Share

Bab 3

Author: Tedy
Suasana di dalam rumah sakit benar-benar kacau.

Wiliam hampir berteriak sambi mencengkeram dokter yang baru datang setelah mendapat kabar, “Selamatkan dia! Utamakan dia dulu! Pakai obat terbaik! Dokter terbaik! Cepat!”

Matanya memerah, jari-jarinya gemetar. Semua ketakutan dan kepanikan itu tercurah sepenuhnya pada orang yang sedang didorong masuk ke ruang gawat darurat.

Setelah keadaan sedikit mereda, tiba-tiba sebuah pikiran menghantam otaknya yang nyaris berhenti bekerja.

Celine!

Dadanya menegang. Dia segera meraih ponsel, jarinya kaku tak mau menurut. Dia berniat menelepon asistennya agar segera kembali ke lokasi kejadian untuk menjemputnya.

Namun baru berbalik badan, dia melihat sosok yang begitu familiar sedang berjalan tertatih ke arahnya di ujung lorong.

Celine melangkah sangat pelan, seolah setiap langkah menginjak bilah pisau.

Darah di keningnya sudah mengering. Bekas merah tua tampak mencolok di wajahnya yang pucat. Pakaiannya penuh debu, membuatnya tampak begitu rapuh dan menyedihkan.

Hati Wiliam serasa diremas kuat. Dia berlari menghampirinya dan langsung memapah lengannya, “Celine! Kamu… kamu baik-baik saja? Ada terluka nggak? Tadi aku….”

Dia bicara dengan gagap. Menatap wajah Celine yang pucat, rasa panik yang datang terlambat mencengkeramnya, “Gwen pingsan tadi. Aku nggak melupakanmu. Aku bukan sengaja.”

Celine mengangkat pandangannya. Tatapan kosongnya jatuh ke wajah Wiliam yang cemas, tapi seolah tak benar-benar melihat apapun.

Celine pelan-pelan melepaskan tangannya, tanpa mengucapkan satu kata pun.

Reaksi tenang itu justru membuat Wiliam makin gelisah. Pandangannya reflek turun… lalu tiba-tiba terhenti.

Terbentang luka panjang yang mengerikan di betisnya. Di sekelilingnya penuh lecet dan memar. Darah dan debu bercampur, tampak sangat menyayat mata.

Yang lebih menusuk adalah beberapa luka lama yang jelas terlihat, bercokol di kulitnya yang putih.

Wiliam tahu Celine bertipe kulit mudah berbekas luka. Luka kecil saja bisa meninggalkan jejak yang jelek.

Sepuluh tahun ini, Wiliam menjaganya dengan sangat hati-hati, hampir tak pernah membiarkannya terluka lagi.

“Dokter! Sini! Periksa dia!” Suara Wiliam tiba-tiba meninggi, keras dan tak terbantahkan. Dia menarik dokter yang kebetulan lewat, “Pakai obat terbaik! Teknik terbaik! Nggak boleh ada luka yang membekas! Paham?!”

Wiliam menahan bahu Celine, suaranya penuh kecemasan saat menenangkannya, “Celine, jangan takut. Nggak masalah, medis sekarang sudah maju, nggak akan meninggalkan bekas.”

Melihat ketulusan kekhawatiran dan kepanikan di matanya, Celine sempat linglung sesaat.

Pintu ruang gawat darurat terbuka sedikit. Seorang perawat menjulurkan kepala dan berteriak, “Pak Wiliam! Nona Gwen sudah sadar, emosinya sangat nggak stabil. Dia terus menangis, katanya mau bertemu denganmu!”

Tubuh Wiliam menegang, dia segera menoleh dan kekhawatiran di matanya langsung berpindah.

Perawat itu menambahkan dengan suara yang lebih pelan, “Luka di sisi pipinya cukup dalam dan terkontaminasi parah. Ada tanda-tanda jaringan yang mulai mengalami nekrosis. Setelah pembersihkan luka… kemungkinan besar akan sulit sembuh secara normal, bisa meninggalkan bekas cekungan permanen, bahkan beresiko memengaruhi otot wajah.”

Tangisan Gwen yang histeris terdengar dari dalam.

Raut wajah Wiliam berubah. Dia menatap ke arah ruang gawat darurat, lalu mendadak berbalik melihat luka di kaki Celine. Tatapannya penuh pergulatan.

Detik berikutnya, seolah sudah mengambil keputusan, dia melangkah cepat ke hadapan Celine. Jakunnya bergerak, suaranya serak dan berkata, “Celine, wajah Gwen terluka. Dokter bilang perlu mencangkok sedikit kulit yang sehat.”

Celine mendongak tiba-tiba, menatapnya dengan terkejut, hampir mengira dirinya salah dengar.

Dia pun secara reflek menggelengkan kepala dan memundurkan tubuhnya.

“Hanya sedikit saja!” Wiliam buru-buru menambahkan. Namun, dia tak berani lama-lama menatap mata Celine, pandangannya melayang ke arah ruang gawat darurat.

Tangisan Gwen di dalam membuatnya tetap melanjutkan, “Dia masih kecil. Kalau wajahnya rusak, hidupnya bisa hancur! Celine….”

