Share

Bertemu Kembali

last update Last Updated: 2024-12-04 08:15:16

Seharusnya di saat seperti ini aku semakin menyayangi putraku, tapi nyatanya aku malah seperti kehilangan jati diri sebagai seorang ibu. Wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Aku masih sakit hati mengingat pengkhianatan Mas Reza.

“Ayo, Sayang.” Mama menepuk-nepuk punggung Bima, membawanya ke dalam kamar.

Dari arah lain, Papa mendekat sambil membenahi kacamata tebal yang bertengger di atas hidung. Raut wajahnya keruh, jelas menunjukkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Putri semata wayangnya sudah tersakiti, bahkan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Orang tua mana yang tega melihat kesayangannya menderita?

Cukup lama kami berdiam diri. Papa menatap televisi layar datar di depan kami tanpa ekspresi. Tayangan kartun anak-anak dengan warna mencolok, yang semula ditonton oleh Bima, sama sekali gagal menarik perhatian. Rahangnya mengerat, berusaha mengendalikan emosi. Aku yakin Mama sudah menceritakan masalahku sampai membuat Papa pulang segera dari Bandung.

Aku membenahi posisi duduk setelah mematikan televisi. Sudah saatnya aku bicara dan minta pertimbangan. Mungkin beliau punya solusinya.

“Pa ...,” panggilku lirih.

“Diam. Papa masih nggak habis pikir apa yang terjadi sama kamu dan Reza.”

Lidahku kelu, tidak bisa berucap apa pun. Saat penghakimanku telah tiba. Ganjalan yang Papa simpan selama lima tahun pernikahanku dengan pria itu pasti akan dimuntahkan hari ini juga.

Ya, sejak awal Papa memang tidak cocok dengan Mas Reza. Tapi karena aku terlanjur jatuh cinta padanya, akhirnya Papa mengalah juga. Ah, jika dipirkan, entah aku benar-benar jatuh cinta padanya atau dia ada saat aku butuh pelarian saja, ya?

“Papa udah dengar semua dari Mama. Mungkin itu jalan terbaik buat kalian. Masih ada banyak pria yang lebih baik dari dia. Mereka yang bertanggung jawab, kerja keras untuk membahagiakan kamu. Bukan sebaliknya. Cuma jadi benalu.”

Aku mengembuskan napas kasar dari mulut, tak bisa menyangkal. Semua kesuksesan yang Mas Reza dapatkan memang berkat bantuan Papa. Tanpa koneksi beliau, mungkin sekarang suami ... ah, mantan suamiku itu masih tetap karyawan pabrik yang gajinya sebatas UMR. Jangankan membeli perumahan dan mobil, mencukupi biaya hidup sehari-hari saja pasti kurang.

“Na, dari awal Papa udah peringatkan kamu. Dia itu pengecut, nggak mau survive. Bahkan buat lamar kamu pun, Papa yang harus memaksa dia. Kamu terlalu dibutakan oleh cinta, nggak pake logika. Laki-laki macam dia cuma tahu enaknya aja. Mana mau berjuang pakai otaknya.”

“Pa ....”

“Apa?!" Suara Papa meninggi. "Kamu mau bela suamimu yang nggak tahu diri itu?!” Papa mendengus kesal, merasa perjuangannya sia-sia.

“Sebenarnya Papa udah memperkirakan apa yang bakal terjadi. Diam-diam, Papa yang minta Om Wirawan buat lepas Reza sendiri. Dia itu nggak ada skill di bagian marketing. Manfaatin tampang doang nggak ada gunanya, Na!” Papa berdiri, berkacak pinggang sebelum melanjutkan.

“Reza ada di puncak kariernya karena dia punya tim yang solid, semua target tercapai. Tiga bulan yang lalu saat tim dirombak dan Reza dapat orang-orang yang nggak mumpuni, akhirnya hasil penjualannya sama sekali di luar dugaan. Bukan surplus yang didapat, tapi minus!”

Aku mendengarkan dalam diam.

“Perusahaan bahkan harus bayar denda karena salah satu unit rusak waktu dikirim ke pelanggan. Kerja mereka nggak bener. Kirim TV LED kok cuma dibungkus ala kadarnya. Alasannya buru-buru. Itu konyol! Mereka cuma nggak mau repot. Nggak mau susah. Beda dengan tim yang sebelumnya. Pulang pagi pun mereka rela!”

Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Papa yang semakin murka. Mungkin semua ini salahku juga. Aku tidak bisa menilai karakter orang lain dengan baik. Buktinya, aku begitu memercayai Mas Reza dan Joyce. Keduanya adalah orang yang paling dekat di hidupku. Tanpa malu-malu aku menceritakan semua rahasiaku kepada mereka. Bodoh memang. Dan aku baru menyadarinya sekarang.

Hening menyelimuti kami. Papa beberapa kali menarik napas dalam. Aku semakin takut, tidak berani menatap matanya.

“Benar yang Mama bilang, aset yang kamu punya, sekarang semua atas nama Reza?”

Akhirnya Papa membahas hal ini juga. Aku hanya bisa mengangguk lemah. Memang itu kenyataannya.

“Astaga, Nadya! Kamu itu bukan cuma kemakan cinta buta, tapi juga jadi bodoh, ya!” Papa meraup wajah, semakin kesal dengan fakta yang kembali menamparnya.

“Ayo sekarang ikut Papa! Kalau Papa diam, kamu bakal jadi gelandangan nantinya!” Pria lima puluhan itu meraih kunci mobil yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

Aku terkesiap, menatap tangan Papa yang kini sudah mencengkeram lenganku. Wajahnya sama sekali tidak bercanda.

“Ayo!"

Tubuhku sudah berpindah tempat dengan cepat. Papa dengan ketegasannya, memaksaku mengikuti langkahnya. Bahkan, tak segan menyalak saat aku belum juga memakai sabuk pengaman.

“Kita ke mana, Pa?” Takut-takut aku bertanya. Meskipun aku putri semata wayangnya, tetap saja beliau akan mengomel atau menghukumku kalau aku melakukan kesalahan.

“Kamu nggak perlu banyak tanya.”

Detik berikutnya, kendaraan roda empat ini sudah keluar dari pintu gerbang dan bergabung dengan mobil-mobil yang lain. Terik matahari semakin membuat suasana hati tidak nyaman. Panas. Gerah.

Lima belas menit berlalu, mobil terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit yang tampak megah. Beliau membawaku ke pusat kota, ke salah satu firma hukum yang selama ini bertugas menyelesaikan permasalahan perusahaan.

Seorang resepsionis membungkukkan badan, menyodorkan buku tamu saat Papa terhenti di meja kerja mereka. Ah, tentu saja setelah menyambut kami dengan senyum ramah.

Beberapa orang memperhatikan kami begitu memasuki gedung ini. Namun, mereka segera menundukkan kepala saat Papa melewatinya. Beliau bukan orang sembarangan, salah satu dewan direksi perusahaan elektronik berskala nasional dan menjadi tamu penting di tempat ini.

“Firman ada?” tanya Papa to the point setelah menerima id card khusus pengunjung. Aku juga mendapatkan kartu serupa.

“Pak Firman sedang ada meeting di luar. Bapak sudah membuat janji sebelumnya?” Si wanita berpakaian merah tersenyum canggung, menunggu jawaban Papa.

“Hubungi dia. Bilang saya menunggunya sekarang juga.”

“Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Pak Firman. Silakan, Bapak dan Ibu bisa menunggu di sana.” Resepsionis itu menunjuk ruangan dengan dinding kaca di sebelah kanan lobi, meminta kami pergi melalui isyarat tangannya.

Papa kembali menarik tanganku ke arah ruang tunggu. Ada kursi sofa dengan meja panjang di depannya. Tanpa perlu diperintah olehnya, aku sudah menempati satu sudutnya. Entah apa yang ada di kepala Papa. Mungkin mengusahakan harta gono-gini agar aku tetap bisa mendapatkannya.

“Na, Papa nggak mau kamu sengsara. Apa yang menjadi hakmu, harus kamu dapatkan. Kita minta bantuan Firman. Papa yakin dia bisa meng-handle urusan ini.”

Aku diam tak merespons. Terserah Papa sajalah. Aku tak peduli. Menit-menit berikutnya nasihat Papa kembali menyapa telinga. Mengungkit kekurangan Mas Reza dan kebodohanku.

Tak kurang dari sepuluh menit Papa berceramah. Emosinya baru sedikit mereda, tak meluap-luap seperti sebelumnya.

“Siang, Pak Bagaskara. Ada yang bisa saya bantu?”

