Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.
Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.
Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu.
"Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia.
"Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung."
"Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia.
"Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah.
"
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Tampan, kaya, misterius, itulah sosok pemuda bernama Gilang. Meskipun anak konglomerat dia sangat jauh dari kata play boy, bahkan terkesan menjauhi wanita, sikapnya itu membuat para wanita di kampus tergila-gila.Di sisi lain Gilang suka pergi ke klub menghabiskan malam dengan minum minuman keras. Beberapa mahasiswi di kampus berusaha menarik perhatiannya, alan tetapi tak satu pun yang berhasil mendekatinya."Gilang, kamu lihat cewek itu dari tadi merhatiin kamu," bisik Robi memberitahu Gilang.Pemuda itu menoleh sekilas ke arah gadis yang di maksud oleh Robi, gadis itu melempar senyum manisnya, Gilang memalingkan wajah dengan cepat tanpa membalas senyuman itu. Raut kecewa jelas tergambar di wajah mahasiswi itu."Cakep 'kan?" Robi memandang gadis itu."Sana lo deketin!" seru Gilang acuh."Gue nggak habis pikir, lo tuh sukanya cewek yang seperti apa sih, itu cewek-cewek pada ngantri, tapi nggak ada satu pun yang menarik perhatian lo." Robi me
Setelah kejadian hari itu, Mia semakin dekat dengan Gilang. Pria itu tak lagi menghindar dan bersikap baik padanya. Gilang memang bukan pria brengsek yang meninggalkan wanita setelah apa yang mereka lakukan, dia punya rasa tanggung jawab dengan apa yang sudah ia perbuat."Kamu jadian sama, Mia?" tegur Robi."Gue ... ya, begitulah." Gilang tak menampik kedekatannya dengan Mia."Gue ikut senang, akhirnya lo laku juga." Robi tertawa."Sial*n lo!" Gilang meninju lengan Robi.Sebenarnya Gilang sama sekali tidak ingat kejadian malam itu, dia hanya takut akan timbul masalah di kemudian hari gara-gara malam itu.Kedekatan Gilang dengan Mia membuat para mahasiswi patah hati. Pemuda itu tak lagi sendiri, di mana ada Gilang di sana pasti ada Mia.Wanita mana yang tidak silau dengan kekayaan, Gilang adalah tiket menuju ke sana. Tentu saja Mia tak melepaskan pria itu begitu saja."Gilang, nanti malam kamu mau ke klub?" tanya Mia sebelum pul
Setelah keributan yang terjadi tadi malam, pagi itu Dirga sudah menunggu Gilang di ruang makan. Gilang yang tidak mengerti kejadian itu langsung duduk menghampiri papanya dengan santai."Tadi malam kamu dari mana?" tanya Dirga mulai menginterogasi putranya."Biasa," jawab Gilang tanpa beban."Tadi malam ada wanita mabok nyariin kamu!" suara Dirga mulai meninggi, Gilang terkejut tak biasanya sepagi ini papanya marah-marah."Apa, siapa?" Gilang mengeryit bingung."Lihat di kamar tamu, wanita itu tidur sedang di sana!" Dirga menatap tajam putranya yang masih kebingungan.Mendengar ucapan papanya, Gilang bangkit dan memeriksa kamar tamu, betapa terkejutnya saat melihat Mia tengah tidur di kamar itu."Hah, Mia?" Gilang semakin bingung, dia kembali ke ruang makan dengan wajah tak berdosa."Pacarmu?" tanya Dirga sinis."Bukan, anu ...." Gilang semakin bingung menjelaskan tentang siapa Mia sebenarnya."Dia bilang kamu tin
"Apa, menikah?" Ratih, ibu Mia terkejut mendengar ucapan pemuda yang baru saja diperkenalkan oleh putrinya."Maaf Bu, kami sudah ---" Gilang menunduk takut."Ada apa ini, Mia?" Wanita itu menatap putrinya yang malah tersenyum bahagia."Aku dan Gilang mau menikah, Bu. Tolong restui saja kami." Mia memohon pada sang ibu yang terlihat kecewa.Ratih membesarkan Mia seorang diri setelah kepergian suaminya. Dia putri satu-satunya yang menjadi harapan hidupnya, belum juga lulus kuliah dan mendapatkan kerja sekarang malah meminta restu untuk menikah.Meski penampilan Gilang terlihat baik dan mapan, Ratih ingin putrinya menjadi wanita mandiri. Bukan seperti ini yang ia rencanakan sebelumnya.Ratih meminta waktu untuk membicarakan hal ini berdua dengan putrinya, dia menyuruh Gilang pulang, dan akan memberi keputusan nanti.Setelah Gilang pergi, Ratih menatap putrinya dengan lekat, mencoba memahami apa sebenarnya yang dia inginkan."Apa y