Wiliam terdiam sejenak. Kalimat itu terasa menyakitkan untuk diucapkan, tapi akhirnya tetap diucapkan, “Anggap saja ini balasan untuk sepuluh tahun ini, aku sudah membesarkanmu selama sepuluh tahun.”

“Balasan.”

Satu kata itu menusuk tepat ke hati Celine, mengoyaknya hingga hancur.

Celine menatap pria yang begitu dikenalnya, tapi kini terasa asing. Menatap kepedihan di wajahnya yang tulus demi wanita lain. Menatap luka mengerikan di kakinya, luka yang barusan dia janjikan tidak akan meninggalkan bekas.

Gelombang keputusasaan yang tak terucap menelannya bulat-bulat.

Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.

Akhirnya, dengan gerakan yang sangat lambat, Celine mengangguk.

Wiliam menghela napas lega, tapi juga seperti tertusuk sesuatu. Dia buru-buru mengalihkan pandangan dan langsung memerintah dokter, “Cepat! Siapkan operasi! Pakai obat bius terbaik! Jangan sampai dia kesakitan!”

Usai bicara, Wiliam berbalik dengan tergesa dan kembali ke ruang gawat darurat untuk menenangkan orang yang sedang menangis ketakutan itu.

Celine didorong masuk ke ruang operasi. Dia memejamkan mata, setetes air mata pun meluncur turun.

Sebelum obat bius bekerja sepenuhnya, pikiran terakhirnya adalah… bagus juga.

Sepotong kulit untuk membayar sepuluh tahunnya.

Saat tersadar kembali, efek bius belum sepenuhnya hilang. Kesadarannya masih kabur.

Rasa nyeri berdenyut di kakinya.

Dengan susah payah, Celine menolehkan kepalanya.

Di dalam ruang rawat, Wiliam duduk di sofa yang tak jauh darinya, tapi seluruh perhatiannya tertuju pada sosok ramping di dalam pelukannya.

Wajah Gwen tertutup perban. Dia bersandar di dada Wiliam sambil terisak pelan.

Wiliam memeluknya dengan sangat hati-hati, jari-jarinya menepuk punggungnya lembut, menghiburnya dengan suara rendah, “Sudah, jangan menangis lagi. Sudah nggak apa-apa, operasi cangkok kulitnya berhasil. Nggak akan meninggalkan bekas. Kak Wiliam ada di sini.”

Suaranya begitu lembut, begitu perhatian. Perhatiannya hanya untuk orang lain.

Celine diam-diam menarik kembali pandangannya. Dengan jari gemetar, dia mengangkat sedikit sudut selimut.

Di sisi luar paha, terbalut perban tebal.

Di tepinya, kulit yang tampak samar terlihat merah dan bengkak parah.

Dulu, dirinya paling takut meninggalkan bekas luka.

Sekarang, bekas itu benar-benar ada.

Dadanya terasa sakit luar biasa, seolah sepotong dagingnya dicabut sampai ke akar.

Namun, tak masalah.

Sepotong kulit, ditukar dengan sepuluh tahun.

Kini, mereka sudah impas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 24

    Di Singpur, kehidupan Celine perlahan terisi oleh ritme yang baru.Pekerjaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tim yang dia pimpin dengan cepat berjalan stabil dan beberapa proyek sulit berhasil dirinya tuntaskan dengan hasil yang sangat memuaskan.Promosi jabatan, kenaikan gaji, semuanya berjalan lancar.Di akhir pelan, Celine sesekali mengunjungi museum seni atau mengajak teman-teman baru yang dikenalnya untuk mencoba berbagai jenis makanan.Dia juga belajar memasak beberapa hidangan sederhana dan ternyata hasilnya cukup enak.Dia sangat jarang memikirkan Wiliam. Hanya sesekali, saat melihat berita ekonomi yang menyinggung Grup Vier, pandangannya akan berhenti beberapa detik lebih lama, lalu menggeser layar dengan tenang.Pria itu seolah menepati sebuah kesepakatan tak terucap, tak pernah muncul lagi dan tak pernah mencoba menghubunginya.Hal itu membuatnya lega dan juga merasa mungkin Wiliam benar-benar sudah melepaskannya.Di Makas, Wiliam menjadi jauh lebih pendiam dibanding sebelumny

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 23

    Celine kembali ke apartemennya dengan hati yang luar biasa tenang.Dia mengunci pintu dari dalam, tidak menyalakan lampu utama, hanya menyalakan lampu lantai. Cahaya kekuningan menyelimuti hunian kecil yang sebenarnya belum lama dirinya tempati itu.Dia berjalan ke jendela dan memandang jalanan di bawah.Beberapa hari sebelumnya, bos besar memanggilnya ke ruang kantor. Bukan karena ada kesalahan dalam pekerjaannya, melainkan memberinya sebuah pilihan yang sama sekali tak terduga.“Cabang Singpur di Wilayah ASIYA membutuhkan seorang penanggung jawab. Bisnis di sana berkembang pesat, tapi timnya butuh penataan ulang. Tantangannya besar.”Bos menatapnya dengan sorot mata tajam, “Ada anggota dewan yang merekomendasimu. Mengingat kinerjamu di kasus akuisisi sebelumnya dan sepertinya kamu juga membutuhkan perubahan lingkungan.” Ucapan itu disertai lirikan bermakna ke arah jendela, ke bawah gedung.Seketika, Celine mengerti maksudnya.Gangguan yang terus-menerus dari Wiliam akhirnya tetap sa

