“Ah!” Seorang wanita terbangun di tempat tidur rumah sakit. Napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Ia memegang kepala, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Seorang pria berdiri di sisi tempat tidur, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kau tampaknya sudah cukup sehat, Kayla.” Wanita itu mengernyit. Kayla? Siapa itu? Pria itu mendekat dan memegang dagunya dengan kasar. “Kau ingin mencoba bunuh diri lagi? Setelah sebelumnya melompat dari gedung, kini nekat terjun ke danau?” “Maaf… siapa Anda?” tanya wanita itu, bingung. Pria itu tersenyum sinis. “Kau pura-pura tidak mengenal suamimu sendiri. Apa kali ini amnesia?" tanya pria itu dengan nada menghina. Tatapan matanya tajam menusuk, seolah menguliti pikiran Hara. "Berpura-pura bodoh di hadapanku? Kau sedang mencari mati, hah?"
View More“Tak... tak... tak...”
Suara sepatu hak tinggi terdengar menggema di sepanjang lorong rumah sakit yang lengang. Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Sepasang sepatu hitam mengkilap muncul di ambang pintu, melangkah masuk ke dalam ruangan. Seorang wanita terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi perban, wajahnya lebam, dan ia tidak mampu bersuara. Ia hanya bisa menatap ke arah sosok yang baru saja masuk. Wanita itu tersenyum kecil, namun senyuman itu bukan senyum simpati, melainkan penuh ejekan dan kepuasan. “Benar-benar menyedihkan,” ucapnya dengan nada dingin, hampir terdengar seperti cibiran. Wanita yang terbaring lemah itu bernama Alana, dan orang yang kini berdiri di hadapannya adalah Yunita, sahabat terdekatnya. Sebelum kecelakaan terjadi, mereka bahkan sempat berbicara melalui telepon. Alana tak pernah menyangka, saat ia berbalik dan menyeberang jalan, sebuah truk besar menabraknya hingga terluka parah. Yunita mendekat, menatap wajah Alana yang penuh luka. “Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Yunita dengan senyum sinis, lalu membungkuk dan berbisik di telinga Alana. “Alana, siapa sangka kau akan mengalami hari seperti ini.” Alana tak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya, yang menghinanya tanpa rasa belas kasihan, adalah orang yang selama ini ia anggap sebagai sahabat. Ia menatap Yunita dengan pandangan penuh kebingungan dan ketidakpercayaan. Ia ingin berbicara, namun pita suaranya rusak dan tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun. Alana mengepalkan tangannya, matanya dipenuhi amarah yang tertahan. Mengapa? pikirnya. Mengapa Yunita bersikap seperti ini? Melihat penderitaan Alana, Yunita justru tampak semakin puas. “Kau benar-benar mengira aku ini sahabatmu? Kau sungguh naif, Alana.” Alana mencoba menggerakkan tubuhnya, namun sangat sulit. Yunita kemudian menekan luka di perutnya dengan keras, membuat Alana menahan rasa sakit luar biasa hingga tubuhnya bergetar. Darah mulai merembes dari balik perban. “Aku tidak pernah benar-benar peduli padamu. Aku mendekatimu karena Davin. Kau pasti tidak tahu, aku sudah lama menjalin hubungan dengan tunanganmu itu.” Alana membelalak. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Kecelakaanmu bukan suatu kebetulan,” lanjut Yunita. “Saat truk menabrakmu, aku dan Davin berada di tempat kejadian. Kami melihat semuanya. Dan sungguh... itu adalah pemandangan yang sangat menyenangkan bagiku.” Tidak... Itu tidak mungkin... Aku tidak percaya... Alana menatap Yunita dengan penuh kebencian. Ia ingin melawan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. Yunita malah tertawa kecil. “Kau pikir Davin mencintaimu? Jangan bermimpi. Kau hanyalah anak yatim piatu yang diadopsi keluarga Hartawan. Tidak ada yang benar-benar menginginkanmu.” Yunita menatap Alana tajam. “Aku merencanakan kecelakaan itu agar kau mati. Tapi rupanya kau masih bertahan hidup. Sayang sekali… Tapi itu bisa diatasi.” Dari dalam tasnya, Yunita mengeluarkan sebuah suntikan kecil yang telah dipersiapkan. Wajahnya tampak dingin tanpa sedikit pun rasa kasihan. “Tenang saja, aku akan mengakhiri penderitaanmu.” Alana memandangnya dengan panik. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi sia-sia. Yunita kemudian menyuntikkan cairan tersebut ke tengkuk Alana dengan cepat dan penuh kebencian. Bunyi alat monitor jantung mulai berubah. “Tit… tit… tit…” Para perawat dan dokter segera bergegas masuk. Keadaan menjadi kacau. “Detak jantung tidak stabil! Tekanan darah turun!” teriak salah satu perawat. Namun suara mereka terdengar jauh bagi Alana. Ia merasa tubuhnya melayang, seolah terpisah dari raganya. Dari atas, ia melihat tubuhnya sendiri terbaring di ruang operasi. Para dokter berusaha menyelamatkannya, namun ia tak mampu melakukan apa pun. Tubuhnya kini hanya sebentuk bayangan yang tidak bisa menyentuh atau didengar. “Apa yang terjadi.… Tolong selamatkan tubuhku… selamat aku..” teriaknya, tapi suaranya tak terdengar. Ia berteriak sangat kencang, namun, tak ada yang mendengarnya. Bahkan, ia hanya menembus tubuh para dokter dan perawat. Wajahnya memucat. Apakah ini artinya dia telah meninggal? Kemudian, sebuah cahaya terang menyilaukan matanya. Ia merasa ditarik kuat ke dalamnya, dan semuanya berubah menjadi gelap. --------- Dua hari kemudian. “Ah!” Seorang wanita terbangun di tempat tidur rumah sakit. Napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Ia memegang kepala, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Seorang pria berdiri di sisi tempat tidur, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kau tampaknya sudah cukup sehat, Mikayla.” Wanita itu mengernyit. Mikayla? Siapa itu? Pria itu mendekat dan memegang dagunya dengan kasar. “Kau ingin mencoba bunuh diri lagi? Setelah sebelumnya melompat dari gedung, kini nekat terjun ke danau?” “Maaf… siapa Anda?” tanya wanita itu, bingung. Pria itu tersenyum sinis. “Kau pura-pura tidak mengenal suamimu sendiri. Apa kali ini amnesia?" tanya pria itu dengan nada menghina. Tatapan matanya tajam menusuk, seolah menguliti pikiran Alana. "Berpura-pura bodoh di hadapanku? Kau sedang mencari mati, hah?" Namun tak menjawab. Ia seolah terkurung dalam dunianya sendiri. Dirinya masih hidup, itu pasti. Tubuhnya utuh, tak ada luka seperti saat terakhir ia sadar. Tapi… mengapa pria itu memanggilnya Mikayla? Siapa itu? Pria yang berdiri di hadapannya tampak semakin geram. Ia mundur satu langkah sambil menggeram, "Ini adalah peringatan terakhir. Jika kau mengulanginya lagi, aku sendiri yang akan membuat hidupmu jauh lebih menderita." Setelah mengatakan itu, pria itu berbalik dan membanting pintu hingga menggema di seluruh ruangan. Alana tersentak karena suara pintu itu. Setelah beberapa saat, ia perlahan mengambil cermin kecil di meja dan menatap wajahnya sendiri. Wajah itu… masih wajahnya. Tapi sesuatu terasa sangat tidak biasa. Segera mencari ponsel. Ketika layar menyala, tanggal dan lokasi di layar membuatnya membeku."Meilin" gumamnya lirih. Terakhir ia sadar, tubuhnya ditinggalkan sekarat oleh Yunita di Kota Xuhan. Namun kini, ia terbangun di sebuah rumah sakit di ibu kota. Siapa sebenarnya pria itu? Dan… bagaimana aku bisa berada di sini? Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang gadis muda dengan mata sembab berlari masuk. Wajahnya cerah saat melihat Alana telah bangun. "Nyonya muda! Akhirnya kau sadar!" serunya dengan penuh haru. Alana menatap gadis itu dengan bingung. Ia menunjuk dirinya sendiri. "Kau… sedang berbicara padaku?" Gadis itu mengangguk cepat. "Ya, tentu. Anda telah koma selama dua hari. Aku sangat khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu di tepi danau?" Gadis itu kemudian membuka termos kecil dan menuangkan sup ayam ke dalam mangkuk. "Ini dimasak oleh koki pribadi. Silakan diminum, nyonya muda." Alana menolak dengan gelengan kepala. "Sepertinya kau salah orang. Aku bukan ‘nyonya muda’ yang kau maksud. Dan… kenapa aku berada di sini?" Gadis itu tampak semakin cemas. "Nyonya muda, apa lukamu terlalu parah? Aku Nita, pelayan pribadimu. Tolong jangan menakutiku begini. Aku akan memanggil dokter!" Alana menahan tangan gadis itu. "Kalau aku benar majikanmu… siapa namaku? Dan siapa suamiku?" Nita tampak ragu, namun tetap menjawab. "Namamu adalah Mikayla. Suamimu… adalah Tuan Rayden." Mikayla? Rayden? Nama-nama itu asing, namun dari sorot mata Nita, ia tahu gadis itu tidak sedang berbohong. Ia menunduk, mencengkeram selimut. "Jadi… Rayden itu suamiku?" gumamnya lirih. Dia teringat pada masa lalu, kerja sama bisnis antara keluarga Hartawan dan keluarga Naratama. Davin, pria yang dulu ia cintai, juga terlibat. Semuanya perlahan mengait. Wajahnya menegang saat mengingat Davin. Nita yang melihat perubahan ekspresi itu segera menenangkan. "Nyonya muda, tolong jangan bersedih. Tuan hanya belum memahami kondisimu. Percayalah, segalanya akan membaik." Alana memaksakan senyum, menahan gejolak yang menyiksa batinnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya datar. Air matanya menetes. Bukan karena sedih, tetapi karena ia sadar bahwa ia… belum mati. Ia hidup. Dalam tubuh perempuan lain. Dalam tubuh seorang istri dari pria yang membencinya. "Nyonya muda?" tanya Nita lembut, melihat perubahan emosi di wajah Alana yang terus berganti. "Aku hanya butuh waktu," jawabnya akhirnya. Setelah Nita keluar untuk memanggil dokter, Alana segera membuka ponselnya dan mencari informasi. Tentang Rayden Mu, tentang Mikayla Jiang… tapi hasilnya sangat sedikit. Terlalu sedikit. Bahkan hampir tak ada informasi tentang Mikayla. Namun, berita tentang Alana justru memenuhi halaman pencarian. Kecelakaan maut. Wafatnya putri keluarga Hartawan. Video wawancara Davin dan Yunita setelah kematiannya. Itu membuat Alana muak. Mereka bersandiwara, menangis di hadapan publik. Yunita menyebutnya sahabat terbaik, dan Davin menunduk sedih, berjanji takkan melupakan Alana. Semuanya bohong. Mereka membunuhku! Alana mengepalkan tangan saat menatap layar. Namun sebelum ia sempat menutup video, seseorang merebut ponselnya. Ia mendongak. Rayden berdiri di sana, menatap layar dengan dingin, lalu mengarahkan sorot matanya ke Alana. "Apa maksudmu menonton ini?" tanyanya datar. "Itu urusanku. Tidak ada hubungannya denganmu," jawab Alana mencoba tegar. Tapi tatapan pria itu tajam, menusuk, seolah