Share

Aku Baby Blues karena Kakakku
Aku Baby Blues karena Kakakku
Penulis: Kak Siti chanel

Awal Mula Syndrome Baby Blues

Part 1

Aku baby blues karena kakakku

"Enak bener ya, tinggal disini makan serba gratis" Ucap kakakku, fika.

Dia menyinggungku yang sedang makan.

Aku merasa tersinggung, bukan apa. Aku baru siap melahirkan beberapa hari yg lalu, di cesar pula. di tengah menahan rasa sakit yang teramat sangat di perut ku, aku juga merasa sakit di dalam hatiku.

Aku pulang kerumah ibuku karena baru saja melahirkan anak pertamaku. Agar ada yang membantuku mengurus bayiku, karena ini anak pertama ku. Aku kesusahan mengurus bayi sendiri setelah operasi cesar.

Suamiku, mas Fandi pergi pagi pulang sore, nyaris tak ada waktu dia dirumah. Agar memudahkan nya bekerja, dia masih tinggal dirumah kontrakan kami agar dekat dengan pabrik tempatnya bekerja.

Aku harus pulang kerumah ibu atas permintaan ibu juga, aku anak satu satunya yang sudah menikah, dan anakku adalah cucu pertama dan satu satunya dikeluargaku.

"Sari.. Nanti lahiran dirumah ibu saja ya, biar ibuk yg urus. Ibuk juga dulu begitu waktu lahiran anak pertama di urus sama nenekmu" Pinta ibuku saat aku sedang mengandung tujuh bulan kalau itu.

"Iya buk, nanti sari pulang kesini kok. Lagian dirumah kontrakan juga sari sendiri. Mas Fandi pergi pulang sore."

Vika, kakakku satu satunya, ia belum menikah, umur nya sudah 32 tahun, sehari hari dia bekerja di kantor pemerintah. Entah apa alasan dia belum ingin berumah tangga, aku tak ingin tahu.

Yang ku tahu, sejak aku menikah dengan mas Fandi, suamiku. Sikap kakakku Fika berubah 180 derajat padaku.

Apalagi setelah menikah aku sempat tinggal dirumah ibu selama dua bulan, setiap hari Fika menunjukkan ke-tidak sukaannya padaku juga suamiku, aku tahu mungkin dia marah karena aku melangkahinya, tapi apakah aku salah jika menikah lebih dulu dari kakakku? Apakah itu dosa?

Dari pada jadi fitnah, lebih baik aku menikah dengan mas Fandi.

setelah dua bulan menikah aku langsung mencari rumah kontrakan.Dua tahun kemudian aku hamil.

Bahagia bercampur sedih, sedih karena sifat kakakku yang semakin menunjukkan ketidak suka nya padaku juga suamiku.

Sembilan bulan kemudian, aku melahirkan. Aku belum mengerti apa apa karena aku masih new mom.

Pada saat pulang kerumah ibu, ku di sambut dengan kalimat menyakitkan.

"Kenapa operasi sih dia buk? " Tanya Fika pada ibuku.

"Jalan lahirnya kecil, bayi nya pun besar hampir empat kilo, bidannya rujuk ke rumah sakit, ya di cesar deh" Sahut ibuku.

"Alah bilang aja manja, orang jaman dulu bisa kok lahiran normal bayinya lima kilo, dia nya aja yang manja" Sahut Fika dengan muka judesnya.

Ada yang sakit di dalam ulu hatiku, tapi aku tahan karena luka sayatan di perut ku masih basah dan sakit luar biasa. Berjalan saja aku harus bungkuk dan pegang perut, agar tidak terlalu sakit.

Tiba tiba, anakku menangis, ibuku buru buru masak air panas guna membuat susu formula untuk anakku. ASI ku belum keluar, meski sudah ku pompa dan minum obat.

"Kok pakai susu formula sih, kenana gak kamu kasih ASi? " Tanya Fika padaku.

"ASI ku belum keluar kak" Jawabku singkat.

"Ya kamu usahain lah biar keluar, emangnya suami kamu sanggup kasih sufor buat anak kamu selama dua tahun? Udah suami kerjanya begitu..." Celetuknya sambil memoyongkan bibir.

"Aku udah usaha biar ASI ku keluar kak, tapi emang gak ada hasil, udah minum obat pelancar ASI, minum jamu, mungkin karena aku banyak pikiran dan stres jadi susah keluar ASI nya" Jawabku.

"Makanya jangan operasi, kalau aku sih ogah operasi, aku mau nya normal biar jadi ibu sesungguhnya" Jawab Fika sambil berlalu.

Semakin lama kata kata Fika semakin membuatku sakit hati, aku jadi kepikiran kata katanya, aku merasa menyesal harus operasi cesar. Kenapa aku tak lahiran normal saja. Pasti mereka gak akan membully ku.

Aku jadi kepikiran, apa aku sanggup kasih sufor untuk anakku selama dua tahun? Apalagi pekerjaan suamiku hanya sebagai buruh pabrik.

Seminggu aku berada dirumah ibu, Fika kembali menyinggung soal uang belanja.

"Buk, do'ain ya biar Fika dapat suami orang kaya, biar kalau tinggal dirumah mertua tuh kasih uang belanja." Sindirnya membuatku kembali tersinggung.

Padahal yang menanggung belanja dirumah bukanlah Fika, melainkan ayahku. Ya, ayahku masih ada, ayahku bisa dibilang masih muda untuk seorang kakaek, umurnya sekitar 50 tahun, beliau bekerja sebagai agen jual beli motor bekas.

Fika memang punya penghasilan, tapi penghasilannya bukan untuk menanggung semua kebutuhan keluarga, ayah lah yang menanggungnya.

