Share

Terluka (POV Firman)

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 08:16:23

Pertemuanku dengan klien baru saja selesai saat Mira, resepsionis di firma hukum tempatku bekerja menelepon. Tadinya masih ada agenda makan siang bersama, sekaligus ucapan terima kasih dari orang itu. Namun, begitu mendengar siapa yang mencariku, aku melupakan hidangan aneka seafood kesukaanku. Itu tidak lebih penting dari orang yang sekarang menungguku. Lebih tepatnya satu nama yang sangat ingin kutemui.

Aku memacu kendaraan secepat mungkin, ingin segera melihat wajah ayu wanita itu. Wanita yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu demi mengejar impianku menjadi seorang pengacara. Hingga akhirnya dia menikah dengan orang lain. Jika waktu bisa diputar kembali dan aku tidak pergi meninggalkannya, mungkinkah kami tetap bersama?

Langkahku terasa semakin berat saat meniti anak tangga satu persatu. Matahari semakin membuat peluhku bercucuran.

Mataku memicing tajam selepas melewati pintu kaca yang otomatis terbuka. Mira menunjuk ruang tunggu, di mana kedua tamuku duduk di sana. Dadaku terasa sesak saat mendengar pria baya, salah satu klienku, sedang menasihati putrinya itu.

Langkahku terhenti, menetralkan degup jantungku yang menggila. Dengan menahan gemuruh di dada, aku memberanikan diri membuka suara saat hanya tersisa jarak beberapa langkah dari mereka.

“Siang, Pak Bagaskara. Ada yang bisa saya bantu?” Suaraku sedikit bergetar, aku menyapa. Pria itu langsung menghentikan ceramah sepihaknya, berdiri dan menjabat tanganku.

Wajahnya yang keruh berubah saat menatapku. Ada harapan besar tampak di sana, membuatku bertanya-tanya apa keperluan beliau kemari.

“Firman, saya butuh bantuan kamu. Ini tentang Nana.”

Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Mulutku sudah terbuka, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil lolos dari sana. Bahkan, aku sendiri lupa menyapa sebagaimana seharusnya saat bertemu klien baru.

Nadya mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Tampak dia terkejut, sama sepertiku. Aku benar-benar merindukannya, ingin bercengkerama seperti dulu. Tapi itu hanya sebatas anganku karena sadar posisinya yang sudah bersuami.

“Na ... Nana,” panggilku lirih. Lidahku kelu seketika, terpatah-patah menyapa. "Apa kabar, Nana?!"

Tak ada jawaban, dia juga terhenyak di posisinya. Bukan hanya aku yang terkejut, Nadya pun langsung meremas ujung blouse yang dipakainya. Kebiasaan saat gugup atau takut bertemu dengan orang. Itu memang tabiatnya sejak lama. Aku hafal benar.

Tanpa membuang waktu, Pak Bagaskara memecah keheningan dengan menjelaskan apa yang terjadi. Beliau ingin aku membantu proses perceraian Nadya dengan sang suami, termasuk perebutan harta mereka.

“Firman, kamu bisa mengurusnya?” Pak Bagaskara menyelesaikan penjelasannya dengan sebuah pertanyaan.

Aku kembali tergagap, tidak tahu bagaimana harus menyikapi hal ini. Setahuku, rumah tangga Nadya baik-baik saja. Tapi sekarang?

Aku menatap pria berwibawa itu sekali lagi, sebelum mengalihkan pandangan pada Nadya.

Lagi-lagi dia menundukkan kepala, enggan bersitatap denganku. Ah, aku juga harus segera memalingkan muka agar tidak semakin larut dengan perasaan ini. Rasa rindu yang begitu menggebu, juga perasaan bersalah yang datang tanpa diminta.

“Sebaiknya kita bicarakan di ruangan saya. Mari.”

Demi mengambil jeda, akhirnya aku membawa mereka naik ke lantai lima. Pantulan wajah Nadya kembali kulihat di pintu lift yang mengilap. Dia terus menundukkan kepala, sengaja menghindariku.