membaca pikirannya. Rayden mengangkat alis, lalu melempar ponsel itu ke arah dada Alana dengan kasar. "Kalau kau ingin bermain trik baru, jangan bodoh. Aku sudah bosan dengan sandiwara murahanmu itu." Alana meringis kesakitan, memeluk dadanya. "Kurang ajar, apa kau tidak tahu sopan santun!" umpatnya pelan. Rayden hanya menyipitkan mata, memandangi Alana tanpa minat. Alana menatapnya kembali, dengan sorot mata tajam penuh tantangan. "Apa kau pikir aku sedang memainkan drama baru?" bisiknya dalam hati. Ia sadar kini, pria itu membenci istrinya, Mikayla. Ia bahkan menganggap Alana adalah kelanjutan dari upaya bunuh diri Mikayla yang dulu. Mungkin itulah sebabnya ia tidak mempercayai apa pun yang dikatakannya.Saat para karyawan memuji penampilan Fanny dalam balutan gaun itu, Alana ikut melontarkan komentar.“Meskipun Nona Fanny sudah cantik dari awal,” ucap Alana pelan dengan senyum tipis, “tapi saat mengenakan gaun itu, kecantikannya terlihat lebih bersinar.”Ruangan mendadak sunyi. Para karyawan saling pandang, Fanny sempat terdiam sesaat. Senyumnya yang semula tenang berubah sedikit kaku. Namun ia cepat menguasai diri dan menanggapinya dengan sikap anggun.“Desain gaun ini memang luar biasa,” balas Fanny sambil membetulkan letak gaun di pinggangnya. “Karya desainer Yunita, kualitasnya tidak diragukan.”Alana terkekeh kecil. Tawa tipis yang terdengar seperti ironi, bukan pujian.“Apa maksudmu tertawa seperti itu?” tanya Lissa dengan nada tajam, matanya melotot penuh rasa tidak suka. “Kak Fanny tidak salah. Ini gaun rancangan desainer idolaku! Tidak semua orang pantas memakainya, apalagi kamu, Mikayla. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini.”Alana hanya menatapnya dingin. Tatapannya t
Saat Alana melangkah masuk ke butik A&H, seisi ruangan sontak memperhatikannya. Penampilannya sederhana, tanpa riasan mencolok dan pakaian yang jauh dari kemewahan membuat beberapa pegawai saling berpandangan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan riasan tebal dan senyum palsu, segera menyambutnya.“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, datar.Namun setelah melihat Alana hanya berdiri diam sambil mengamati sekeliling butik tanpa langsung menyentuh barang apa pun, nada suaranya berubah menjadi tajam.“Kalau hanya melihat-lihat, jangan berdiri dekat pintu. Mengganggu pelanggan lain lewat saja!”Nada bicara pegawai itu terdengar tidak sabar, seolah keberadaan Alana benar-benar mengganggu pemandangan di butik mewah itu. Matanya menyipit menilai penampilan Alana dari atas sampai bawah, seperti sedang menimbang harga diri seseorang dari harga pakaian yang dikenakannya.Alana masih diam. Ia tidak tersinggung. Matanya menelusuri interior butik dengan tenang. Lampu gantu
Alana menatap sejenak, lalu berdiri dan meninggalkan rumah keluarga Naratama tanpa sepatah kata pun. Lissa, yang menyaksikan kejadian itu, hanya mengangkat sudut bibirnya, tampak tak peduli pada sikap Rayden. Justru perhatiannya kini tertuju pada Alana. Sambil menyipitkan mata, ia memainkan pisau dan garpu di atas meja, menatap Alana dengan penuh selidik. Tidak seperti biasanya, Alana tidak meladeni pertengkaran. Hal itu justru membuat Lissa merasa tidak nyaman. “Mikayla, terakhir lompat dari gedung, sekarang lompat ke sungai. Banyak sekali dramamu! Tapi bagaimanapun, kakakku tetap takkan pernah menganggapmu.” Alana menatap Lissa dengan datar. Ia tahu adik iparnya ini memang senang merendahkan Mikayla. “Kalau begitu kamu salah. Kakakmu bukan hanya pernah menganggapku, tapi berkali-kali.” “Kamu...!” Lissa memukul meja, emosinya meluap. “Aku belum pernah melihat perempuan segila dan se-tidak tahu malu sepertimu! Sudah tahu kakakku tidak menyukaimu, masih saja terus mengejarnya. A