Aku tahu suamiku orang miskin, tidak pernah kasih uang belanja buat ibuku.

Tapi mas Fandi selalu membeli apa yang aku dan bayiku butuhkan. Susu bayi, popok, bedak, minyak kayu putih, dan segala tetek bengek bayi lainnya. Setiap mas Fandi gajian, dia selalu membeli beras, telur, sayur mayur, untuk diberikan pada ibuku.

Bukan, bukan mas Fandi tak memberikan uang belanja, Dia memberi bukan dalam bentuk uang, tapi barang. Karena banyak kebutuhan kami yang dia pikirkan. Sewa kontrakan perbulan, tagihan kredit motor, uang listrik rumah kontrakan kami, bahkan gajinya sebulan kadang tak cukup untuk membayar semua itu.

Maklum, dia hanya butuh pabrik.

Tapi, Fika seolah menutup mata pada kesusahan kami. Ia tak mau tahu bagaimana susahnya mas Fandi mencari uang, yang biasa tahu suamiku pelit dan miskin, terang terangan dia menyindir suamiku bahkan didepan ibu dab ayahku, semakin hari Fika semakin gencar menyinggung aku dan suamiku.

Pernah suatu hari, Fika kembali berucap,

"Bulan ini tagihan listrik rumah kita naik buk, apalagi kipas angin hidup 24jam " Sindiran Fika sambil melirik kearah ku.

Aku tahu dia menyindir ku, karena aku selalu menghidupkan kipas angin jika dikamar, rumah ibuku kamarnya panas dan pengap, bayi ku sampai merah merah kulit nya karena kepanasan.

Akun hanya bisa menangis mendengar sindiran Fika buatku. Luka bekas operasiku belum sembuh sudah di tambah luka baru oleh kakakku.

Satu bulan kemudian, Fika kembali menyindir ku

"Buk, gak usah cuci pakaian bayi dia, ibuk sudah tua capek. Suruh aja dia cuci sendiri"

Aku bahkan tak pernah menyuruh ibuku untuk mencuci pakaian bayiku, ibu sendiri yang kasihan melihat ku habis operasi, makanya ibu mencuci nya.

Padahal sudah sebulan lebih, tapi perutku belum sembuh juga, seingatku pada saat benang jahitan di buka oleh perawat, ada daging yang ikut tertarik, awalnya tidak apa apa, tapi semakin hari luka operasiku ada yang terbuka jadi berdarah dan bernanah.

Aku coba ke bidan, kata bidan tidak terlalu bahaya, lalu bu bidan memberi salap agar lukanya cepat sembuh.

Disaat luka belum sembuh, aku harus mencuci bajuku dan juga baju bayiku. Perut dan rahimku Sakit luar biasa karena aku mencuci pakaian pakai tangan dan saat duduk sakit sekali rasanya.

Kadang aku berpikir, kenapa aku harus pulang kerumah ibu jika hanya sakit hati dan air mata yang ku dapat. Aku jadi membenci kakakku, aku merasa sakit hati setiap hari karena kata katanya yang tajam dan menyakitkan.

Aku jadi tidak fokus mengurus bayiku, aku marah pada diriku, tapi tidak tahu harus menceritakan pada siapa. Kalau aku cerita pada ibu, pasti ibu membela kakakku karena dia yang sudah merenovasi rumah untuk ibuku karena dia punya penghasilan.

Suatu Waktu anakku menangis tengah malam,

"Duh.. Berisik banget sih, ganggu orang tidur"

Fika kesal, anakku hampir setiap malam menangis. Semua bayi baru lahir kurasa pasti selalu menangis.

Aku yang masih belum paham tentang bayi baru lahir, aku berikan bayiku pada ibu.

"Kenapa bayimu nangis? " Tanya ibuku.

"Gak tau buk, udah Sari kasih susu tapi tetap nangis juga"

"Sini biar ibuk gendong"

"Gak usah buk, nanti ibuk capek. Kan ada mama nya. Ibu tidur aja untuk apa juga ada mamaknya, udah kayak ibuk saja mamaknya" Ucap Fika melarang ibuku mengambil bayiku.

Ibuku pun mengikuti ucapan Fika, aku kesel dan sakit hati. Mau marah tapi tidak berani.

Aku hanya bisa menangis, akun kesal,marah dan stres karena kata kata Fika, aku tak bisa meluapkan emosiku, ujung ujungnya aku lampiaskan kemarahanku pada anakku.

Kadang tanpa sengaja aku memarahi anakku yang masih merah itu, setelah memarahi anakku aku menyesal dan menangis sekuat kuatnya.

Sudah empat puluh hari aku dirumah ibu tapi luka cesarku masih teras ngilu, mungkin karena aku tidak benar merawat luka bekas cesar.

Empat puluh hari, akhirnya aku memutuskan pulang kerumah kontrakan. Meski susah payah mengurus bayi sendiri, memasak, mencuci, membersihkan rumah sendiri, tidak apa asal hatiku tidak sakit dan aku masih bisa waras.

Ibu sempat melarangku pulang.

"Kenapa kamu buru buru sih nak pulang nya? Gak tunggu tiga bukan dulu, emang kamu bisa semuanya sendiri ? "

"Enggak apa apa buk, Sari udah bisa kerjain sendiri kok, lagian ada Mas Fandi juga di rumah kontrakan" Aku tidak mengatakan pada ibu alasanku pulang yang sebenar nya.

Padahal aku sudah tidak kuat lagi mendengar nyinyiran dan sindiran Fika terhadapku. Dari pada lama lama aku jadi gila, lebih baik aku pergi saja dari sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status