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 22

    Seperti biasa, Wiliam menunggu di bawah gedung kantor itu. Dia bahkan sudah terbiasa dengan penantian tanpa harapan seperti ini.Meski setiap kali sosok itu muncul, yang dirinya dapat hanya bayangan yang menjauh.Namun, hari ini tampaknya berbeda.Saat Celine keluar , dia tak langsung berjalan lurus menuju stasiun kereta seperti biasa, melainkan berhenti tepat di hadapannya.Jantung Wiliam berdetak keras, sampai-sampai dia hampir mengira dirinya sedang berhalusinasi.“Ayo, makan bersama,” kata Celine dengan suara yang sangat tenang, tanpa emosi yang jelas. “Di restoran Ital depan sana saja.”Seketika kegembiraan yang luar biasa membanjiri hati Wiliam.Wiliam menjadi salah tingkah, bahkan bicaranya pun menjadi terbata-bata, “Iya, iya, ayo makan. Aku tahu tempat itu, tunggu aku sebentar, aku akan segera ke sana.”Dia berlari kencang menuju apartemennya, lalu dengan terburu-buru merogoh kotak beludru dari laci penyimpanan.Akhirnya Celine luluh dan memberinya kesempatan. Ternyata kegigih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 21

    Setelah keluar dari rumah sakit, Wiliam hanya mengingat helaan napas terakhir Celine dan dengan keras kepala menafsirkan helaan napas itu sebagai tanda hatinya melunak.Ujian… ini pasti ujian terakhir darinya.Celine hanya butuh waktu, butuh bukti ketulusannya yang lebih besar.Wiliam kembali bangkit, bahkan menjadi lebih nekat dari sebelumnya.Dia melepaskan sebagian besar urusan di dalam negeri yang mengharuskan kehadirannya secara langsung dan memilih bekerja jarak jauh, seolah-olah ‘mengejar kembali Celine’ telah menjadi satu-satunya karir yang dirinya tekuni saat ini.Percobaan pertama, dia membawa seikat mawar merah yang segar dan menunggunya di bawah gedung perusahaan.Saat Celine keluar, matanya menyapu sosok pria itu, beserta gumpalan warna merah di pelukannya dengan tanpa riak emosi sedikit pun.Langkah kakinya tidak berhenti, Celine terus berjalan menuju stasiun bawah tanah.Wiliam mengejarnya sambil memeluk bunga itu, tapi Celine mempercepat langkah, membaur ke dalam kerumu

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 20

    Wiliam berusaha keras membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Yang terlihat di atas kepalanya adalah langit-langit putih yang asing, botol infus tergantung di penyangga, meneteskan cairan obat perlahan.Wiliam terdiam beberapa detik, barulah dia menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit.Sisa mabuk membuat kepalanya terasa seperti hendak pecah, sementara perutnya perih seperti terbakar.Dia secara reflek menggerakkan jarinya, lalu menyentuh kulit yang hangat.Dia langsung menoleh. Celine sedang duduk di kursi di samping ranjang, menunduk menatap ponselnya. Wajahnya terlihat sangat tenang.Seketika gelombang kegembiraan menghantam Wiliam.Dia tahu… dia tahu masih ada dirinya di hati Celine. Celine masih tidak rela meninggalkannya. Melihatnya pingsan, Celine masih tetap khawatir dan datang menemaninya.“Celine,” terdengar suara Wiliam yang serak, tapi dipenuhi kegembiraan dan getaran yang tak bisa disembunyikan. Dia reflek ingin menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu masih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 19

    Rencana akhir akuisisi akhirnya mendapatkan persetujuan bulat dari dewan direksi. Pihak perusahaan lawan pun menyatakan persetujuan awal. Yang tersisa hanyalah negosiasi detail.“Kerja bagus, Celine!” Pria asing tua yang biasanya serius itu akhirnya tersenyum. Dia menepuk bahu Celine dengan kuat, “Kita harus merayakannya malam ini, kita wajib minum-minum!”Seluruh tim proyek langsung bersorak gembira, suara sorakan mereka seolah mampu meruntuhkan atas gedung.Selama masa ini, tekanan yang mereka hadapi sangat besar dan kini kebahagiaan atas kesuksesan tersebut menghapus semua perasaan lelah.Rekan-rekan kerja mengerumuni Celine, saling bersahutan membahas restoran mana yang akan dipilih untuk merayakan, lalu turun ke bawah dengan riuh.Begitu angin dingin di luar gedung meniup, Celine reflek mengangkat bahunya sedikit. Senyuman santai masih terukir di wajahnya.Dia sengaja mengabaikan tatapan mata yang membara dari arah yang tidak jauh darinya.Wiliam kembali menunggu di sana.Saat mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status