Share

Bab 2

Author: Tedy
Di pusat pengurusan visa, Celine menyerahkan tumpukan dokumen terakhir ke loket.

Petugas dengan cepat memeriksa sekilas, “Baik, berkasnya sudah lengkap. Hasilnya akan keluar sekitar satu bulan lagi. Nanti akan ada SMS yang memberitahumu untuk pengambilan.”

Celine mengangguk pelan, “Terima kasih.”

Lalu berbalik dan bersiap pergi.

“Kamu mau ke mana?”

Tiba-tiba terdengar suara yang terdengar penuh kecurigaan dan keterkejutan.

Langkah Celine terhenti dan menoleh ke belakang.

Wiliam berdiri beberapa meter darinya, wajahnya tampak muram.

Gwen merangkul lengan Wiliam erat-erat. Saat melihat Celine menoleh, dia pun reflek sedikit bersembunyi di belakang Wiliam. Tapi di matanya melintas kilatan antusias, seperti sedang menonton sebuah drama.

Bibir Celine bergerak, belum sempat berbicara.

Wiliam sudah lebih dulu memotong dengan dingin, nadanya terdengar tak sabar dan penuh perintah seolah sangat wajar, “Kebetulan sekali, aku jadi nggak perlu menjelaskan padamu secara khusus. Ada lelang di luar negeri akhir bulan ini, aku akan mengajak Gwen.”

Wiliam menoleh ke arah Gwen, nadanya pun agak melembut, “Dia belum pernah melihatnya, aku akan mengajaknya untuk menambah pengalaman. Kamu sudah terlalu sering menghadiri acara seperti itu, pasti sudah bosan. Jadi, nggak perlu ikut kali ini.”

Celine terkejut.

Seminggu yang lalu, Wiliam masih memeluknya dari belakang di ruang kerja, dagunya bersandar di atas kepala Celine, sambil membolak-balik katalog yang dikirim balai lelang. Kemudian, dia menunjuk berlian merah muda itu dan berkata, “Ini cocok untukmu, aku akan menggunakan ini untuk lamaran ke-100.”

Begitu cepat Wiliam melupakannya.

Celine menatap wajah Wiliam yang penuh ketidakpedulian, semua kata pun tertahan di tenggorokannya.

Dia hanya mengangguk dengan sangat pelan, menandakan bahwa dirinya sudah tahu.

“Tunggu,” ujar Wiliam dengan nada kaku, lalu memerintah, “Jalan bersama saja, mobil ada di luar.”

Bentley hitam yang familiar terparkir di sana. Celine dengan terbiasa mengulurkan tangan untuk membuka pintu kursi penumpang depan.

Gerakan Wiliam jelas terhenti, alisnya berkerut.

“Kak Wiliam!” panggil Gwen dengan manja. Jarinya menunjuk stiker hello kitty warna merah muda yang bertuliskan ‘Kursi Khusus Gwen Sayang’ di sandaran kursi depan.

“Lihat! Stikernya bahkan masih ada!”

Nada suaranya sangat manja, sekaligus niat memamerkannya.

Tangan Celine pun membeku di udara. Dia menatap stiker kekanak-kanakan yang sama sekali tak cocok dengan mobil mewah nan elegan itu. Dadanya terasa seperti diremas kuat oleh tangan tak kasat mata. Rasa sakit dan pedih langsung menyerbu hidung dan matanya.

Kursi ini telah dirinya duduki selama hampir sepuluh tahun.

Wiliam meliriknya, tampak agak canggung. Tapi, nadanya tegas tanpa bisa dibantah, “Gwen agak mabuk perjalanan, duduk di belakang kurang nyaman. Kamu mengalah sedikit, duduk belakang saja.”

Mengalah sedikit.

Mendengar kata-kata itu, jantungku terasa nyeri dan mati rasa.

Tanpa berkata apa-apa, Celine hanya mengangguk pelan, menarik kembali tangannya, lalu berbalik membuka pintu kursi belakang.

Bagian dalam mobil sudah berubah sepenuhnya.

Bantal wol warna merah muda, aroma pengharum yang manis sampai memusingkan, kantong di sandaran kursi penuh dengan cemilan milik Gwen.

Semua jejak tentang dirinya telah dibersihkan tanpa sisa, digantikan oleh selera seorang gadis lain yang mencolok dan menusuk mata.

Mobil pun melaju dengan stabil.

Dari kursi depan, percakapan pelan mereka terdengar jelas.

“Kak Wiliam, Swee dingin nggak sekarang?”

“Dingin, nanti aku bawakan mantel bulu cerpelai putih itu untukmu.”

“Kamu memang paling baik! Kita menginap di kamar yang bisa melihat pegunungan salju, ya!”

“Iya, ikut kata-katamu.”

Setiap kata terasa seperti jarum, menusuk-nusuk hatinya.

Celine memalingkan wajah, menatap lurus ke pemandangan kota di luar jendela yang melesat cepat. Kukunya menancap dalam ke telapak tangan.

