Pertemuanku dengan klien baru saja selesai saat Mira, resepsionis di firma hukum tempatku bekerja menelepon. Tadinya masih ada agenda makan siang bersama, sekaligus ucapan terima kasih dari orang itu. Namun, begitu mendengar siapa yang mencariku, aku melupakan hidangan aneka seafood kesukaanku. Itu tidak lebih penting dari orang yang sekarang menungguku. Lebih tepatnya satu nama yang sangat ingin kutemui.
Aku memacu kendaraan secepat mungkin, ingin segera melihat wajah ayu wanita itu. Wanita yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu demi mengejar impianku menjadi seorang pengacara. Hingga akhirnya dia menikah dengan orang lain. Jika waktu bisa diputar kembali dan aku tidak pergi meninggalkannya, mungkinkah kami tetap bersama? Langkahku terasa semakin berat saat meniti anak tangga satu persatu. Matahari semakin membuat peluhku bercucuran. Mataku memicing tajam selepas melewati pintu kaca yang otomatis terbuka. Mira menunjuk ruang tunggu, di mana kedua tamuku duduk di sana. Dadaku terasa sesak saat mendengar pria baya, salah satu klienku, sedang menasihati putrinya itu. Langkahku terhenti, menetralkan degup jantungku yang menggila. Dengan menahan gemuruh di dada, aku memberanikan diri membuka suara saat hanya tersisa jarak beberapa langkah dari mereka. “Siang, Pak Bagaskara. Ada yang bisa saya bantu?” Suaraku sedikit bergetar, aku menyapa. Pria itu langsung menghentikan ceramah sepihaknya, berdiri dan menjabat tanganku. Wajahnya yang keruh berubah saat menatapku. Ada harapan besar tampak di sana, membuatku bertanya-tanya apa keperluan beliau kemari. “Firman, saya butuh bantuan kamu. Ini tentang Nana.” Jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Mulutku sudah terbuka, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil lolos dari sana. Bahkan, aku sendiri lupa menyapa sebagaimana seharusnya saat bertemu klien baru. Nadya mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Tampak dia terkejut, sama sepertiku. Aku benar-benar merindukannya, ingin bercengkerama seperti dulu. Tapi itu hanya sebatas anganku karena sadar posisinya yang sudah bersuami. “Na ... Nana,” panggilku lirih. Lidahku kelu seketika, terpatah-patah menyapa. "Apa kabar, Nana?!" Tak ada jawaban, dia juga terhenyak di posisinya. Bukan hanya aku yang terkejut, Nadya pun langsung meremas ujung blouse yang dipakainya. Kebiasaan saat gugup atau takut bertemu dengan orang. Itu memang tabiatnya sejak lama. Aku hafal benar. Tanpa membuang waktu, Pak Bagaskara memecah keheningan dengan menjelaskan apa yang terjadi. Beliau ingin aku membantu proses perceraian Nadya dengan sang suami, termasuk perebutan harta mereka. “Firman, kamu bisa mengurusnya?” Pak Bagaskara menyelesaikan penjelasannya dengan sebuah pertanyaan. Aku kembali tergagap, tidak tahu bagaimana harus menyikapi hal ini. Setahuku, rumah tangga Nadya baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku menatap pria berwibawa itu sekali lagi, sebelum mengalihkan pandangan pada Nadya. Lagi-lagi dia menundukkan kepala, enggan bersitatap denganku. Ah, aku juga harus segera memalingkan muka agar tidak semakin larut dengan perasaan ini. Rasa rindu yang begitu menggebu, juga perasaan bersalah yang datang tanpa diminta. “Sebaiknya kita bicarakan di ruangan saya. Mari.” Demi mengambil jeda, akhirnya aku membawa mereka naik ke lantai lima. Pantulan wajah Nadya kembali kulihat di pintu lift yang mengilap. Dia terus menundukkan kepala, sengaja menghindariku. Ya, itu masuk akal juga. Jika bukan karena terpaksa, mungkin dia memang tidak akan mau menemuiku. Bahkan, semua pesan dan panggilanku tidak pernah dia balas meski sudah dibaca. Mengingat hal itu, membuat gemuruh di dadaku kembali meronta. Kami bertiga masuk ke ruangan dengan aroma lavender yang terasa menenangkan. Setidaknya aku bisa sedikit lega, tidak tegang seperti sebelumnya. Aku mempersilakan pak Bagaskara untuk duduk di kursinya dan baru menyadari kalau Nadya menghentikan langkahnya di ambang pintu. “Pa,” panggilnya lirih sambil menggigit bibir bawahnya, membuat Pak Bagaskara menoleh ke belakang. Mau tak mau pria itu menghampiri putri kesayangannya. “Ada apa?” “Kita pulang, Pa. Aku nggak mau urusan sama dia." Napasku tertahan di tenggorokan, menyadari betapa bencinya Nadya padaku. Dia jelas-jelas tidak mengharapkan pertemuan ini. Entah Pak Bagaskara memaksa atau memang Nadya tidak tahu akan bertemu denganku di sini. Mungkin dia juga kehilangan