakukan pada Biya saat di villa, gadis itu kini menikmati setiap sentuhan milik Bagas. Sampai akhirnya Biya tak sanggup lagi menahan. Tubuhnya menegang seperti busur yang ditarik penuh, jari-jarinya mencengkeram bahu Bagas hingga memutih, dan napasnya tercekat di tenggorokan."Mas, aku... aku," gumamnya terputus-putus, suaranya pecah jadi desahan panjang yang tak tertahankan.Lalu datanglah gelombang itu, deras, tak terkendali. Biya menjerit lirih, mulutnya tertutup rapat oleh tangannya sendiri, tapi suara itu tetap lolos dari sela-sela jari."Aaaahhh!" Pinggulnya bergetar hebat, mendorong wajah Bagas lebih dalam, dan cairan hangat mengalir deras dari dalamnya, membasahi lidah Bagas, dagunya, bahkan menetes ke lantai. Bagas tak mundur sedikit pun, ia tetap jongkok, mulutnya menangkap setiap denyut, setiap getar, menjilat lembut untuk memanjangkan kenikmatan itu. Biya hampir saja ambruk ke depan, lututnya menyerah. Tapi Bagas sudah siap berdiri dengan t
Tidak pernah Biya sangka bahwa Bagas juga menginap di hotel yang sama. Saat Biya sampai di lantai 6 sendirian, karena Arsen masih mengobrol dengan Pak Rendra, sepasang matanya menangkap pria yang baru saja ditemuinya di ruang sidang, Bagas. Baru saja akan mundur, Bagas menemukannya, menatapnya dan terdiam. Untuk sepersekian detik, dunia seperti berhenti. Bagas masih menatapnya dan mulai melangkah mendekat. Tangannya yang sedari tadi berada di saku celana kini terangkat pelan, menyapu rambutnya yang agak berantakan karena hujan tadi. Mata tajam itu menatap Biya lama, cukup lama hingga gadis itu menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. “Sepertinya, bahkan di tempat netral pun, kamu tetap menghantui,” ucap Bagas yang sudah sampai di hadapan si gadis. Biya menggeleng pelan, berusaha menahan diri agar tidak terlihat rapuh. “Harusnya aku yang ngomong begitu, Mas. “Begitu ya,” gumam Bagas, tersenyum miring. Bagas menatap gadis di depannya, tubuhnya yang mungil berdiri kaku d
Arsen menatap adiknya dengan isyarat tegas agar tidak bicara. Bagas terkekeh kecil menatap keduanya, tapi tawa itu kosong. “Kamu pikir saya tidak tahu betapa keras kamu berusaha membalik keadaan di pengadilan hari ini?”Arsen maju setengah langkah, menatap Bagas lurus dengan rahang mengeras. “Orang tuaku sudah menyesal dan alasan yang menyebabkan mereka pergi sejenak. Jadi, aku hanya mengungkap kebenaran yang sebenarnya terjadi.”“Kebenaran?” Bagas menatap tajam, nadanya naik. “Benar untuk siapa, Arsen? Untuk kamu, untuk keluargamu yang menabrak dan meninggalkan orang tua saya sekarat di jalan?”Hujan di luar semakin deras, menimpa atap dengan suara berat.Biya menggigit bibir, bahunya bergetar. Ia melangkah ke depan perlahan, menembus perlindungan Arsen.“Mas, biarkan aku bicara.”Arsen menoleh cepat. “Biya, jangan—”Namun Biya sudah melangkah, berdiri di depan Bagas dengan mata merah dan suara gemetar.“Aku tahu kamu benci kami. Aku tahu kamu punya hak untuk itu. Tapi tolong, berhe
Hari senin yang biasanya begitu dibenci oleh banyak orang, termasuk Biya. Kini, justru menjadi hari yang palinh ditunggu. "Tidak perlu gugup, kita memiliki kekuatan besar untuk semuanya," ungkap Pak Rendra menenangkan Biya dan Arsen. Hari ini, kedunya sedang di ruang sidang untuk mengajukan banding. Ketika bel tanda sidang dibuka berbunyi, semua orang berdiri. Suara langkah sepatu hakim dan panitera terdengar bergema di ruang besar itu. Majelis hakim memasuki ruangan dengan ekspresi netral, seolah tidak ada emosi yang bisa mereka tunjukkan di hadapan publik. Biya menarik napas dalam, menegakkan punggungnya. Arsen di sebelahnya melirik sekilas, lalu meletakkan tangan di atas tangannya dengan gerakan singkat, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk menyalurkan sedikit ketenangan. Sidang dimulai. Semua tersangka dipersilahkan masuk, disana Kirana dan Dharma masuk dengan kepala tertunduk. "Mama, Papa," lirih Biya yang hampir saja menangis. Ruangan sidang terasa semakin sempit s
Beberapa hari terakhir, udara di apartemen Biya dan Arsen selalu penuh dengan suara kertas, ketikan laptop, dan desah napas panjang. Keduanya hampir tidak punya waktu untuk tidur. Setiap malam, mereka memeriksa ulang dokumen banding, laporan medis, kronologi kejadian, bukti surat, bahkan potongan transkrip wawancara. Semua harus sempurna. Tidak boleh ada celah. Biya duduk di lantai, menatap koper besar yang kini sudah tertutup rapat. "Rasanya aneh," gumamnya pelan. Arsen yang berdiri di sisi meja kerja menoleh. "Aneh kenapa?" "Karena kita bakal ke Indonesia tapi bukan pulang." Arsen tersenyum tipis, tapi sorot matanya redup. Ada kerinduan yang beradu dengan ketakutan di sana. Arsen menghampirinya, jongkok di depan Biya, menatap lurus ke matanya. "Kita pulang untuk memperbaiki semuanya. Abang akan berusahan keras untuk meringankan hukuman Mama Papa," ujarnya tenang. Biya mengangguk kecil. "Aku tahu, api tetap saja rasanya berat, Bang." Biya menggenggam tangan Arsen, dan aba
Dengan penuh keraguan bagas akhirnya menekan panggilan di kontak tersebut."Selamat malam, Pak Bagas,” sapa seseorang di seberang sana, Thomas."Berikan kesempatan untuk keluarga Ardhanaya mengajukan banding," ucap bagas datar, mencoba menyembunyikan berbagai bentuk emosi yang asing di hatinya.Thomas di seberang sana sempat terdiam beberapa detik, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.“Banding, Pak?” suaranya ragu, hati-hati. “Tapi, keputusan Bapak sebelumnya jelas. Bapak sendiri yang menandatangani perintah untuk menolak permohonan mereka.”Bagas mengatupkan rahangnya. Tatapannya kosong ke arah jendela gelap di depan meja kerjanya, hanya pantulan dirinya sendiri yang tampak—lelah, berantakan, dan entah siapa.“Saya tahu,” jawabnya singkat. “Saya rubah keputusan itu sekarang. Minta tim hukum siapkan semua berkas yang dibutuhkan.”Thomas masih terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan nada pelan. “Baik, Pak. Tapi, boleh saya tahu alasannya?”Bagas tersenyum miring, get







