Pria berusia dua puluh tiga tahun itu tampak sedang memperhatikan gadis berwajah muram yang di duduk di tepi ranjang. Saga lekas mendekat untuk mendudukkan dirinya di samping Sahara, membuat sang gadis sedikit tersentak ketika mendapati suaminya itu sudah ada di sampingnya.Melihat wajah muram itu, Saga lekas mengerti bahwa istrinya itu masih membayangi penculikan yang terjadi seharian ini. Membuatnya semakin dirundung perasaan bersalah.“Mikirin apa?” Saga bertanya pelan seraya menyelipkan helaian rambut yang menjuntai menyentuh pipi istrinya yang putih.Manik hitam pria itu menyorot lembut, membuat sang gadis merasa seolah jiwanya ditarik dan di tenggelamkan dalam gelapnya malam. Sahara memindai wajah lelaki di depannya, wajah yang dulu selalu menatapnya sinis dan dingin, sekarang hanya ada wajah yang selalu menatapnya dengan wajah melembut dan sorot khawatir.“Masih memikirkan kejadian tadi, hm?” Saga kembali bertanya ketika gadis itu hanya membisu dan menatap wajahnya lekat.“Apa
(Warning 21+)“Jangan terus menatap itu.” Sahara menegur suaminya yang terpana dengan pandangan tertuju pada dadanya yang masih terbalut bra, semua pakaian luarnya sudah tertanggal hanya menyisakan pakaian dalamnya saja. Wajah gadis itu tampak bersemu menahan malu.“Kenapa?” tanya Saga tersenyum, lalu terkekeh ketika melihat wajah istrinya semakin memerah. “Ini, terlihat cantik. Boleh aku menyentuhnya?”Tangan Sahara mengepal dan memukul pelan dada pria yang sedang mengungkung tubuhnya, matanya melirik jengkel, “Kenapa kau banyak tanya? Kenapa harus bertanya dulu? Kan aku jadi malu!”“Oh, jadi kau lebih suka langsung, ya?” Saga semakin melebarkan senyumnya hingga menampakkan gigi, sangat senang menggoda istrinya yang sudah tidak ada bedanya lagi dengan kepiting rebus.“Kakak!” seru gadis itu semakin malu, membuat Saga mengeraskan tawanya.Kemudian pria itu membuka kaosnya dan menampakkan dada bidang dan perutnya yang berotot. Ini bukan pertama kalinya Sahara melihat tubuh itu, namun t
“Mama dan Papa akan berkunjung kemari besok.”Sahara ingat betul apa yang dikatakan oleh suaminya semalam. Sebelum mereka tertidur, Papa Hanum mengirimi putranya itu pesan. Bahwa hari ini mertuanya itu akan berkunjung untuk mengatakan sesuatu.Gadis itu meletakan sisirnya, mematut wajah di depan cermin rias. Hari ini dia mengenakan baju rajut berkerah tinggi, agar bisa menutupi bercak merah buatan Saga yang menghiasi leher mulusnya. Mengingat kembali apa yang dilakukan mereka semalaman membuat Sahara melengkungkan bibirnya dengan manis, bersamaan dengan itu semburat merah mulai muncul dikedua pipinya.“Meski percobaan kedua juga gagal, tetap saja membuatku terkesan.”Sahara bergumam sendiri sembari terkikik, dia merasa geli ketika mengingat wajah kesal Saga yang belum berhasil membobol dirinya. Sahara merasa lega sekaligus senang, itu artinya dia memang masih perawan. Penculik itu tidak melakukan apapun padanya, walau pun begitu dia tetap penasaran mengapa tubuhnya tanpa busana.“Sepe
“Sebenarnya aku masuk ke kamar untuk memanggilmu. Mama dan Papa sudah tiba sejak tadi.” jawab Saga dengan cengiran lebar, dia merapikan helaian rambut gadis itu yang sedikit berantakan.“Kau!” Sahara memukul pelan bahu Saga dengan tinjuannya, raut wajahnya agak sedikit sebal, “Kenapa tidak bilang dari tadi?”“Lupa,” pria itu terkekeh geli dan mencubit pipi Sahara yang menggembung cemberut, “Habisnya melihat kau tersipu-sipu di depan cermin membuatku gemas! Jangan salahkan aku, salah sendiri, kenapa kau semenggemaskan ini.”“Gombal!” pungkasnya mencebikkan bibir pura-pura jengkel, padahal hatinya sangat berbunga, gadis itu bergegas turun dari pangkuan suaminya seraya menahan senyum.Kemudian Sahara berdiri di belakang Saga untuk mematut diri di depan cermin. Rambut sebahunya kembali mengembang berantakan, setelah menggeleng samar, dia lekas meraih sisir. Namun Saga meraih lebih cepat benda itu dan menarik istrinya untuk kembali duduk sedangkan dia berdiri di belakangnya.“Biar aku yang
