Share

Bab 4 Mencintai yang Tidak Bisa Dimiliki

Bab 4 Mencintai yang Tidak Bisa Dimiliki

“Marvin, kamu suka sama Tea?”

Mendengar pertanyaan Jenandra, Marvin dan Teala menoleh seketika. Saling pandang sejenak. Bahkan Yasha ikut menatap kekasihnya dengan pandangan bingung.

“Kenapa kamu bilang gitu?” tanya Yasha.

“Tidak ada. Marvin jarang sekali memperlakukan seorang gadis sebegitunya. Walau dia terkenal ramah, tidak semua gadis mendapatkan perhatian seperti itu,” jelas Jenandra.

“Ada-ada saja. Tentu saja Marvin menyukaiku. Kita 'kan teman. Aku, Marvin, Kak Yasha, dan Jenan. Kecuali Jenan dengan Kak Yasha yang sudah akan menikah, tentu Marvin juga sayang dengan Kak Yasha atau Jenan. Hanya saja, cara Marvin memperlakukan Kak Yasha denganku jelas berbeda.” Teala menjawab panjang lebar. Mencoba menghilangkan kecanggungan yang sempat mampir ke meja tersebut.

Namun, setelah jwaban Teala, bukannya mencair, suasana justru semakin canggung. Mereka berempat diam dan memilih sibuk dengan isi pikiran masing-masing.

“Vin, mama kamu tidak menunggu di rumah?” tanya Teala, mencoba mencairkan suasana.

“Tidak masalah. Mama sudah tahu aku mampir makan juga,” jawab Marvin.

“Jen, kamu tidak mau main dan menginap di rumahku dulu sebelum menikah? Nanti kalau sudah menikah, tidak ada waktu main atau begadang denganku atau aku yang akan di jambak Yasha,” lanjutnya.

Jenandra tertawa kecil. Sementara Yasha menatap Marvin dengan mata melotot.

“Tentu saja aku akan marah. Sudah punya istri malah pergi keluar, menginap di rumah orang lain. Bukan hanya aku jambak, aku akan memukul jidatnya sampai gepeng.”

Ketiganya tertawa pelan. Sedangkan Jenandra mengulurkan tangannya untuk mengusak puncak kepala calon istrinya.

“Iya, nanti aku menginap di rumahmu setelah mengantar Yasha dan Teala pulang,” ucap Jenandra.

“Oke, nanti langsung ke rumah. Jangan lupa mampir ke supermarket dan beli makanan. Kita main game sampai pagi.”

“Iya, bawel.”

“Oh iya Marvin, aku masih punya janji denganmu, ya. Aku bilang akan ke kafe baru itu denganmu akhir pekan nanti, ‘kan? Nanti kabari aku, ya. Hari minggu saja karena sabtu aku ada pesanan kue ulang tahun,” ujar Teala.

“Oke, nanti aku kabari.”

Mereka berempat kembali fokus menghabiskan makanan yang ada di meja. Setelah selesai, Jenandra segera mengantar Teala dan Yasha untuk pulang, sementara Marvin kembali ke rumahnya.

Di perjalanan, Teala memilih membuka ponselnya dibanding harus melihat interaksi Yasha dan Jenandra di kursi depan. Teala masih cukup waras untuk tidak menyakiti hatinya sendiri dengan melihat mereka.

“Tea, kamu sering keluar dengan Marvin?” tanya Yasha.

“Tidak juga, sih. Marvin memang sering mampir ke toko kalau dia sedang senggang, tapi tidak sesering itu juga. Lagipula aku tidak punya banyak waktu untuk keluar, Kak. Hanya saja, Marvin memang selalu mengajakku ke temapat-tempat baru yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya,” jelas Teala sembari tersenyum.

“Kamu sadar tidak sih kalau dia sedang mendekati kamu?” tanya Yasha lagi.

“Bukan begitu. Seperti yang aku katakan tadi, Marvin tidak mungkin mengajak Kak Yasha keluar karena Kak Yasha sudah punya Jenan, ‘kan? Makanya dia mengajakku karena hanya aku yang kosong. Kalau Marvin mengajak Jenan juga takutnya nanti Jenan punya acara sama Kak Yasha. Jadi, tidak ada yang spesial.” Bahu Teala mengedik sekilas.

“Tapi tatapan Marvin ke kamu itu beda, lho.” Yasha menjawab dengan bersemangat.

“Kalau kamu jadian sama Marvin, nanti kita bisa double date! Pasti menyenangkan sekali,” lanjutnya.