Terdengar suara seorang pria, membuatku seketika mengangkat wajah demi menilik keberadaannya. Tatap mata kami bertemu di titik yang sama, membuatku tidak bisa bernapas lega seperti sebelumnya.

Pun sama dengan pria itu. Sosoknya yang tegap sempurna, berdiri tiga langkah di depanku. Mulutnya terbuka, tapi tak bersuara. Susunan kata yang ada di kepalanya tak bisa diucapkan sama sekali. Dia sepertinya terkejut melihatku di hadapannya.

Namun, bukan itu yang membuatku terhenyak. Dia menatapku tanpa berkedip, tatapan penuh kerinduan. Sebagai seorang wanita dewasa, aku bisa mengartikannya. Sampai sekarang, dia masih menyukaiku seperti dulu. Dialah Firman Alamsyah, cinta pertamaku. Seseorang yang amat berarti untukku bertahun-tahun yang lalu.

“Apa kabar, Nana?!” Suara Firman terdengar bergetar menahan emosi. Dia salah tingkah, menyentuh hidung seperti kebiasaannya dulu saat gugup dan itu sukses membuat dadaku sesak, kesulitan bernapas detik-detik berikutnya. Kami bertemu kembali setelah sekian lama terpisah.

Bagaimana ini? Bagaimana caraku menghadapi dia yang pernah membuat hatiku porak-poranda?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
goblok banget kau krn cinta nyet.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Dua Serigala

    Firman menghentikan mobilnya di depan ruang UGD. Pria itu langsung menggendong Nadya untuk mendapat perawatan dari dokter dan perawat yang berjaga.“Mas, Kak Nana baik-baik aja, kan?” tanya Alya yang masih berusaha mengatur napas. Dari semua keluarga angkat yang ada, Nadya adalah yang terdekat dengannya untuk saat ini. “Semoga saja. Kita cuma bisa doa yang terbaik.”Firman tak banyak bicara. Pikirannya penuh oleh berbagai prasangka terkait kotak berisi bangkai tikus yang diterima Nadya.Meskipun dia bisa yakin 99% bahwa ‘hadiah’ itu ditujukan untuk Om Wirawan, tapi fakta Nadya yang menerima kotak itu, juga tak bisa lepas dari pikirannya. Dia tidak boleh melibatkan istrinya dengan dunia bawah tanah tempat ayah angkatnya berjibaku.Suara pintu geser yang terbuka membuat lamunan Firman harus terjeda. Matanya mengerjap, segera memusatkan konsentrasi dan mendekat ke arah dokter serta seorang perawat yang baru saja melewati pintu kaca. Senyumnya terlihat ramah saat maskernya dibuka, meski

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hadiah dari Pria Misterius

    Nadya menatap pria asing di depannya dengan kening berkerut, seluruh tubuhnya masih lemas usai mual hebat beberapa menit lalu."Nona, tolong sampaikan hadiah ini pada pasangan yang bertunangan malam ini," ujar pria bertopi itu dengan suara datar, nyaris tanpa emosi. Namun dari gerak-geriknya, terasa ada sesuatu yang ganjil. Alarm dalam kepala Nadya seolah berdering.Wanita berjilbab itu menatap pria misterius di depannya dengan tatapan tajam."Siapa kamu?!"Pria itu tidak menjawab. Ia hanya meletakkan sebuah kotak berwarna cokelat dengan pita hitam di bangku di samping Nadya. Elegan, tapi terasa ganjil—terlalu suram untuk sebuah acara bahagia.“Saya tidak punya undangan, jadi tidak bisa bergabung ke dalam pesta. Terima kasih atas kebaikanmu, Nona.”Sebelum Nadya sempat merespons, pria itu sudah melangkah cepat dan menghilang di ujung lorong. Langkahnya cepat, tergesa, seolah takut seseorang menyadari kehadirannya.Nadya hampir menyentuh kotak itu saat langkah berderap terdengar dari b

