Seharusnya di saat seperti ini aku semakin menyayangi putraku, tapi nyatanya aku malah seperti kehilangan jati diri sebagai seorang ibu. Wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Aku masih sakit hati mengingat pengkhianatan Mas Reza.
“Ayo, Sayang.” Mama menepuk-nepuk punggung Bima, membawanya ke dalam kamar. Dari arah lain, Papa mendekat sambil membenahi kacamata tebal yang bertengger di atas hidung. Raut wajahnya keruh, jelas menunjukkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Putri semata wayangnya sudah tersakiti, bahkan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Orang tua mana yang tega melihat kesayangannya menderita? Cukup lama kami berdiam diri. Papa menatap televisi layar datar di depan kami tanpa ekspresi. Tayangan kartun anak-anak dengan warna mencolok, yang semula ditonton oleh Bima, sama sekali gagal menarik perhatian. Rahangnya mengerat, berusaha mengendalikan emosi. Aku yakin Mama sudah menceritakan masalahku sampai membuat Papa pulang segera dari Bandung. Aku membenahi posisi duduk setelah mematikan televisi. Sudah saatnya aku bicara dan minta pertimbangan. Mungkin beliau punya solusinya. “Pa ...,” panggilku lirih. “Diam. Papa masih nggak habis pikir apa yang terjadi sama kamu dan Reza.” Lidahku kelu, tidak bisa berucap apa pun. Saat penghakimanku telah tiba. Ganjalan yang Papa simpan selama lima tahun pernikahanku dengan pria itu pasti akan dimuntahkan hari ini juga. Ya, sejak awal Papa memang tidak cocok dengan Mas Reza. Tapi karena aku terlanjur jatuh cinta padanya, akhirnya Papa mengalah juga. Ah, jika dipirkan, entah aku benar-benar jatuh cinta padanya atau dia ada saat aku butuh pelarian saja, ya? “Papa udah dengar semua dari Mama. Mungkin itu jalan terbaik buat kalian. Masih ada banyak pria yang lebih baik dari dia. Mereka yang bertanggung jawab, kerja keras untuk membahagiakan kamu. Bukan sebaliknya. Cuma jadi benalu.” Aku mengembuskan napas kasar dari mulut, tak bisa menyangkal. Semua kesuksesan yang Mas Reza dapatkan memang berkat bantuan Papa. Tanpa koneksi beliau, mungkin sekarang suami ... ah, mantan suamiku itu masih tetap karyawan pabrik yang gajinya sebatas UMR. Jangankan membeli perumahan dan mobil, mencukupi biaya hidup sehari-hari saja pasti kurang. “Na, dari awal Papa udah peringatkan kamu. Dia itu pengecut, nggak mau survive. Bahkan buat lamar kamu pun, Papa yang harus memaksa dia. Kamu terlalu dibutakan oleh cinta, nggak pake logika. Laki-laki macam dia cuma tahu enaknya aja. Mana mau berjuang pakai otaknya.” “Pa ....” “Apa?!" Suara Papa meninggi. "Kamu mau bela suamimu yang nggak tahu diri itu?!” Papa mendengus kesal, merasa perjuangannya sia-sia. “Sebenarnya Papa udah memperkirakan apa yang bakal terjadi. Diam-diam, Papa yang minta Om Wirawan buat lepas Reza sendiri. Dia itu nggak ada skill di bagian marketing. Manfaatin tampang doang nggak ada gunanya, Na!” Papa berdiri, berkacak pinggang sebelum melanjutkan. “Reza ada di puncak kariernya karena dia punya tim yang solid, semua target tercapai. Tiga bulan yang lalu saat tim dirombak dan Reza dapat orang-orang yang nggak mumpuni, akhirnya hasil penjualannya sama sekali di luar dugaan. Bukan surplus yang didapat, tapi minus!” Aku mendengarkan dalam diam. “Perusahaan bahkan harus bayar denda karena salah satu unit rusak waktu dikirim ke pelanggan. Kerja mereka nggak bener. Kirim TV LED kok cuma dibungkus ala kadarnya. Alasannya buru-buru. Itu konyol! Mereka cuma nggak mau repot. Nggak mau susah. Beda dengan tim yang sebelumnya. Pulang pagi pun mereka rela!” Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Papa yang semakin murka. Mungkin semua ini salahku juga. Aku tidak bisa menilai karakter orang lain dengan baik. Buktinya, aku begitu memercayai Mas Reza dan Joyce. Keduanya adalah orang yang paling dekat di hidupku. Tanpa malu-malu aku menceritakan semua rahasiaku kepada mereka. Bodoh memang. Dan aku baru menyadarinya sekarang. Hening menyelimuti kami. Papa beberapa kali menarik napas dalam. Aku semakin takut, tidak berani menatap matanya. “Benar yang Mama bilang, aset yang kamu punya, sekarang semua atas nama Reza?” Akhirnya Papa membahas hal ini juga. Aku hanya bisa mengangguk lemah. Memang itu kenyataannya. “Astaga, Nadya! Kamu itu bukan cuma kemakan cinta buta, tapi juga jadi bodoh, ya!” Papa meraup wajah, semakin kesal dengan fakta yang kembali menamparnya. “Ayo sekarang ikut Papa! Kalau Papa diam, kamu bakal jadi gelandangan nantinya!” Pria lima puluhan itu meraih kunci mobil yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Aku terkesiap, menatap tangan Papa yang kini sudah mencengkeram lenganku. Wajahnya sama sekali tidak bercanda. “Ayo!" Tubuhku sudah berpindah tempat dengan cepat. Papa dengan ketegasannya, memaksaku mengikuti langkahnya. Bahkan, tak segan menyalak saat aku belum juga memakai sabuk pengaman. “Kita ke mana, Pa?” Takut-takut aku bertanya. Meskipun aku putri semata wayangnya, tetap saja beliau akan mengomel atau menghukumku kalau aku melakukan kesalahan. “Kamu nggak perlu banyak tanya.” Detik berikutnya, kendaraan roda empat ini sudah keluar dari pintu gerbang dan bergabung dengan mobil-mobil yang lain. Terik matahari semakin membuat suasana hati tidak nyaman. Panas. Gerah. Lima belas menit berlalu, mobil terhenti di pelataran sebuah gedung pencakar langit yang tampak megah. Beliau membawaku ke pusat kota, ke salah satu firma hukum yang selama ini bertugas menyelesaikan permasalahan perusahaan. Seorang resepsionis membungkukkan badan, menyodorkan buku tamu saat Papa terhenti di meja kerja mereka. Ah, tentu saja setelah menyambut kami dengan senyum ramah. Beberapa orang memperhatikan kami begitu memasuki gedung ini. Namun, mereka segera menundukkan kepala saat Papa melewatinya. Beliau bukan orang sembarangan, salah satu dewan direksi perusahaan elektronik berskala nasional dan menjadi tamu penting di tempat ini. “Firman ada?” tanya Papa to the point setelah menerima id card khusus pengunjung. Aku juga mendapatkan kartu serupa. “Pak Firman sedang ada meeting di luar. Bapak sudah membuat janji sebelumnya?” Si wanita berpakaian merah tersenyum canggung, menunggu jawaban Papa. “Hubungi dia. Bilang saya menunggunya sekarang juga.” “Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Pak Firman. Silakan, Bapak dan Ibu bisa menunggu di sana.” Resepsionis itu menunjuk ruangan dengan dinding kaca di sebelah kanan lobi, meminta kami pergi melalui isyarat tangannya. Papa kembali menarik tanganku ke arah ruang tunggu. Ada kursi sofa dengan meja panjang di depannya. Tanpa perlu diperintah olehnya, aku sudah menempati satu sudutnya. Entah apa yang ada di kepala Papa. Mungkin mengusahakan harta gono-gini agar aku tetap bisa mendapatkannya. “Na, Papa nggak mau kamu sengsara. Apa yang menjadi hakmu, harus kamu dapatkan. Kita minta bantuan Firman. Papa yakin dia bisa meng-handle urusan ini.” Aku diam tak merespons. Terserah Papa sajalah. Aku tak peduli. Menit-menit berikutnya nasihat Papa kembali menyapa telinga. Mengungkit kekurangan Mas Reza dan kebodohanku. Tak kurang dari sepuluh menit Papa berceramah. Emosinya baru sedikit mereda, tak meluap-luap seperti sebelumnya. “Siang, Pak Bagaskara. Ada yang bisa saya bantu?” Terdengar suara seorang pria, membuatku seketika mengangkat wajah demi menilik keberadaannya. Tatap mata kami bertemu di titik yang sama, membuatku tidak bisa bernapas lega seperti sebelumnya. Pun sama dengan pria itu. Sosoknya yang tegap sempurna, berdiri tiga langkah di depanku. Mulutnya terbuka, tapi tak bersuara. Susunan kata yang ada di kepalanya tak bisa diucapkan sama sekali. Dia sepertinya terkejut melihatku di hadapannya. Namun, bukan itu yang membuatku terhenyak. Dia menatapku tanpa berkedip, tatapan penuh kerinduan. Sebagai seorang wanita dewasa, aku bisa mengartikannya. Sampai sekarang, dia masih menyukaiku seperti dulu. Dialah Firman Alamsyah, cinta pertamaku. Seseorang yang amat berarti untukku bertahun-tahun yang lalu. “Apa kabar, Nana?!” Suara Firman terdengar bergetar menahan emosi. Dia salah tingkah, menyentuh hidung seperti kebiasaannya dulu saat gugup dan itu sukses membuat dadaku sesak, kesulitan bernapas detik-detik berikutnya. Kami bertemu kembali setelah sekian lama terpisah. Bagaimana ini? Bagaimana caraku menghadapi dia yang pernah membuat hatiku porak-poranda?Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 81. Tiga Gerbang Penuh Penjagaan "Benar di sini tempatnya? Kenapa sepi sekali seperti nggak ada satu pun tamu yang datang?" tanya Firman begitu mobil yang dikendarai Dani berhenti di sebuah pintu gerbang. Tak ada orang sama sekali di sana."Nggak semua orang bisa masuk, makanya mereka punya keamanan berlapis. Ini baru pintu gerbang pertama. Lingkar luar, puluhan kilometer dari tempat acara. Masih ada dua gerbang lainnya sebelum kita sampai di vila."Bukan Dani, melainkan Om Wirawan yang menjelaskan. Pria itu duduk di kursi belakang, menampilkan wajah tenang meski tahu maut mungkin tengah menghadang.Dani sendiri masih sibuk menempelkan kartu undangan di sebuah alat pemindai yang tertanam di dinding. Butuh satu-dua detik sampai lampu hijau menyala dan gerbang dengan tinggi kurang lebih enam meter itu terbuka."Dari sini, kita mulai diawasi. Perhatikan, baik di tempat terbuka maupun di tempat-tempat tersembunyi, ada kamera." Suara Cinderella menje
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bom! Hanya itu yang ada dalam bayangan di kepala Firman. Sesaat setelah berteriak, dia langsung menyambar tubuh mungil Bima dan menyerahkannya kepada Nadya. Dengan menanggung resiko akan keselamatan nyawanya sendiri, dia mengambil benda mungil roda empat itu dan berlari melemparkannya ke dalam kolam renang. Setidaknya, efek yang terjadi sedikit diminimalisir jika terjadi ledakan. Itu yang Firman pikirkan. Namun, menit-menit berlalu, tak ada yang terjadi. "Mas, kamu kenapa?" tanya Nadya yang masih menggendong Bima, menatap sang suami dengan kening berkerut penuh tanya setelah posisi keduanya berdekatan. Dari arah belakang, kedua orang tua Nadya ikut muncul. Mereka terkejut mendengar teriakan panik Firman yang selama ini selalu berbicara dengan lemah lembut kepada Nadya dan Bima. Semua orang berpandangan, menggeleng. Sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Firman bisa bertindak seimpulsif itu? Firman terlihat masih syok, seperti belum ters
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 79. Sebuah Ancaman“Bagaimana? Kalian sudah bereskan bagian masing-masing?” tanya Om Wirawan begitu duduk di kursi kebesarannya, menatap Firman, Dani, dan Cinderella bergantian, sehari sebelum gala dinner diadakan.“Sudah, Om. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk melumpuhkan orang-orang itu, ada di sini. Tolong Om periksa lebih dulu. Jika ada yang perlu diperbaiki, saya lakukan sekarang juga.”Firman mendorong map tebal berisi beberapa bundel dokumen yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengacara kepercayaan Om Wirawan.Pria dengan wajah dingin itu memusatkan atensinya pada deretan huruf dan angka yang ada di atas kertas. Beberapa kali keningnya berkerut, sesekali mengangguk. Setiap tulisan dengan cetak tebal, menjadi fokus utamanya.“Oke, nanti untuk pengalihan aset dan lain-lain, mungkin akan ada perubahan. Kamu siapkan soft copy-nya, kirimkan ke saya.”Firman mengangguk, segera mengambil ponsel dan mengirimkan dokumen yang dimaksud.“Dani, pr
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 78. High Risk, High Return. Low Risk, Low Return! “Apa ada masalah, Mas?” tanya Nadya yang menyadari wajah Firman belum sepenuhnya lega. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang, mengecek ponsel, kemudian menggeleng pelan. Meski tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi gerak-gerik itu membuat sang istri terusik. “Ah, kamu kebangun, Na?” Alih-alih menjawab, Firman justru mendekat dan langsung mengelus pipi Nadya. Seulas senyum coba pria itu tunjukkan, menyembunyikan kegamangan hati dan pikirannya. “Ada masalah?” ulang Nadya sambil meraih jemari sang suami. “Bukan hal yang penting, Na. Aku cuma—” “Teror itu belum ada titik temu? Belum tahu siapa pengirimnya?” sela Nadya lebih dulu, membuat tubuh Firman menegang. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang perawatan. Tidak ada gunanya menyembunyikan masalah dari sang istri. Bukankah pasangan adalah tempat berbagi keluh kesah? “Maaf udah bikin kamu jadi ikut khawatir, Sayang