Dengan menyimpan rasa penasaran aku tetap pergi dari rumah Zahra. Aku harus segera mengantarkan semua makanan itu pada pemiliknya. Mas Damar pasti sudah menungguku di rumah. Mbak Susi tadi aku lihat sudah hendak keluar mobil, tapi begitu melihatku berdebat dengan Zahra, wanita itu sepertinya mengurungkan niatnya dan masuk kembali ke dalam mobil. "Tadi ada mas Bisma ya mbak?" tanya mbak Susi begitu aku sudah masuk lagi ke mobil. "Iya mbak," jawabku singkat. "Saat aku mengantarkan sesuatu ke rumah mbak Zahra, aku suka melihat mas Bisma keluar dari rumah mbak Zahra jika mas Damar tidak ada." "Sering mbak?" tanyaku penasaran. "Nggak sering sih, tapi beberapa kali aku lihat."Aku terdiam mendengar penuturan mbak Susi. Meskipun rasa penasaran bergejolak dalam hatiku, namun aku memilih untuk tidak banyak bertanya pada wanita yang duduk di sampingku ini. Segera aku menyalakan kembali mobil tersebut dan berjalan perlahan meninggalkan kediaman Zahra dengan penasaran. Setelah mengantarka
"Apa maksudnya kamu sengaja melakukan mas?" tanyaku dengan nada mulai meninggi.Jadi benar dugaanku jika lelaki ini sengaja menabrakku kala itu, saat aku sedang santai berjalan di pinggir jalan perumahan namun tiba-tiba datang dengan kecepatan tinggi sebuah motor menabrakku. Semua begitu cepat terjadi hingga aku tidak bisa menghindarinya. Tapi kemudian dia bertanggungjawab dan membawaku ke rumah sakit, bahkan dia mau menanggung biaya rumah sakit saat itu. Namun pada akhirnya kami menolaknya karena ternyata dia bukanlah orang yang berada.Lelaki itu beralasan rem motornya tidak berfungsi hingga menabrakku begitu saja. Dia sedang tergesa-gesa karena khawatir pada istrinya yang sedang sakit parah. Dia pulang melewati jalanan perumahan itu karena sedang bekerja disalah satu rumah warga di tempat itu lalu di telpon oleh keluarganya. Setelah membawaku kerumah sakit, dia meninggalkan tanda pengenalnya dan juga datang kembali ke tempat dimana aku di rawat. Entahlah, kami saat itu percaya be
"Apa yang kamu katakan, Amelia?" tanya ibu. Sejak ada Zahra, ibu tidak lagi memanggilku nak seperti dulu. "Dia yang dengan sengaja menabrakku hingga aku kehilangan anakku, Bu." Aku ulangi lagi perkataanku."Jadi benar, kamu hendak memfitnah Zahra karena dia sedang hamil sekarang?" tanya ibu dengan nada tidak suka. Fitnah? hamil? Dua kata yang sedang aku cerna dengan kebingungan, aku hendak memfitnah dia dan dia sedang hamil sekarang? "Tidak Bu, Amel baru saja ketemu dengan orang yang menabrak Amel, dan dia menceritakan semuanya. Dia bilang jika dia sengaja melakukannya karena di suruh olehnya!" ucapku membela diri sambil menuding jariku pada wanita yang sejak tadi tidak mengatakan apapun itu. "Kalau begitu buktikan," sahut Zahra dengan santai. "Oke, aku akan menyuruh lelaki itu datang kesini. Tadinya aku menunggu untuk mengumpulkan semua keluarga, agar mereka tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi mungkin lebih baik sekarang saja aku buka kejahatanmu!" Segera aku menghubungi nomor ma
"Ayo mbak saya antarkan," ucap mbak Susi yang sudah menungguku di depan pintu keluar. Aku memang tidak berniat membawa mobil yang biasa aku pakai, itu bukan mobilku. Tapi milik mertuamu."Kita bisa naik motor," ucapnya lagi. "Mbak Susi ... Tolong bantu aku," terdengar teriakan Zahra dari dalam rumah. "Nggak apa-apa mbak, saya bisa jalan kaki. Tempatnya juga tidak terlalu jauh kan, nanti kalau mas Damar tanya bilang saja ya. Aku akan menelpon dia juga." Aku berpesan pada wanita yang sehari-hari bersamaku itu sebelum aku pergi. Wanita itu membalas dengan anggukan dan segera masuk kedalam rumah karena Zahra terus berteriak memanggil namanya. Aku berjalan menuju kompleks perumahan yang biasa di tempati Zahra sambil menyeret koper dan membawa pot bunga. Orang-orang yang melihat dan mengenaliku menyapaku dengan heran, aku hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman dan mengatakan jika aku akan pindah rumah. Aku terus mengayun langkahku menuju rumah baru, aku benar-benar di usir oleh