Dalam lamunan, kenangan pun tumpang tindih.

Beberapa tahun lalu, di dalam mobil ini juga, Wiliam pertama kali membawanya keluar negeri. Dirinya senang bukan main sambil menunjuk pemandangan asing di luar jendela. Wiliam menggenggam erat tangannya, menyerahkan semua tiket, hotel dan jadwal perjalanan pada Celine, sambil berkata, “Ke depannya kalau mau ke mana, kita pergi bersama.”

Waktu itu, hanya ada dirinya dalam hati Wiliam.

Sreeek….!

Brakkk!!!

Benturan dahsyat menghantam dari sisi belakang!

Dunia seakan berputar. Suara ledakan keras mengguncang telinga.

Mobil berputar tak terkendali, tergelincir ke samping, lalu berhenti mendadak.

Celine terjepit di ruang kursi belakang yang penyok, rasa sakit meledak dari seluruh tubuhnya.

Dia tak bisa bergerak, setiap napas membuat dadanya sakit. Aroma darah kental memenuhi hidungnya.

Dia mendengar rintihan kesakitan dan suara gesekan dari depan.

Kemudian, terdengar suara Wiliam yang serak, gemetar dan panik

“Gwen? Gwen! Jawab aku! Kamu baik-baik saja? Jangan takut! Jangan takut! Lihat aku! Ada aku di sini! Ambulans! Iya, cepat panggil ambulans!”

Wiliam benar-benar lupa.

Masih ada orang di kursi belakang.

Masih ada Celine.

Dengan sisa tenaga yang ada, menahan rasa sakit seperti menyayat tubuhnya, Celine merangkak perlahan keluar melalui celah pintu mobil yang penyok.

Darah mengaburkan salah satu matanya. Setiap gerakan hampir membuatnya pingsan.

Akhirnya, Celine berhasil keluar dan terjatuh dengan mengenaskan ke aspal yang dingin dan kasar. Dia terengah-engah, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali.

Dengan susah payah, dia mengangkat kepalanya.

Cahaya matahari yang menyilaukan membuat pandangannya kabur.

Wiliam menggendong Gwen, gerakannya begitu hati-hati, seolah sedang membawa benda paling rapuh dan berharga di dunia. Dia terhuyung-huyung, berlari panik menuju ambulans yang baru berhenti.

Wiliam bahkan tidak menoleh sedikitpun ke mobil yang sudah seperti besi rongsokan.

Tidak teringat bahwa masih ada dirinya di kursi belakang.

Celine terbaring lemas di lantai yang dingin, wajahnya berlumuran darah dan debu. Dia menatap kosong saat pintu ambulans menutup dengan suara keras, memisahkan dua sosok itu, lalu melaju pergi dengan sirene yang meraung.

Darah hangat mengalir dari dahinya, menetes ke lantai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 24

    Di Singpur, kehidupan Celine perlahan terisi oleh ritme yang baru.Pekerjaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tim yang dia pimpin dengan cepat berjalan stabil dan beberapa proyek sulit berhasil dirinya tuntaskan dengan hasil yang sangat memuaskan.Promosi jabatan, kenaikan gaji, semuanya berjalan lancar.Di akhir pelan, Celine sesekali mengunjungi museum seni atau mengajak teman-teman baru yang dikenalnya untuk mencoba berbagai jenis makanan.Dia juga belajar memasak beberapa hidangan sederhana dan ternyata hasilnya cukup enak.Dia sangat jarang memikirkan Wiliam. Hanya sesekali, saat melihat berita ekonomi yang menyinggung Grup Vier, pandangannya akan berhenti beberapa detik lebih lama, lalu menggeser layar dengan tenang.Pria itu seolah menepati sebuah kesepakatan tak terucap, tak pernah muncul lagi dan tak pernah mencoba menghubunginya.Hal itu membuatnya lega dan juga merasa mungkin Wiliam benar-benar sudah melepaskannya.Di Makas, Wiliam menjadi jauh lebih pendiam dibanding sebelumny

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 23

    Celine kembali ke apartemennya dengan hati yang luar biasa tenang.Dia mengunci pintu dari dalam, tidak menyalakan lampu utama, hanya menyalakan lampu lantai. Cahaya kekuningan menyelimuti hunian kecil yang sebenarnya belum lama dirinya tempati itu.Dia berjalan ke jendela dan memandang jalanan di bawah.Beberapa hari sebelumnya, bos besar memanggilnya ke ruang kantor. Bukan karena ada kesalahan dalam pekerjaannya, melainkan memberinya sebuah pilihan yang sama sekali tak terduga.“Cabang Singpur di Wilayah ASIYA membutuhkan seorang penanggung jawab. Bisnis di sana berkembang pesat, tapi timnya butuh penataan ulang. Tantangannya besar.”Bos menatapnya dengan sorot mata tajam, “Ada anggota dewan yang merekomendasimu. Mengingat kinerjamu di kasus akuisisi sebelumnya dan sepertinya kamu juga membutuhkan perubahan lingkungan.” Ucapan itu disertai lirikan bermakna ke arah jendela, ke bawah gedung.Seketika, Celine mengerti maksudnya.Gangguan yang terus-menerus dari Wiliam akhirnya tetap sa