fokus, baru tersadar saat melihatku di ruang tunggu. “Pulang kamu bilang? Terus kamu mau membiarkan semua harta yang kamu kumpulkan jadi milik pria nggak tahu diri itu, hah?” Suara Pak Bagaskara kembali menggema. Aku hanya bisa mengepalkan tangan, tidak bisa melindungi wanita yang namanya masih melekat di dasar hatiku. Aku belum bisa mendekat selama dia menjaga jarak seperti ini. Nadya menggeleng, berusaha menarik lengan ayahnya untuk keluar dari ruangan ini tanpa memberikan pembelaan apa pun. Sayangnya, dia kalah tenaga dan dipaksa masuk. “Udah, kamu duduk diam di sini. Biar Papa yang urus semuanya sama Firman. Dia pengacara berpengalaman. Jangankan cuma harta gana-gini, Papa bisa minta dia jebloskan Reza ke penjara kalau kamu mau. Dengan begitu, hak asuh Bima pasti ada di tanganmu.” Satu tamparan tak kasat mata kembali mendarat di wajahku. Bima yang mereka bicarakan, mungkinkah itu nama anak Nadya? Jujur saja, ada perasaan cemburu di hatiku. Setelah Nadya menikah, aku memang menutup diri dari semua kabar tentangnya. Hal yang sama juga Nadya lakukan. Dia tidak pernah datang setiap kali reuni SMA diadakan. Sejujurnya hati kecilku kecewa. “Kita bisa pakai pengacara lain, Pa. Jangan dia!” Nadya hampir seperti orang menangis, bersuara sambil membuang muka. Aku tahu dia terluka. Satu jarum tajam terasa mengoyak jantungku. Dia menolak keberadaanku. Nadya belum memaafkanku. Pak Bagaskara yang tahu kisah asmara kami, mengembuskan napas kasar dari mulut. Tabiatnya yang memang tegas dan tidak mau dibantah, teruji di sini. Dia bisa saja marah dan mengomel seperti tadi, dan aku yakin beliau juga melakukannya sepanjang perjalanan ke sini. Bahkan mungkin sejak masih di rumah mereka. Tapi, pria itu justru mendekap Nadya yang beranjak pergi dari sana. “Firman, bisa kamu keluar sebentar? Ada yang harus saya bicarakan dengan Nana!” Mau tak mau aku mengangguk dan pergi dari ruanganku sendiri. Tatap mata kami kembali bertemu satu-dua detik. Ada luka menganga di sana, aku bisa merasakannya. Wajahnya sembap, bekas menangisi nasib pernikahannya. Bulir hangatnya bahkan jatuh tepat sebelum aku membalikkan badan. Pikiranku nostalgia kembali mengingat saat tawanya begitu renyah di telinga, juga ketika kami menghabiskan waktu bersama. Dia sosok gadis yang ceria. Berbeda 180 derajat dengan sikapnya yang dingin dan ingin menjaga jarak sejauh mungkin dariku sekarang. “Naa ... sorry,” bisikku lirih seraya menutup pintu di belakang tubuhku. Aku memejamkan mata dan menyandarkan punggung ke dinding. Ingatanku terlempar ke masa lalu. Masa-masa penuh cinta yang kita lalui bersama. Masa yang tidak mungkin terulang untuk kedua kalinya, hingga mengantarkan ku pada satu kesalahan yang membuat dia memilih menikahi pria lain.Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 88. Extra Part Final “Bimaaa, tolong rapikan mainan adikmu, Nak,” panggil Nadya dari ruang keluarga sambil mengangkat beberapa bantal sofa. “Mami, masa aku terus yang harus beresin?!” Anak lelaki sembilan tahun—yang sedang memainkan mobil remote control—langsung menghela napas panjang, wajahnya setengah merajuk. “Seharian ini aku udah lima kali bersihin mainan Zahra. Capek tahu! Nanti juga berantakan lagi,” imbuhnya sambil memelotot sebal ke arah tersangka. Zahra, si kecil berusia lima tahun, justru sedang asyik menjejalkan boneka kelinci ke dalam keranjang mainannya. Dia tidak tahu kakaknya sedang jengkel karena ulahnya, malah sibuk mengeluarkan mainan yang lainnya, berserak memenuhi karpet berbulu. Wajah bulatnya bersinar penuh kepolosan. Dari dapur, Firman yang sedang membantu Nadya memotong sayuran, mendengar protes Bima. Ia dan Nadya saling pandang lalu terkekeh bersamaan. Ada bahagia sederhana di balik tawa mereka—bahagia karena kini
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 87. Malam Pertama Pengantin BaruRuang ganti hotel yang tadinya penuh dengan MUA, WO, dan keluarga kini sudah lengang. Tinggal Dani dan Alya, masih memakai baju pengantin. Lampu temaram menambah suasana romansa di antara mereka.Dani bersandar santai di kursi, dasinya sudah dilepas separuh, sementara Alya sibuk mencoba membuka kancing kebaya bagian belakang yang sulit dijangkau. Wajahnya terlihat lelah.“Butuh bantuan?” tanya Dani sambil menangkap tangan Alya dan mencuri sebuah kecupan dari samping.Alih-alih senang dengan keberadaan sang suami, Alya justru mendengus kesal.“Nggak usah tanya. Kalau niat bantu, langsung aja.”“Langsung apa?” balas Dani dengan nada menggoda, sengaja berbisik di dekat telinga Alya dan mengembuskan napas hangat yang membuat gadis itu tegang.“Mas Dani ngapain, sih?!” Alya memutar tubuhnya, mencoba mendorong tubuh sang suami yang sedikit menunduk sejak beberapa menit lalu saat mendekatinya.“Aku capek, Mas. Jangan nam
