Share

Menunjukkan Bukti

Penulis: Nonnie Dyannie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-19 05:58:46

BAB 7

MENUNJUKKAN BUKTI

 Dalam perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Kepalaku rasanya mau pecah dengan semua kemungkinan dan kebenaran yang ada. Juga, mengenai alasan mengapa orang tuaku menyembunyikan rahasia krusial seperti ini jika memang benar aku memiliki saudara kembar.

 "Aku harus memastikan kebenaran dari semua ini! Apa pun yang terjadi. Nama baik adalah taruhannya." Tekadku dalam hati. 

 

 "Kamu baik-baik saja, Aisyah?" tanya Yudha, seraya melirik. Dia tetap fokus mengemudikan mobilnya untuk mengantarku kembali ke apartemen.  

 "Ya? Maaf. Banyak sekali yang tak kumengerti, Yud. Rasanya seperti mimpi, dalam dua hari saja aku dihadapkan pada beberapa peristiwa yang sama sekali tak dapat kupahami.” 

 "Bertahanlah, aku rasa tak lama lagi semua ini akan terjawab. Segera lakukan apa yang kusampaikan tempo hari karena  hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah, Aisyah. Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan sekarang ini.” Ucapan Yuda membuatku merasa tenang. Dia memang selalu bisa  meredakan segala situasi sulit yang aku alami selama ini dengan dalih persahabatan. 

Waktu sudah beranjak sore, kondisi jalanan pun sudah mulai padat. Sesekali Yudha melirik padaku, Ah, andai saja tidak ada dia entah bagaimana aku harus menjalani ini semua sendirian.

“Kita beli makan take away aja, ya?” ungkap Yudha yang kujawab dengan anggukan.

 Kami memasuki area restoran cepat saji dan memilih jalur take away. Aku menyerahkan semua pesanan pada Yudha. Menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Itu yang kulakukan.

Tak butuh waktu lama, semua pesanan sudah didapatkan dan kami pun segera meluncur untuk kembali ke apartemen.

 "Aisyah, kamu ingat tidak kalau kita dulu sering bolos sekolah waktu SMA hanya untuk menonton bioskop?” tanya Yudha tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sama sekali enggak penting.

 "Ehm.” Aku hanya mendeham tanpa membuka mata.

 "Hahaha. Isi kepalamu itu hanya ada Adnan, ya." 

 Aku tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. Memang benar, aku tidak pernah berhenti mendambakan pria itu sampai kini, bahkan ketika dia  sudah mempermalukan aku di depan banyak orang, dan hati ini  membelanya dengan alasan, "Wajar dia seperti itu jika meyakini bahwa wanita yang dicintainya telah berhubungan dengan pria lain. Pria mana pun pasti akan kecewa." Namun, ada rasa sakit yang membuncah di dada, kenapa Mas Adnan tidak memilih untuk membicarakan dulu sebelum bertindak.

 Setibanya di apartemen, aku langsung masuk kamar untuk menunaikan salat Asar yang hampir habis waktunya, begitu pun Yudha, ia salat di kamar sebelah.

 Selesai salat, aku memilih duduk berlama-lama di atas sajadah dan memanjatkan segala pinta, khususnya untuk jalan yang akan kutempuh saat ini karena aku yakin hanya cara ini satu-satunya yang akan mengembalikan nama baikku.

Ketukan kecil di pintu menyadarkan ku, rupanya aku sudah terlalu lama membiarkan Yudha menunggu.

“Ya ....”

“Aisyah, kamu baik-baik saja?” tanyanya dari balik pintu.

“Iya, sebentar aku keluar.”

Setelah melipat mukena dan meletakkannya di atas sajadah, gegas kukenakan hijab instan dan menemui Yudha.

“Makanlah dulu, makan siang kita sudah sangat terlambat,” ujarnya seraya meletakkan makanan yang telah ia buka dan susun di atas mini bar.

 “Yud, aku mau telepon Ibu,” ucapku.

“Ya, lebih cepat lebih baik, tapi sekarang ... selesaikan dulu makanmu. Isi perutmu jangan sampai sakit,” ucap Yudha dengan mulut penuh makanan. Aku mengangguk dan melanjutkan makan walau tanpa selera.

 "Ibu tidak mau mengangkat teleponku,” lirihku setelah beberapa kali melakukan panggilan ke nomor Ibu. Aku merasa kecewa dan marah, ingin cepat-cepat menyelesaikan semua masalah yang membelenggu kepala, masalah yang membuatku jatuh terperosok begitu dalam dan  membuatku kehilangan banyak hal. 