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 22

    Seperti biasa, Wiliam menunggu di bawah gedung kantor itu. Dia bahkan sudah terbiasa dengan penantian tanpa harapan seperti ini.Meski setiap kali sosok itu muncul, yang dirinya dapat hanya bayangan yang menjauh.Namun, hari ini tampaknya berbeda.Saat Celine keluar , dia tak langsung berjalan lurus menuju stasiun kereta seperti biasa, melainkan berhenti tepat di hadapannya.Jantung Wiliam berdetak keras, sampai-sampai dia hampir mengira dirinya sedang berhalusinasi.“Ayo, makan bersama,” kata Celine dengan suara yang sangat tenang, tanpa emosi yang jelas. “Di restoran Ital depan sana saja.”Seketika kegembiraan yang luar biasa membanjiri hati Wiliam.Wiliam menjadi salah tingkah, bahkan bicaranya pun menjadi terbata-bata, “Iya, iya, ayo makan. Aku tahu tempat itu, tunggu aku sebentar, aku akan segera ke sana.”Dia berlari kencang menuju apartemennya, lalu dengan terburu-buru merogoh kotak beludru dari laci penyimpanan.Akhirnya Celine luluh dan memberinya kesempatan. Ternyata kegigih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 21

    Setelah keluar dari rumah sakit, Wiliam hanya mengingat helaan napas terakhir Celine dan dengan keras kepala menafsirkan helaan napas itu sebagai tanda hatinya melunak.Ujian… ini pasti ujian terakhir darinya.Celine hanya butuh waktu, butuh bukti ketulusannya yang lebih besar.Wiliam kembali bangkit, bahkan menjadi lebih nekat dari sebelumnya.Dia melepaskan sebagian besar urusan di dalam negeri yang mengharuskan kehadirannya secara langsung dan memilih bekerja jarak jauh, seolah-olah ‘mengejar kembali Celine’ telah menjadi satu-satunya karir yang dirinya tekuni saat ini.Percobaan pertama, dia membawa seikat mawar merah yang segar dan menunggunya di bawah gedung perusahaan.Saat Celine keluar, matanya menyapu sosok pria itu, beserta gumpalan warna merah di pelukannya dengan tanpa riak emosi sedikit pun.Langkah kakinya tidak berhenti, Celine terus berjalan menuju stasiun bawah tanah.Wiliam mengejarnya sambil memeluk bunga itu, tapi Celine mempercepat langkah, membaur ke dalam kerumu

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 20

    Wiliam berusaha keras membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Yang terlihat di atas kepalanya adalah langit-langit putih yang asing, botol infus tergantung di penyangga, meneteskan cairan obat perlahan.Wiliam terdiam beberapa detik, barulah dia menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit.Sisa mabuk membuat kepalanya terasa seperti hendak pecah, sementara perutnya perih seperti terbakar.Dia secara reflek menggerakkan jarinya, lalu menyentuh kulit yang hangat.Dia langsung menoleh. Celine sedang duduk di kursi di samping ranjang, menunduk menatap ponselnya. Wajahnya terlihat sangat tenang.Seketika gelombang kegembiraan menghantam Wiliam.Dia tahu… dia tahu masih ada dirinya di hati Celine. Celine masih tidak rela meninggalkannya. Melihatnya pingsan, Celine masih tetap khawatir dan datang menemaninya.“Celine,” terdengar suara Wiliam yang serak, tapi dipenuhi kegembiraan dan getaran yang tak bisa disembunyikan. Dia reflek ingin menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu masih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 19

    Rencana akhir akuisisi akhirnya mendapatkan persetujuan bulat dari dewan direksi. Pihak perusahaan lawan pun menyatakan persetujuan awal. Yang tersisa hanyalah negosiasi detail.“Kerja bagus, Celine!” Pria asing tua yang biasanya serius itu akhirnya tersenyum. Dia menepuk bahu Celine dengan kuat, “Kita harus merayakannya malam ini, kita wajib minum-minum!”Seluruh tim proyek langsung bersorak gembira, suara sorakan mereka seolah mampu meruntuhkan atas gedung.Selama masa ini, tekanan yang mereka hadapi sangat besar dan kini kebahagiaan atas kesuksesan tersebut menghapus semua perasaan lelah.Rekan-rekan kerja mengerumuni Celine, saling bersahutan membahas restoran mana yang akan dipilih untuk merayakan, lalu turun ke bawah dengan riuh.Begitu angin dingin di luar gedung meniup, Celine reflek mengangkat bahunya sedikit. Senyuman santai masih terukir di wajahnya.Dia sengaja mengabaikan tatapan mata yang membara dari arah yang tidak jauh darinya.Wiliam kembali menunggu di sana.Saat mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status