Ya, itu masuk akal juga. Jika bukan karena terpaksa, mungkin dia memang tidak akan mau menemuiku. Bahkan, semua pesan dan panggilanku tidak pernah dia balas meski sudah dibaca. Mengingat hal itu, membuat gemuruh di dadaku kembali meronta.

Kami bertiga masuk ke ruangan dengan aroma lavender yang terasa menenangkan. Setidaknya aku bisa sedikit lega, tidak tegang seperti sebelumnya. Aku mempersilakan pak Bagaskara untuk duduk di kursinya dan baru menyadari kalau Nadya menghentikan langkahnya di ambang pintu.

“Pa,” panggilnya lirih sambil menggigit bibir bawahnya, membuat Pak Bagaskara menoleh ke belakang. Mau tak mau pria itu menghampiri putri kesayangannya.

“Ada apa?”

“Kita pulang, Pa. Aku nggak mau urusan sama dia."

Napasku tertahan di tenggorokan, menyadari betapa bencinya Nadya padaku. Dia jelas-jelas tidak mengharapkan pertemuan ini. Entah Pak Bagaskara memaksa atau memang Nadya tidak tahu akan bertemu denganku di sini. Mungkin dia juga kehilangan fokus, baru tersadar saat melihatku di ruang tunggu.

“Pulang kamu bilang? Terus kamu mau membiarkan semua harta yang kamu kumpulkan jadi milik pria nggak tahu diri itu, hah?” Suara Pak Bagaskara kembali menggema. Aku hanya bisa mengepalkan tangan, tidak bisa melindungi wanita yang namanya masih melekat di dasar hatiku. Aku belum bisa mendekat selama dia menjaga jarak seperti ini.

Nadya menggeleng, berusaha menarik lengan ayahnya untuk keluar dari ruangan ini tanpa memberikan pembelaan apa pun. Sayangnya, dia kalah tenaga dan dipaksa masuk.

“Udah, kamu duduk diam di sini. Biar Papa yang urus semuanya sama Firman. Dia pengacara berpengalaman. Jangankan cuma harta gana-gini, Papa bisa minta dia jebloskan Reza ke penjara kalau kamu mau. Dengan begitu, hak asuh Bima pasti ada di tanganmu.”

Satu tamparan tak kasat mata kembali mendarat di wajahku. Bima yang mereka bicarakan, mungkinkah itu nama anak Nadya? Jujur saja, ada perasaan cemburu di hatiku. Setelah Nadya menikah, aku memang menutup diri dari semua kabar tentangnya.

Hal yang sama juga Nadya lakukan. Dia tidak pernah datang setiap kali reuni SMA diadakan. Sejujurnya hati kecilku kecewa.

“Kita bisa pakai pengacara lain, Pa. Jangan dia!” Nadya hampir seperti orang menangis, bersuara sambil membuang muka. Aku tahu dia terluka.

Satu jarum tajam terasa mengoyak jantungku. Dia menolak keberadaanku. Nadya belum memaafkanku.

Pak Bagaskara yang tahu kisah asmara kami, mengembuskan napas kasar dari mulut. Tabiatnya yang memang tegas dan tidak mau dibantah, teruji di sini. Dia bisa saja marah dan mengomel seperti tadi, dan aku yakin beliau juga melakukannya sepanjang perjalanan ke sini. Bahkan mungkin sejak masih di rumah mereka. Tapi, pria itu justru mendekap Nadya yang beranjak pergi dari sana.

“Firman, bisa kamu keluar sebentar? Ada yang harus saya bicarakan dengan Nana!”

Mau tak mau aku mengangguk dan pergi dari ruanganku sendiri. Tatap mata kami kembali bertemu satu-dua detik. Ada luka menganga di sana, aku bisa merasakannya. Wajahnya sembap, bekas menangisi nasib pernikahannya. Bulir hangatnya bahkan jatuh tepat sebelum aku membalikkan badan.

Pikiranku nostalgia kembali mengingat saat tawanya begitu renyah di telinga, juga ketika kami menghabiskan waktu bersama. Dia sosok gadis yang ceria. Berbeda 180 derajat dengan sikapnya yang dingin dan ingin menjaga jarak sejauh mungkin dariku sekarang.

“Naa ... sorry,” bisikku lirih seraya menutup pintu di belakang tubuhku. Aku memejamkan mata dan menyandarkan punggung ke dinding. Ingatanku terlempar ke masa lalu. Masa-masa penuh cinta yang kita lalui bersama. Masa yang tidak mungkin terulang untuk kedua kalinya, hingga mengantarkan ku pada satu kesalahan yang membuat dia memilih menikahi pria lain.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   High Risk, High Return. Low Risk, Low Return!

    Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 78. High Risk, High Return. Low Risk, Low Return! “Apa ada masalah, Mas?” tanya Nadya yang menyadari wajah Firman belum sepenuhnya lega. Berkali-kali pria itu menghela napas panjang, mengecek ponsel, kemudian menggeleng pelan. Meski tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi gerak-gerik itu membuat sang istri terusik. “Ah, kamu kebangun, Na?” Alih-alih menjawab, Firman justru mendekat dan langsung mengelus pipi Nadya. Seulas senyum coba pria itu tunjukkan, menyembunyikan kegamangan hati dan pikirannya. “Ada masalah?” ulang Nadya sambil meraih jemari sang suami. “Bukan hal yang penting, Na. Aku cuma—” “Teror itu belum ada titik temu? Belum tahu siapa pengirimnya?” sela Nadya lebih dulu, membuat tubuh Firman menegang. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang perawatan. Tidak ada gunanya menyembunyikan masalah dari sang istri. Bukankah pasangan adalah tempat berbagi keluh kesah? “Maaf udah bikin kamu jadi ikut khawatir, Sayang

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Dua Serigala

    Firman menghentikan mobilnya di depan ruang UGD. Pria itu langsung menggendong Nadya untuk mendapat perawatan dari dokter dan perawat yang berjaga.“Mas, Kak Nana baik-baik aja, kan?” tanya Alya yang masih berusaha mengatur napas. Dari semua keluarga angkat yang ada, Nadya adalah yang terdekat dengannya untuk saat ini. “Semoga saja. Kita cuma bisa doa yang terbaik.”Firman tak banyak bicara. Pikirannya penuh oleh berbagai prasangka terkait kotak berisi bangkai tikus yang diterima Nadya.Meskipun dia bisa yakin 99% bahwa ‘hadiah’ itu ditujukan untuk Om Wirawan, tapi fakta Nadya yang menerima kotak itu, juga tak bisa lepas dari pikirannya. Dia tidak boleh melibatkan istrinya dengan dunia bawah tanah tempat ayah angkatnya berjibaku.Suara pintu geser yang terbuka membuat lamunan Firman harus terjeda. Matanya mengerjap, segera memusatkan konsentrasi dan mendekat ke arah dokter serta seorang perawat yang baru saja melewati pintu kaca. Senyumnya terlihat ramah saat maskernya dibuka, meski

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Hadiah dari Pria Misterius

    Nadya menatap pria asing di depannya dengan kening berkerut, seluruh tubuhnya masih lemas usai mual hebat beberapa menit lalu."Nona, tolong sampaikan hadiah ini pada pasangan yang bertunangan malam ini," ujar pria bertopi itu dengan suara datar, nyaris tanpa emosi. Namun dari gerak-geriknya, terasa ada sesuatu yang ganjil. Alarm dalam kepala Nadya seolah berdering.Wanita berjilbab itu menatap pria misterius di depannya dengan tatapan tajam."Siapa kamu?!"Pria itu tidak menjawab. Ia hanya meletakkan sebuah kotak berwarna cokelat dengan pita hitam di bangku di samping Nadya. Elegan, tapi terasa ganjil—terlalu suram untuk sebuah acara bahagia.“Saya tidak punya undangan, jadi tidak bisa bergabung ke dalam pesta. Terima kasih atas kebaikanmu, Nona.”Sebelum Nadya sempat merespons, pria itu sudah melangkah cepat dan menghilang di ujung lorong. Langkahnya cepat, tergesa, seolah takut seseorang menyadari kehadirannya.Nadya hampir menyentuh kotak itu saat langkah berderap terdengar dari b