“Kamu harus mulai fokus mencari pasangan, Tea. Usia kamu juga sudah matang menikah. Jangan fokus dengan kesibukanmu saja. Lagipula, setelah menikah kamu masih bisa menjalankan toko atau modeling karena kamu ambil modeling lepas,” tuturnya.

“Nanti saja, Kak. Aku belum tertarik,” jawab Teala singkat.

Bagaimana mungkin dia tertarik menjalin hubungan, saat seseorang yang Teala harapkan adalah calon suami kakaknya sendiri.

Teala tidak ingin menjadi jahat dengan merebut Jenandra. Ia bahkan sangsi kalau pria itu akan membalas perasaannya, mengingat bagaimana Jenandra mencintai Teala dengan begitu besar. Kalaupun diberi pilihan untuk mengungkapkan perasaannya, Teala akan tetap memilih diam. Ia tidak ingin menciptakan kecanggungan antara dirinya dan Jenandra, atau lebih parahnya, membuat Yasha sakit hati. Jadi, cukup Teala yang menanggungnya sendiri.

“Oh iya, Jenan, boleh aku menitipkan sesuatu untuk Marvin? Beberapa waktu lalu dia mau meminjam portofolioku untuk diajukan ke perusahaannya, nanti aku titip ke kamu, ya,” ujar Teala.

“Kalian akan bekerjasama?” tanya Jenandra.

“Sebenarnya aku hanya menolong Marvin saja. Dia bilang, dia tidak menemukan model yang cocok untuk peresmian brand yang jadi relasinya bekerja. Semestara kontrak kerja Marvin masih tiga bulan lagi. Jadi, mau tidak mau, Marvin harus bertanggung jawab atau membayar denda,” jelas Teala.

“Bukankah biasanya model berasal dari brand? Sangat jarang profesi kami mencari model juga,” tutur Jenandra.

“Benar. Namun, perusahaan Marvin sudah setuju bahwa fotografer yang harus mencari model.” Teala menjelaskan.

Jenandra mengangguk kecil. Begitu sampai di rumah Teala dan Yasha, Teala segera beranjak ke kamarnya untuk mengambilkan portofolio miliknya, sementara Jenandra masih berdiri di depan mobilnya bersama dengan Yasha.

Gadis itu menyerahkan portofolionya tanpa menunggu Jenandra. Ia segera pergi dari sana, sebab sadar bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk berlama-lama.

Teala tidak tahu, jika Jenandra menatap punggungnya dengan sorot yang tidak bisa diartikan.

***

Jenandra memarkirkan mobilnya dan segera masuk ke rumah Marvin. Menyapa sebentar pada orang tua sahabatnya tersebut dan segera menuju lantai dua, letak kamar Marvin berada.

Begitu masuk, Jenandra melihat Marvin tengah sibuk berkutat dengan lensanya.

“Vin,” panggil Jenandra.

“Mana makanannya?” tanya Marvin tanpa mengalihkan pandangannya.

“Baru sampai bukannya disambut malah nanyain makanan,” protes Jenandra.

“Tidak perlu berbasa-basi, lah. Sama teman sendiri,” kekeh Marvin dan segera merampas kantung keresek dari tangan Jenandra.

“Ayo taruhan. Sudah lama kita tidak bertaruh game. Kalah, makan gratis sampai hari pernikahanmu,” ucap Marvin. Mulutnya mulai mengunyah keripik kentang.

“Siapa takut,” jawab Jenandra.

Keduanya mulai bermain game dan Marvin berhasil menang. Keduanya duduk bersandar pinggiran tempat tidur milik Marvin dengan satu kaleng soda di tangan masing-masing. Pikiran keduanya, berkelana entah ke mana.

“Vin, kamu benar tidak ada rasa dengan Teala?” tanya Jenandra di tengah keheningan keduanya.

Marvin yang mendengar pertanyaan tersebut tidak langsung membalas. Bibirnya kembali menyesap minuman kaleng dalam genggamannya. Sorot matanya lurus ke depan, sementara Jenandra masih sabar menunggu. Perasaannya mendadak tidak nyaman saat melihat raut wajah Marvin yang tidak bisa ditebak.

Bertahun-tahun mengenal pria di sampingnya tersebut tidak lantas membuat Jenandra mengenal Marvin dengan baik. Kadang, Marvin memiliki banyak rahasia yang tidak Jenandra ketahui, terlebih jika hal itu menyangkut perasaan.

“Jen,” panggil Marvin. Ada jeda sebentar dalam ucapannya. Marvin sengaja melakukannya untuk tahu respon sahabatnya tersebut.

Setelah menghela napas panjang, Marvin menoleh dan menatap tepat pada mata Jenandra.

“Bagaimana kalau aku mencintai Teala, lebih besar dari yang kalian tahu?”

                                                                  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status