Saga berjalan dibelakang sang Ayah, terus mengikuti Ayahnya itu menuju ruang gym miliknya berada, dengan secangkir kopi hitam yang mengepulkan asap tipis di masing-masing tangan mereka. Setelah pembicaraan di ruang tamu selesai, Hanum memberikan tanda pada putranya itu bahwa ada yang harus di bicarakan secara empat mata.“Bagaimana pekerjaanmu?” Hanum akhirnya membuka suara setelah hening beberapa menit.Mereka sedang menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi kota, dari balik dinding kaca. Ruangan olahraga itu selalu di sinari cahaya matahari yang hangat, seolah Saga sudah memesan khusus untuk mendapatkannya.Berdiri bersisian dengan pria tua itu membuat Saga menolehkan wajahnya ke samping, dengan alis mengernyit. Berpikir sejenak, untuk apa Ayahnya itu perlu berbicara diruang tertutup seperti ini kalau hanya menanyakan soal pekerjaan. Walau begitu, Saga tetap menjawabnya.“Kurasa Papa sudah tahu jawabannya. Bukankah, beberapa hari belakangan Papa selalu mengaw
Setelah membuatkan kopi dan memberikannya pada sang suami juga mertuanya, Sahara lekas kembali menuju dapur. Membantu Viona yang sedang memotong-motong bahan masakan untuk memasak menu makan siang.“Mama, boleh aku bertanya?” Gadis itu mengatakannya sedikit ragu di sela-sela memotong buncis, dan memandang Viona yang mengenakan celemek hitam milik Saga, terlihat sangat keibuan. Mengingatkannya pada Liana, rasanya dia merindukan sang Mami.“Ya, tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?” jawab wanita itu menganggukkan kepalanya, lalu balas memandang menantunya dan tersenyum.“Soal penculikan itu, Mama sungguh mengetahuinya?” tanya Sahara dengan suara pelan. Viona menghentikan gerakan memotong-motong sayur lalu memutuskan untuk mencuci kedua tangannya di wastafel, sebelum mendekat pada menantunya itu.“Mama tahu.” jawabnya mengakui, kemudian mengusap lembut lengan gadis itu. “Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Apa kejadian itu membuatmu tidak nyaman?”“Oh, bukan begitu...” Sahara buru-b
Awan putih membentang indah di langit biru yang menandakan musim panas telah tiba. Suhu rata-rata Tokyo di musim ini adalah sekitar 31,5°C pada siang hari dan 24°C di pagi hari. Beruntungnya Saga dan Sahara berkunjung disaat musim panas, sebab musim panas selalu dinanti banyak orang, dimana akan ada banyak festival dan kembang api di nyalakan. Orang-orang akan turun ke jalanan mengenakan pakaian tradisional Yukata dan memegang kibasan dari uchiwa. Di setiap malam perayaan festival, orang-orang akan menggantungkan dekorasi potongan kertas yang bertuliskan permohonan di sebatang bambu.Sahara, gadis itu begitu sumringah menyaksikan festival musim panas sebagai salah satu budaya Jepang ini. Walaupun bukan warga lokal, dia ikut menggantungkan kertas yang berisi permohonannya, berharap suatu hari nanti akan terwujud.“Apa yang kau tulis?” Saga bertanya penasaran, sesekali mengusap keringat yang keluar dari pori-pori kulit.“Harapan!” sahutnya pendek.“Kau berharap apa?”“Berharap kita ak
“Pertama-tama, kau harus memakai ini.”Gadis yang sedang melihat-lihat hasil foto tadi siang dalam ponselnya lantas mendongakkan wajah. Menatap dengan dahi mengernyit pada sesuatu yang di sodorkan kepadanya. Lalu mengalihkan pandangan pada lelaki yang berdiri di tepi kasur dengan senyum memamerkan deretan giginya.“Ini apa?” Sahara meletakan ponselnya di atas bantal, dan menerima sesuatu seperti kain yang di berikan oleh lelaki itu.Kedua tangannya membeberkan kain tersebut agar menampakkan bentuknya lebih jelas. Sebuah dress tipis, berwarna hitam. Tidak, ini bukan dress. Diam-diam Sahara melirik sang suami lewat sudut matanya, dan mengumpat dalam hati, apa-apaan suaminya itu? memberikan baju mengerikan seperti ini. Dan, pertanyaan yang lebih penting, dari mana Saga mendapatkan benda ini?“Ini untuk... berenang?” tanya gadis itu dengan kikuk dan tersenyum canggung.“Untuk apa kau berenang malam-malam begini?” pria itu membalas pertanyaan istrinya dengan balik bertanya, lalu membungkuk