Begitu selesai bicara, Alana menepis tangan Rayden dengan kasar. Lalu, memanfaatkan kelengahan Rayden, ia menendang lutut pria itu sekuat tenaga. Rayden mengerang pelan, ekspresinya berubah kaku, alisnya menyempit tajam. Tapi sebelum dia sempat bereaksi, Alana sudah menarik selimut dan melompat turun dari ranjang dengan cepat. Ia bersiap kabur demi menyelamatkan diri. Tingkah laku kekanak-kanakan Alana membuat Rayden semakin geram. Apa dia pikir dengan turun dari tempat tidur masalah bisa selesai? Naif. Atau mungkin… bodoh? Namun, serangkaian tindakan Alana malam itu membuat Rayden kebingungan. Jika tadi pagi Alana masih bersikap aneh, kini sikapnya seperti orang yang benar-benar berbeda. Sorot matanya, ekspresinya, semuanya asing. Sudah dua tahun mereka menikah, tidur di kamar yang sama. Tapi Rayden tak pernah menyentuh Mikayla. Biasanya, Mikayla yang selalu memulai, dengan penuh rasa haus dan tanpa malu, meskipun selalu ia tolak. Tapi malam ini berbeda, wanita ini seperti ingin
Alana menunjuk surat itu. “Kalau Kau ingin aku tanda tangan, aku tak minta setengah dari warisanmu, kalau kau setuju, akan langsung aku tanda tangan.”“Setengah dari warisanku?” Rayden menatap tajam, nadanya mengejek. “Kalau kau tanda tangan sekarang, kau dapat 20 miliar. Kalau banyak bicara, kau tak akan dapat sepeser pun.”Ia melangkah maju, mencengkeram dagu Alana dan menatapnya tajam. “Mengerti?”Alana menahan sakit, tapi tak menunjukkan rasa takut di wajahnya.“Aku tidak mengerti,” jawabnya datar. “Tak ada yang semudah itu. Kalau kau ingin bercerai, lakukan dengan cara yang benar. Setidaknya… dengan harga yang pantas.”Ia melepaskan cengkeraman Rayden dan mundur selangkah.Jadi hanya itu tujuan Rayden datang, membahas perceraian, lalu pergi?Lucu. Ia bukan Mikayla, pemilik tubuh yang lemah. Ia Alana, dan ia tak akan membiarkan dirinya diinjak-injak.“Setengah dari warisanmu akan memberikanmu kebebasan, Tuan Rayden. Dan aku rasa aku pantas mendapatkannya.”Wajah Rayden memerah. Ia
Rayden berdiri di dekat ranjang rumah sakit, kedua tangannya bersilang di dada. Sorot matanya dingin, seperti biasa. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya kali ini terasa jauh lebih tajam dari biasanya. "Sebaiknya kamu tidak melakukan apa-apa lagi. Semua usahamu... hanya membuatmu tampak seperti badut yang menyedihkan." Ironi dalam nada suaranya begitu kentara, dan menusuk lebih dalam dari pisau bedah. Alana terdiam. Ia memang tidak mencintainya. Tapi saat Rayden mengucapkan kalimat itu dengan tatapan seolah dirinya tak lebih dari sampah yang mengganggu pandangan, hatinya terasa nyeri, entah karena sakit hati atau sekadar rasa muak yang tertumpuk. Sekilas, kenangan dari seorang wanita terlintas, bagai film yang terbuat di kepalanya. Dan, Alana kini sadar, itu pasti kenangan dari si pemilik tubuh yang asli. Ia menggenggam dadanya, menatap Rayden dengan sorot terluka yang perlahan berubah jadi tajam. "Jangan banyak tingkah. Memangnya siapa kamu?" Ia bukan Mikayla. Ia tidak akan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments