Dengan malas aku keluar dari mobil, dan berdiri di samping pintunya."Ada apa?" ketusku bertanya."Mana anak itu, berikan padaku." Aku menatap tajam ke arah lelaki yang pernah mengisi hatiku itu. Muak rasanya melihat wajahnya. "Anak?! anak siapa yang kamu maksud?" tanyaku sinis. "Anak yang kamu kandung kala itu, tentu dia sudah lahir kan. Sekarang berikan dia padaku, aku yang akan merawatnya." Aku tersenyum miring mendengar perkataannya."Dengar ya Zay, aku tidak pernah mengandung anak itu apalagi melahirkannya. Pergi dari hadapanku dan jangan menganggu hidupku lagi!" pekikku kesal. "Waktu itu kamu yang bilang sendiri jika kamu hamil anakku, apa kamu membunuhnya sebelum dia sempat lahir ke dunia?" Lelaki itu bertanya dan menuduhku dengan sorot mata yang penuh amarah, dia kira dia itu siapa bisa memarahiku karena urusan anak. Dulu saat aku menginginkanmu dia bertanggung jawab dia menolakku dan juga anak itu, sekarang dengan seenaknya sendiri memarahiku. Dia pikir aku ini isteriny
"Bukan apa-apa mas," sahutku cepat. Aku segera merapikan bekas makanan kami, tidak ingin banyak berbicara dengan mas Damar didepan sahabatku. "Sibuk tidak mas? antar aku pulang bisa?" ucapku sambil bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri suamiku.Aku mengajak pulang mas Damar lebih cepat hari ini, mudah-mudahan dia tidak sedang sibuk. "Tumben minta di antar?" tanya mas Damar. "Aku rindu," bisikku tepat saat kami berpapasan. "Ya sudah kalau tidak mau, aku naik taksi saja." Aku sengaja mengeraskan suaraku.Aku berlalu meninggalkan mas Damar yang masih terbengong-bengong mendengar bisikanku barusan. "Kalau mas Damar sibuk, biar aku antar Amelia," sahut Alesha menawarkan diri. "Tidak perlu, biar saya saja yang mengantarkannya. Sepertinya saya tidak akan kembali kesini, kalau ada apa-apa tolong diselesaikan ya." Dari luar ruangan, aku mendengar ucapan mas Damar pada Alesha. Tak lama berselang, langkah kaki suamiku terdengar mendekat ke arahku. "Kamu sedang menggodaku?" tanya m
"Sudahlah ayo kita pergi, benar katamu. Percuma meladeni orang yang tidak waras!" Mas Damar berkata sambil memeluk pinggangku dan berjalan meninggalkan mantan kekasihku itu. Beruntung Zayden tidak lagi berbuat kekacauan ataupun mengejar kami. "Kamu kok bisa turun dan mendatangiku, mas?" tanyaku begitu kami sampai di ruangannya. "Tadi Alesha bilang melihatmu dari lantai dua, dia bilang kamu sedang bersama lelaki. Aku berpikir jika itu mantan kekasihmu, jadi aku segera turun karena khawatir," jawab mas Damar menjelaskan."Dari mana lelaki itu tahu tempat kerjamu disini mas? siapa yang kasih tahu. Tadi dia mengancam akan mencari alamat rumah kita dari orang yang sama.""Entahlah, tapi kamu harus hati-hati jika di rumah, jangan-jangan dia akan benar-benar datang kerumah.""Lihatlah apa akibat yang aku dapatkan dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Bahkan saat aku sudah berusaha menjadi lebih baik, masa lalu itu terus mengikutiku dan ingin merusak kebahagiaanku. Bahkan kamu jadi kena imb
POV DAMAR-------&&-------Sejak Amelia bercerita tentang mantan kekasihnya, dan laki-laki itu dengan beraninya datang ke tempatku bekerja, membuat kekawatiran hadir dalam diriku. Sepertinya lelaki itu tipe orang yang nekad dan bukan dari keluarga yang sembarangan. Saat dia mengatakan hal buruk tentang Amelia, sesungguhnya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghajarnya. Suami mana yang tidak marah saat ada laki-laki lain merendahkan istrinya. "Apa kamu tidak ingin tahu bagaimana saat istrimu menyerahkan dirinya padaku" Kupingku sangatlah panas mendengar kalimat itu. Keburukan yang didapatkan karena berzina memang akan selalu melekat pada diri orang yang melakukannya, bahkan saat dia sudah berubah sekalipun. Dimata manusia itu akan tetap menjadi topik yang akan dibicarakan meskipun waktu sudah berlalu dan pelaku sudah bertaubat. Apa lagi untuk wanita yang melakukannya. Saat lelaki itu mengatakan hal tersebut, ingin rasanya aku menghajarnya saat itu juga. Namun lagi-lagi aku b