Ya, setelah kejadian kemarin. Namaku benar-benar tercemar. Kulihat namaku dikeluarkan tanpa konfirmasi dari beberapa WAG komunitas literasi yang di dalamnya aku didaulat sebagai Founder sekaligus Mentor, tak apa. 

Akan kubuktikan jika aku memang tidak bersalah dan setelah semuanya selesai, aku akan kembali. Namun, jika memang kejadian kemarin telah mematikan karierku, aku ikhlas.

 "Coba kamu kirim pesan, Aisyah. Siapa tahu Ibu membaca pesannya." 

 "Baiklah, semoga saja Ibu membacanya." 

 Aku kemudian mengirimkan pesan teks yang berisi, [Bu, tolong Aisyah.  Beri Aisyah kesempatan untuk membuktikan bahwa yang di foto itu benar-benar bukan Aisyah, Bu.] kirim.

Beberapa menit berlalu, pesanku tidak ada balasan, jangankan membalas, ternyata dibaca pun tidak. Entah nomorku diblokir atau jaringan internetnya sengaja dimatikan karena tanda centang di aplikasi chating itu hanya satu. 

 "Bagaimana? Sudah dibaca pesannya?" 

 Aku menggeleng, tertunduk lesu. 

 "Bagaimana cara menjelaskan semuanya jika mereka tidak memberikan aku kesempatan untuk membela diri dan mengatakan kebenarannya?" 

 "Tenang, Aisyah. Aku yakin pasti ada jalan. Berikan mereka sedikit waktu untuk berpikir. Kita tunggu saja dulu. Jika masih belum dibalas juga, sepertinya harus mencoba cara lain." 

 

“Cara lain?”

“Ya, sedang kupikirkan.”

 Aku pasrah dan mengikuti usulan Yudha. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit tanpa kepastian apa pun, hingga akhirnya …. 

 

Satu notifikasi pesan masuk yang berasal dari aplikasi chatting.  Aku membukanya dengan hati berdebar-debar. Memicingkan mata, berharap bahwa sang pengirim pesan adalah Ibu dan ternyata benar!

 "Yudha! Yudha!" 

  "Dibalas?" Yudha baru selesai membuat dua gelas teh untuk kami minum bersama. 

 "Iya! Ibu membalas pesanku." 

 "Apa katanya?" 

Gegas kubuka pesan balasan dari Ibu.

[Caranya?]

Hanya itu balasan yang dikirimkan Ibu. Tak apa, ini sudah cukup untuk membuka komunikasi di antara kami. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera kukirimkan pesan terpenting untuk Ibu.

[Baiklah, jangan membuat kami kecewa lagi, Aisyah.]

Itu merupakan balasan selanjutnya dari Ibu, aku mengucap syukur. Akhirnya aku akan segera memberikan bukti yang merupakan kunci dari masalah ini.

 Malam ini aku sungguh tidak dapat memejamkan mata  hingga waktu Subuh menjelang. Tak sabar ingin segera  melaksanakan apa yang telah direncanakan. 

Sebentar lagi sudah masuk waktu Subuh, segera kuambil wudu dan melaksanakan salat sunat qabliah dan dilanjut dengan salat wajib.

Dering ponsel berkali-kali, membuatku terbangun. Rupanya setelah salat tadi aku tertidur di atas sajadah.

  Telepon dari Yudha.

[Aku di depan pintu.] 

Gegas aku keluar kamar untuk membukakan pintu tanpa melepas mukena.

“Kok belum siap?” tanya Yudha saat melihat aku masih mengenakan mukena dengan wajah kuyu.

“Maaf, aku ketiduran,” jawabku seraya melihat jam yang tergantung di dinding. Ya Tuhan, sudah jam delapan! Ternyata selama itu aku tertidur.

“Bersiaplah, aku sudah membawakan sarapan,” ucap Yudha seraya melangkah menuju mini bar.

Tanpa menjawab aku masuk kamar dan gegas membersihkan diri lalu bersiap.

Kini, kami telah di perjalanan menuju rumah sakit untuk bertemu dengan Dokter yang tentu saja untuk urusan membuat janji sudah dilakukan Yudha, entah kapan dia melakukan itu yang pasti aku dijadwalkan bertemu Dokter pukul 9.30 WIB.

 

 Setelah sampai, kami menitipkan catatan pada resepsionis agar memberitahukan orang tuaku bahwa aku menunggu di lantai dua. 