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas! Bab 85. Lamaran Pria Posesif "Peluru sudah berhasil dikeluarkan dari kaki pasien. Tapi kondisinya masih lemah. Kami sarankan rawat inap sampai trauma psikisnya tertangani," ucap sang dokter dengan suara tenang namun tegas. Dani mengangguk, berterima kasih sebelum berjalan cepat ke ruang perawatan. Pintu kamar digeser perlahan. Di baliknya, Alya terbaring diam, sudah mengenakan pakaian rumah sakit. Wajahnya pucat dan terlihat kelelahan. Dia sudah beberapa kali mengikuti gala dinner bisnis, tapi menjadi bagian dari pesta berdarah adalah pengalaman yang pertama baginya. "Mas Dani," panggil Alya lirih setelah membuka mata saat merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. "Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?" Dani mengamati Alya, memindai manik mata gadis kesayangannya. Alih-alih menjawab, Alya justru tersedu. Tangannya segera meraih lengan Dani dan memeluknya erat-erat. Dani yang ikut merasa terenyuh, membiarkan gadis itu menangis. Selama ini Aly
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 84. Game OverTubuh Felix limbung, terhuyung ke belakang dan ambruk di lantai. Belati yang tadi menancap di perutnya, kini jatuh berkelontang dari tangan Andrew.“Apa yang terjadi?” tanya pria bermata sipit dengan tangan berlumur darah kakak kandungnya sendiri. Suaranya bergetar dengan mata terbelalak. Tatapannya terpaku pada tubuh yang tergeletak dengan napas yang semakin melemah. Kemeja yang dipakai berubah merah oleh darah.Semua suara seolah lenyap, bahkan teriakan panik dan derap kaki para tamu yang masih berusaha menyelamatkan diri, tak lagi terdengar oleh Andrew. Dia bahkan sampai lupa bernapas, tangannya gemetar.“Mas…” Dua langkah dari sana, Alya yang terduduk lunglai, menatap dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam lengan Dani erat-erat.Di belakang keduanya, Firman hanya bisa terdiam. Rasa perih di pelipisnya tak lagi penting, dia justru sibuk menoleh ke sana kemari mencari jalan keluar. Wajah-wajah di sekitar mereka menyiratka
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 83. Bulan Tersaput AwanFelix menekan lengan Cinderella lebih keras, membenturkannya ke dinding hingga napas gadis itu tersengal. Suara gemuruh di luar ruangan tak mampu menutupi bunyi dengusan amarah dari dada pria berjas hitam itu.Namun, alih-alih gentar, Cinderella justru menyeringai miring. Napasnya pendek, tapi matanya tetap tajam menusuk.“Kamu berdiri di tempat yang salah, Felix,” bisik Cinderella, lirih tapi mantap, “itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama. Istri dan anakmu... mereka mungkin nggak mau menemuimu, bahkan meski sama-sama di neraka sekalipun.”Ucapan itu menghantam Felix seperti palu godam. Pertama, dia tidak terima istri dan anaknya disebut berada di neraka. Kedua, kenapa mereka tidak akan mau bertemu dengannya?Seketika, mata pria ity menyipit curiga, lalu menekan lebih kuat pergelangan Cinderella yang masih ia kunci ke dinding.“Apa maksudmu?!” desisnya. Sorot matanya menusuk, tapi di baliknya tergurat satu ker
Akan Kubalas Pengkhianatanmu, Mas!Bab 82. Curang dan Suka Main Belakang"Hoek!"Suara muntahan Nadya membuat aktivitas makan malam terhenti. Bima yang semula asyik menikmati sup ayam favoritnya, seketika menoleh. Pun Mama Anita yang segera berdiri dan menyusul putri semata wayangnya yang kini menunduk di depan wastafel dapur.Di sisi lain, Papa Bagaskara hanya bisa diam, menegang di kursinya. Dia tidak berbuat banyak, tapi sorot mata dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran."Opa, Mami kenapa?" tanya bocah yang akan genap berusia 4 tahun dalam beberapa bulan itu."Mami mungkin nggak enak badan, Sayang. Udah nggak apa-apa. Ayo lanjutin makannya."Meski masih ingin bertanya, tapi bocah dengan kaus berkerah warna biru itu akhirnya mengangguk. Tangannya cekatan menusuk potongan wortel dan melahapnya."Kamu nggak apa-apa, Na?" tanya Mama Anita sambil mmegelus punggung Nadya. "Nggak tahu, Ma. Tiba-tiba mual hebat. Padahal udah ga pernah mual berapa hari ini. Aku pikir morning