"Zay, jangan memaksaku seperti ini. Kita bisa melakukannya dengan cinta seperti dulu," ucapku sambil menutup mata saat bibirnya hendak menciumku. "Kamu mau melakukannya dengan cinta?" bisiknya di telingaku. Aku mengangguk mengiyakan, "Iya di kamarku," sahutku. Sejujurnya aku sangat jijik saat mengatakan hal itu, tapi aku menahan diri. Aku harap dia percaya dan akan bangun dari atas tubuhku. "Iya bangunlah, kita akan melakukan dengan cinta seperti dulu," bujukku lagi. Lelaki itu percaya, melepaskan cengkraman tangannya dan melepaskan tubuhku dari kungkungannya. Aku bangun dari posisiku dan merapikan rambutku yang berantakan. Saat kulihat Zayden lengah, aku segera berlari sekencang-kencangnya menuju kamar, lalu menguncinya dari dalam. Dari dalam kamar, kudengar umpatan dan makin keluar dari mulut lelaki itu. Aku tidak peduli, aku harap diriku akan aman berada di dalam kamar ini. Pintu kamar ini cukup kokoh, mungkin jika dia mendobraknya akan butuh waktu lama dan aku harap saat it
"Hai anak-anak apa kalian sudah makan?" suara mama mengurai perdebatan kami. Mama memang senang menyediakan makan jika kami berkumpul dirumah dulu, mama yang hanya memiliki satu orang putri senang jika ada banyak orang dirumah. Apalagi teman-temanku adalah anak-anak yang baik, mereka tidak pernah neko-neko. Itulah yang membuat mama suka jika mereka datang dan aku berteman dengan mereka."Belum Tante," sahut Ziva. "Ayo kalau begitu kita makan rame-rame, pasti seru. Tante sudah selesai masak. Kebetulan masak banyak, seperti merasa akan ada tamu yang datang," ujar mama. "Ayo makan, aku juga sudah lapar," ajakku pada mereka semua. Kami berempat serentak berjalan menuju pintu keluar dan mengikuti mama. "Alesha, aku mau bicara sebentar," ucapku begitu melihat Rivani dan Ziva sudah keluar terlebih dahulu. "Kenapa?""Kamu tadi mau menceritakan tentang apa yang terjadi antara aku dan Zayden?""Enggak, aku hanya sedikit kelepasan," sanggah Alesha. Kelepasan dia bilang, sesuatu sebesar it
Seminggu sudah berlalu dari peristiwa yang hampir merenggut kehormatanku itu, badanku sudah pulih, rasa sakit dan memar pun sudah menghilang.Hari ini mas Damar mengajakku pergi ke suatu tempat, dia bilang tempat itu berada cukup jauh dari kota ini dan kami akan menginap disana. Aku menurutinya, sejak malam tadi aku sudah berkemas-kemas dan menyiapkan semua keperluan kami dalam sebuah koper. Mas Damar bilang kami hanya akan menginap dua malam saja. Pagi-pagi sekali kami berangkat setelah sarapan, mobil yang di kendarai suamiku itu berjalan menembus padatnya jalanan kota. Bersaing dengan mobil-mobil lain yang hendak mengantarkan pengendaranya ke kantor untuk bekerja. Kami sengaja berlibur bukan saat weekend karena ingin menikmati suasana yang lebih damai di tempat itu nanti, begitulah yang suamiku itu katakan. Lewat tengah hari barulah kami sampai di tempat itu, tempat yang benar-benar sejuk dan masih asri. Hawa dingin langsung menyapa kulit kami begitu kami sampai di tempat itu. Ban
Mas Damar membawaku masuk kedalam kamar sambil memberikan kecupan ringan di wajahku. Begitu sampai di dalam, lelaki itu perlahan merebahkan tubuhku di atas ranjang. "Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak pasti akan terjadi," ucapnya sambil mengecup keningku. "Aku hanya takut kamu berbagi hati dengan wanita lain mas." Lelaki yang berada diatasku ini tidak menjawab perkataanku, dia terus saja memberikan kecupan ringan diwajahku. Yang membuat badanku seketika memanas. Hawa dingin yang sejak tadi menyelimuti kami berubah menjadi hawa panas seiring dengan suara nafas kami yang juga terdengar berat. Diluar sana, suara pepohonan Pinus bergesekan tertiup angin seakan-akan menjadi melodi indah yang mengiringi penyatuan tubuh kami. Tatapan mata kami beradu, tatapan saling mencinta dan mendamba. Malam ini hanya ada kami berdua, tidak akan ada siapapun yang menjadi orang ketiga. Aku berharap cinta kami seperti layaknya pohon Pinus, kuat dan berdiri menjulang tanpa cabang. Tidak