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Rekonsiliasi Hati

    "Nggak ada. Aku cuma mau main-main sama kamu, Mas. Nggak boleh?""Apa?!" Kedua tangan Dani terkepal di samping badan Alya. Embusan napasnya terasa kian berat.Alya tidak langsung menjawab. Tatapannya tenang, tapi penuh siasat. Di bibirnya tersungging senyum tipis yang tidak sampai membuat sudut matanya berkerut."Kamu marah, Mas?" tanyanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Apa kamu punya hak buat mengatur hidupku? Aku dan kamu nggak ada ikatan kecuali sama-sama anak angkat Om Wirawan."Dani menggeram tertahan. Ia meraih pergelangan tangan Alya, menahannya ke dinding—tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat gadis itu berhenti bicara."Jangan main-main, Al. Kamu nggak tahu siapa berandalan itu!""Kamu yang jangan main-main, Mas!" sela Alya dengan mata memelotot, tak gentar menatap Dani yang berusaha mati-matian menahan emosi."Kamu pikir aku bisa diam lihat kamu datang dengan sampah macam dia?" Suara Dani bergetar, menunjuk ke arah ballroom di mana Andrew berada."Sampah?" beo Alya sambil

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kecemburuan dan Kemarahan

    Suasana ballroom hotel bintang lima itu terasa meriah. Gemerlap lampu kristal memantulkan kilauan ke setiap sudut ruangan, sementara para tamu—bergaun dan bersetelan mahal—bercakap-cakap dengan anggun.Bunga-bunga tertata rapi di berbagai sudut, berpadu dengan meja-meja penuh hidangan dan berbagai minuman. Standing party yang membutuhkan dana tidak sedikit. Sebagai tangan kanan Om Wirawan, Dani harus menjamu para konglomerat dengan jamuan yang pantas."Semua berjalan sesuai rencana, Tuan," lapor seorang pria berpakaian hitam kepada Om Wirawan yang berdiri di samping Dani. Dia kepala keamanan yang memastikan semua tamu masuk tanpa membawa senjata tajam maupun alat berbahaya. Bahkan ponsel pun tertahan di penerima tamu.Pria paruh baya itu hanya mengangguk singkat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Hanya 200 tamu undangan, rekan bisnis di 'dunia atas' yang bersih. Kalaupun ada rekan bisnis gelapnya, mereka membaur sempurna seperti 'orang baik '.Semua menikmati pesta, menyantap hida

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Rencana Balas Dendam

    “Mas, gimana caranya aku ngomong ke Alya soal pertunangan Mas Dani?” tanya Nadya berbisik—setelah lelah mondar-mandir di ruang tengah rumah sewa, tapi belum juga menemukan cara yang tepat.Firman mendesah, terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Sama seperti yang istri, dia juga didera perasaan gamang terkait keputusan Dani yang menghebohkan itu. Di antara semua orang, dia dan Nadya yang paling dekat dengan Alya sekarang.“Na, masalah pertunangan ini nggak sesederhana seperti apa yang kita pikirkan. Aku mencoba mencari simpulnya sedari tadi, siapa sosok yang mau bertunangan dengan Mas Dani. Tapi semuanya terasa normal-normal aja. Ini akun sosial medianya.”Firman menggeser laptop, memperlihatkan nama Putri Anggun Wijaya, nama yang sama seperti yang tercetak di dalam undangan.“Dia putri angkat keluarga Wijaya. Kemungkinannya, ini semacam perjodohan bisnis. Kamu tahu sendiri, Om Wirawan dan Mas Dani adalah dua orang yang nggak terpisahkan. Bisa jadi, Mas Dani nggak benar-b

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   She Fell First, But He Fell Harder

    “Nggak ada yang perlu dijelaskan. Ini urusan pribadiku sama Cinderella.”“Cin... Cinderella?” beo Firman dengan napas tercekat di tenggorokan.Butuh waktu satu-dua detik untuknya mencerna ucapan di ujung telepon. Meski pernah mendengar nama itu dikisahkan, tapi dia belum tahu bagaimana fisik Cinderella. Secantik apa dia?“Kamu yakin nggak akan menyesal, Mas? Aku sama Nadya udah ketemu Alya. Dia kelihatan—”“Dia cuma aku anggap adik. Semoga kamu nggak lupa, Fir,” sela Dani cepat, memotong ucapan Firman yang baru setengah jalan.“Dia memang pernah menjadi tanggung jawabku, tapi bukan berarti akulah tempat dia menggantungkan harapan. Aku punya kehidupanku sendiri.”Firman hanya bisa menelan ludah, tak bisa berkata-kata. Setiap ucapan dari bibir Dani terasa dingin dan menusuk, tidak ada sedikit pun ruang bagi Alya untuk masuk ke hatinya.Meski menegaskan demikian, pada kenyataannya Dani mencengkeram kuat-kuat pecahan cermin di tangannya. Darah segar yang menetes dari telapak tangan yang t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status