 "Baik, kami akan menyampaikan pesan Anda." 

 “Terima kasih.”

 

 "Aisyah, aku tidak  ikut masuk. Aku tunggu di luar saja. Jangan sampai kebersamaan kita menjadikan masalah baru untukmu. Bisa saja orang tuamu salah sangka padaku jika melihat aku bersamamu kan?" 

 Ucapan Yuda ada benarnya. Ayah dan Ibu memutuskan untuk tidak percaya dengan kata-kata putri mereka sendiri, terlebih pada orang asing tanpa ikatan darah, meskipun mereka sudah mengenal Yuda dengan baik sejak kami kecil. 

 "Tenang saja. Aku akan tunggu sampai semuanya selesai.”

Aku mengangguk.

 Yudha membalikkan badan dan berjalan keluar.

“Yudha ....” 

Laki-laki itu menghentikan langkahnya yang belum jauh saat mendengar aku memanggilnya.

“Ya, ada apa?”

“Terima kasih,” ucapku dengan menahan rasa hangat di kelopak mata.

“Ah, kamu ini. Sudah, sana naik.”

Aku tersenyum dan segera naik ke lantai dua untuk bertemu dengan Dokter.

 Aku duduk dengan gelisah sambil menunggu orang tuaku, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit. Setelah lima belas menit  berlalu, akhirnya Ibu dan Ayah datang. 

 Wajah mereka tetap dingin, sama seperti waktu itu. Tidak memberikan pelukan hangat atau ucapan kasih sayang seperti yang biasanya mereka lakukan. Terlebih Ayah, yang sedari tadi memalingkan wajah dariku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Akad Tanpa Malam Pertama    ENDING

    Bab 80 TAMAT “Masa, sih, itu bukan dia? Mirip banget, Ah.” ~@Dyannie_Alexander.. “Katanya udah ada konfirmasi kalau itu bukan dia, masalahnya udah beres.” ~@Adelia Bellez. “Jaman sekarang emang ngeri banget! Semua bisa dimanipulasi jadi semirip mungkin. Semangat, Kak!” ~@Rina Novita. “Kayaknya emang bukan dia deh. Itu mah cuman orang yang gak suka sama dia. Dia kan penulis sukses, makanya pada iri terus sengaja ngejebak dia pake foto palsu.” ~@Noeroel Arifin. “Ini bukan pengalihan isu, kan? Atau klarifikasinya bohong biar dia dapet simpati, terus bukunya laris lagi?” ~@HambaAllahpalingtaat. “Gue tim Kakak ini, sih, dari dulu, gak pernah ikut ngehujat.” ~@Rafika_Duri.Merasa bosan dan kesepian, pagi hariku setelah sarapan diawali dengan membuka komentar-komentar di media sosial. Ujaran kebencian yang waktu itu sempat memenuhi setiap postingan mengenai diriku, kini mulai reda. Padahal, dulu mereka orang-orang yang sama sekali tidak mengenal aku secara nyata sampai memburu ke ak

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Adnan Minta Rujuk

    BAB 79_Adnan Minta RujukBeberapa minggu kemudian, di sebuah ballroom hotel ternama …. Beberapa orang sibuk berlalu lalang, memasang pernak-pernik, menghias ruangan itu dengan beberapa yang memberikan kesan mewah dan indah. Sebagiannya lagi sibuk mendekorasi, mengatur kursi-kursi untuk tamu undangan, tata letak bunga-bungaan untuk menambah kesan mewah, dan panggung utama yang menjadi puncak perhatian dari kedua mempelai. Aku ikut andil dalam proses mempersiapkan semua ini agar hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Sementara Azmina …. “Aisyah!” Gadis itu memanggilku dari arah belakang. Dia datang dengan wajah berseri bersama calon suaminya, Raja yang juga memberikan kesan hangat padaku. “Mina, kok, malah ke sini? Harusnya kamu istirahat. Nanti malam, kan, acaranya jangan sampe kecapean kamu kecapean, lho,” ucapku merasa khawatir. Azmina tiba-tiba memelukku dengan erat sambil berucap, “Jangan khawatir, habis ini aku langsung pulang, kok. Aku ke sini mau bilang makasih ban

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Dilamar

    Bab 78Dilamar Malam hari setelah pulang dari acara jalan-jalan bersama keluarga, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian bersiap-siap untuk Salat Magrib berjamaah di ruang keluarga dengan Ayah sebagai imamnya. Azmina yang masih dalam proses belajar mengenal agama lebih dalam, ikut bergabung bersama kami. Aku sangat bersyukur sekali kepada karunia dan kebahagiaan yang Allah berikan padaku. Semoga kebahagiaan dan kehangatan ini bertahan selamanya. Ayah yang sejak lama tidak mengimami salatku dan Ibu dengan dalih sibuk oleh pekerjaannya, kini mulai berubah. Begitu pula dengan Ibu yang hanya sesekali masak dan lebih sering membeli lauk di luar, kini mulai membiasakan dirinya lagi untuk memasak demi keluarganya yang sudah lengkap. Kedatangan Azmina mengembalikan angin lama yang telah hilang di keluarga kami. Usai salat berjamaah, aku dan Azmina langsung masuk kamar. Kami bercengkerama sebentar sambil menunggu azan Isya tiba. “Aisyah, kamu dan Yudha bagaiman

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Kehangatan itu kembali kurasakan

    Bab 77_Kehangatan itu kembali kurasakan “Azmina?” Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan bingung. Dia mengaga selama beberapa menit di depan pintu masuk rumah. Sementara aku menunduk dengan canggung. “Sebenarnya bukan pilihan untuk datang ke sini, tapi Raja enggak bisa dihubungi, mungkin dia lagi enggak di apartemen atau lagi sibuk kerja—” “Ya Allah, Alhamdulillah.” Pria itu memeluk tubuhku dengan erat tanpa mengizinkan aku menyelesaikan alasanku datang kemari. Aku? Entah kenapa tak ingin menolak apalagi berontak. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut sambil berkata, “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak usah memberikan alasan apa pun untuk pulang ke rumahmu sendiri. Maafkan Ayah dan Ibu, ya.” Mendengar ucapannya, hatiku terenyuh. Tanpa sadar, air mataku jatuh tanpa diminta. Bercucuran sampai membasahi baju yang ia gunakan di bagian dada. Aku menangis seperti anak kecil. Dari dalam rumah, terdengar suara seseorang yang sangat aku kenali. “Siapa, Yah? Kok, lama? Ayo,

  • Akad Tanpa Malam Pertama    PoV Azmina

    Bab 76_Pov Azmina Pria itu datang sambil membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga yang ia taburkan di atas pusara Ibu, kemudian menengadahkan tangannya untuk berdoa dengan wajah serius, tetapi tenang. Aku mendorong tubuh Raja untuk menjauh, lalu mendekat pada pria itu sembari menodongnya dengan pertanyaan yang penuh dengan perasaan dendam. “Apa yang Anda lakukan di sini? Berani-beraninya Anda datang ke pemakaman Ibu saya!” Dia menyelesaikan doanya, masih berdiam diri di depan pusara Ibu, menjawab pertanyaanku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. “Ayah datang untuk mendoakan Ibu angkat kamu, Nak. Ayah juga ingin menyampaikan rasa terima kasih karena dia sudah membesarkan dan memberikan kamu kasih sayang selama Ayah dan Ibu tidak ada di sisimu.” Aku tertawa kecil mengejek ucapan tidak masuk akalnya. Kenapa laki-laki biadab ini berperilaku seolah-olah dia adalah orang tuaku yang berbudi setelah meninggalkan aku selama ini? Setelah aku harus bertahan hidup sebagai pela*ur

  • Akad Tanpa Malam Pertama    Ibu, kenapa meninggalkanku?

    Bab 75_Bu, Kenapa meninggalkanku? 77 panggilan tidak terjawab, 105 pesan belum terbaca selama tiga hari. Semuanya berasal dari orang yang sama. Aku ingin sekali mengabaikan semua pesan-pesan itu, tetapi selain dia tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padaku, yang menjadi tumpuan dan sandaranku … tidak ada. Apalagi saat ini pikiranku sangat berantakan gara-gara kondisi Ibu. Persetan dengan Rahadi! Dia harus menerima semua konsekuensinya! “Pak, berhenti di depan sana saja, ya, depan toserba.” Sopir taksi meng-iyakan permintaanku. Aku segera turun dan berlari menuju bangunan besar dan megah, lingkungan apartemen yang hanya bisa dimiliki oleh orang tertentu terlepas dari harta kekayaan mereka. Kutekan kata sandi apartemen itu melalui monitor layar sentuh di pintu apartemen. Setelah berhasil terbuka, aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat, menangis tersedu-sedu menumpahkan semua kekesalan dan rasa sakit yang membuat isi kepalaku berantakan. Pria itu tertegu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status