Hatiku berdenyut nyeri, sambil menatap kearah layar pipih di tanganku yang sudah berubah gelap. Tidak terasa bulir bening lolos begitu saja dari netraku. Ada kesedihan yang tidak bisa aku gambaran. Apa Zahra sudah benar-benar mengambil hati suamiku.Aku menatap kearah pohon Anggrek yang semakin lebat berbunga.Aku mendekati bunga tersebut dan menyentuhnya. "Katanya kamu membawa keharmonisan rumah tangga dengan mengisi ruang dengan ketenangan, kejernihan, kepolosan serta kedamaian. Kenapa aku tidak mendapatkannya sama sekali," ucapku pelan sambil mengelus-elus bunga itu.Petir mulai terdengar menyambar, tapi aku tidak peduli. Aku tidak berniat untuk masuk ke dalam rumah sama sekali. "Ya, kamu hanya sebuah bunga yang hanya menghadirkan keindahan untuk mata," ujarku lagi. .Hujan rintik-rintik mulai turun membasah bumi, lama-kelamaan terus bertambah deras. Sederas air mataku yang menetes menganak sungai di pipiku. Aku menadahkan tanganku untuk mengumpulkan tetesan air hujan tersebut
" Mana suamiku!" tanya Zahra ketus. "Dia suamiku juga, Zahra," ucapku setenang mungkin. "Suruh dia pulang ke rumah ibu, jangan biarkan dia di rumah ini. Atau kalau tidak aku akan membuka lagi keburukanmu di group alumni," ancamnya.Zahra selalu saja memgancamku dengan hal itu, dulu saat dia memintaku untuk membujuk mas Damar menikah dengannya pun dia mengancam diriku dengan hal itu. "Kamu sudah berjanji tidak akan melakukannya jika kamu menikah dengan mas Damar, Zahra!""Sekarang aku tidak berjanji lagi, kecuali kamu menolak mas Damar tinggal disini! Kamu memang membuatnya menikah denganku, tapi kamu tidak pernah membiarkan dirinya bersamaku!""Zahra! bisa-bisanya kamu bilang seperti itu. Selama ini kamulah yang lebih banyak bersama mas Damar. Kamu sudah mendapatkan apa yang dulu aku miliki, suami, ibu mertua, bahkan rumah nyaman yang dulu menerimaku dengan hangat itu kini juga sudah menjadi milikmu. Aku sudah banyak mengalah padamu, tapi kamu masih saja bilang seperti itu!" Aku
"Apa kamu akan memandang rendah padaku juga, Ziva?" tanyaku sambil menatap layar pipih itu. Aku ingin melihat wajah sahabatku itu saat dia menjawab pertanyaanku. "Apa karena itu kamu membiarkan mas Damar menikah dengan Alesha? apa karena itu juga kamu pernah menghilang tanpa jejak selama berbulan-bulan dulu itu?" Bukannya menjawab pertanyaanku. Ziva malah balik bertanya. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaan Ziva. "Kamu bercerita pada Alesha tentang semuanya?" tanya Ziva lagi."Iya, aku bercerita padanya untuk meminta pendapatnya apakah aku harus jujur pada mas Damar atau tidak. Setelah aku hidup bersama mas Damar, aku merasa bersalah dan menyesal atas apa yang aku lakukan. Aku mulai mencintainya dan tidak ingin menipunya seumur hidupku. Jadi aku meminta pendapat dari Alesha, dia mengatakan agar aku jujur pada mas Damar. Lalu setelah itu mas Damar pergi dari rumah, papa juga mengusirku sehingga selama beberapa bulan itu aku menghilang."Aku bercerita kepada Zi
Aku sudah melupakan kejadian heboh yang terjadi kemarin di group Facebook, aku tidak lagi mengikuti perkembangannya begitu akun Zahra menghilang. Seperti yang aku pikirkan sejak awal, suatu saat mereka akan melupakannya juga. Pintu rumahku di ketuk beberapa kali saat aku tengah asyik bertelepon dengan Ziva. Sejak tinggal sendirian di rumah ini aku selalu mengunci pintu jika sedang di dalam rumah. Pengalaman di datangi Zayden dulu membuatku lebih takut saat di dalam rumah sendirian daripada di luar rumah."Zahra, ada apa? mas Damar tidak ada disini," ucapku begitu tahu siapa yang datang bertamu."Amelia, siapa Mr. X?" tanya Zahra dengan kesal. "Aku tidak tahu," jawabku singkat.Aku memang tidak tahu siapa dia, bahkan Ziva juga tidak mengatakannya padaku. "Jangan-jangan itu akun kloning milikmu, kamu sengaja membuatnya lalu memposting cerita pembelaan panjang lebar seperti itu!""Astaga Zahra, aku bukan orang sepicik itu. Aku tidak pernah memikirkan untuk melakukan hal-hal seperti it