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Rekonsiliasi Hati

    "Nggak ada. Aku cuma mau main-main sama kamu, Mas. Nggak boleh?""Apa?!" Kedua tangan Dani terkepal di samping badan Alya. Embusan napasnya terasa kian berat.Alya tidak langsung menjawab. Tatapannya tenang, tapi penuh siasat. Di bibirnya tersungging senyum tipis yang tidak sampai membuat sudut matanya berkerut."Kamu marah, Mas?" tanyanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Apa kamu punya hak buat mengatur hidupku? Aku dan kamu nggak ada ikatan kecuali sama-sama anak angkat Om Wirawan."Dani menggeram tertahan. Ia meraih pergelangan tangan Alya, menahannya ke dinding—tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat gadis itu berhenti bicara."Jangan main-main, Al. Kamu nggak tahu siapa berandalan itu!""Kamu yang jangan main-main, Mas!" sela Alya dengan mata memelotot, tak gentar menatap Dani yang berusaha mati-matian menahan emosi."Kamu pikir aku bisa diam lihat kamu datang dengan sampah macam dia?" Suara Dani bergetar, menunjuk ke arah ballroom di mana Andrew berada."Sampah?" beo Alya sambil

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Kecemburuan dan Kemarahan

    Suasana ballroom hotel bintang lima itu terasa meriah. Gemerlap lampu kristal memantulkan kilauan ke setiap sudut ruangan, sementara para tamu—bergaun dan bersetelan mahal—bercakap-cakap dengan anggun.Bunga-bunga tertata rapi di berbagai sudut, berpadu dengan meja-meja penuh hidangan dan berbagai minuman. Standing party yang membutuhkan dana tidak sedikit. Sebagai tangan kanan Om Wirawan, Dani harus menjamu para konglomerat dengan jamuan yang pantas."Semua berjalan sesuai rencana, Tuan," lapor seorang pria berpakaian hitam kepada Om Wirawan yang berdiri di samping Dani. Dia kepala keamanan yang memastikan semua tamu masuk tanpa membawa senjata tajam maupun alat berbahaya. Bahkan ponsel pun tertahan di penerima tamu.Pria paruh baya itu hanya mengangguk singkat, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Hanya 200 tamu undangan, rekan bisnis di 'dunia atas' yang bersih. Kalaupun ada rekan bisnis gelapnya, mereka membaur sempurna seperti 'orang baik '.Semua menikmati pesta, menyantap hida

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!   Rencana Balas Dendam

    “Mas, gimana caranya aku ngomong ke Alya soal pertunangan Mas Dani?” tanya Nadya berbisik—setelah lelah mondar-mandir di ruang tengah rumah sewa, tapi belum juga menemukan cara yang tepat.Firman mendesah, terpaksa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Sama seperti yang istri, dia juga didera perasaan gamang terkait keputusan Dani yang menghebohkan itu. Di antara semua orang, dia dan Nadya yang paling dekat dengan Alya sekarang.“Na, masalah pertunangan ini nggak sesederhana seperti apa yang kita pikirkan. Aku mencoba mencari simpulnya sedari tadi, siapa sosok yang mau bertunangan dengan Mas Dani. Tapi semuanya terasa normal-normal aja. Ini akun sosial medianya.”Firman menggeser laptop, memperlihatkan nama Putri Anggun Wijaya, nama yang sama seperti yang tercetak di dalam undangan.“Dia putri angkat keluarga Wijaya. Kemungkinannya, ini semacam perjodohan bisnis. Kamu tahu sendiri, Om Wirawan dan Mas Dani adalah dua orang yang nggak terpisahkan. Bisa jadi, Mas Dani nggak benar-b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status