Share

Maafkan Aku!

Penulis: Nyla Amatullah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-20 15:10:39

Aku tak paham maksud Mas Haris. Apa jangan-jangan, seluruh uang gajinya diberikan pada Ibunya? Lalu, aku harus mengemis, begitu?

"Mulai sekarang, ibu yang mengatur uangku. Jadi, biar ibu yang ngasih uang belanjanya," ucapnya tanpa merasa bersalah.

"Apa aku enggak salah dengar, Mas?" Tentu diri ini begitu kaget dan tak percaya begitu saja.

Aku tak habis pikir, kemarin dia meminta semua gajiku. Sekarang, uangnya diberikan semua ke ibunya. Lalu, apa fungsinya aku sebagai istrinya?

Aku merasa sudah tak dihargai lagi sebagai seorang istri. Bisa-bisanya dia mempercayakan keuangan rumah tangga pada orang lain. Meskipun itu ibunya, tetap aku tidak rela.

"Ibu lebih pintar mengatur keuangan. Buktinya, setiap bulan selalu bisa menabung. Nanti aku antar ambil uangnya ke ibu."

"Enggak perlu." Hatiku begitu dongkol.

"Kenapa?"

"Aku enggak butuh uangmu." Bibirku bahkan sampai bergetar, menahan tangis.

"Oh, kamu sudah merasa hebat, enggak butuh uangku, sekarang?" Mas Haris menekan kalimatnya.

"Aku enggak mau mengemis ke Ibumu," ucapku seraya memalingkan wajah. Bahkan, sekedar melihat wajahnya, aku malas. Aku benar-benar muak.

Dulu, wajah itu yang memberiku ketenangan. Senyumnya selalu terukir menentramkan. Namun kini, wajah itu memberikanku banyak luka.

"Enggak usah lebay deh, Rin."

"Aku juga punya harga diri, Mas. Buat apa, istrimu ini, kalau kamu enggak percaya lagi padaku?"

Mas Haris mengembuskan nafas kasar.

"Kamu itu boros, uang belanja enggak pernah sisa, bahkan gajimu saja, aku pegang enggak boleh, padahal niatku baik, buat ditabung," ucapnya menggores hati.

"Boros yang mana, yang kamu maksud? Kamu kasih aku cuma sejuta, kamu bilang aku boros?" ucapku sambil tersengal, menahan amarah.

"Satu juta itu banyak, Rin. Kamu saja yang enggak pandai mengatur keuangan."

Aku tersenyum mengejek. Banyak dia bilang, sehari tiga puluh ribu, dia bilang banyak. Masih waraskah dia?

"Satu juta buat sebulan, kamu bilang banyak?" Aku mengatur nafas. "uangmu, cuma cukup buat makan, Mas. Bayangkan, tiga puluh ribu sehari, dapat apa? Sedangkan kamu mintanya selalu makan enak," protesku tak mau kalah.

"Gara-gara daging, kamu bilang aku selalu minta makan enak?"

"Kenyataannya begitu,"

"Jangan salahkan aku, kalau sering minta makan enak. Salahkan dirimu sendiri, karena tiap hari masaknya cuma tahu sama tempe terus, bosan aku," ucapnya tanpa mikir.

"Kamu kalau ngomong, dipikir dulu enggak sih, Mas? Aku masak kayak gitu, juga karena uang belanjamu pas-pasan." Kenyataannya memang begitu.

"Kamu 'kan ada uang juga, kamu itu kerja, seharusnya kamu bantu buat kebutuhan belanja!" ucapnya asal ceplos.

Sungguh, hati ini begitu dongkol. Darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun. Ingin ku kuncir saja mulutnya itu. Enak sekali bicaranya.

Aku terdiam, tak ada gunanya juga berdebat dengannya. Dia selalu merasa benar. Aku sudah bosan menjelaskan padanya.

"Ayo, sekarang ke rumah ibu, ambil uangnya!" Mas Haris bangkit dari duduknya.

"Ogah, aku bukan pengemis," tolakku. Aku meninggalkannya sendiri, berlalu ke kamar.

Persetan dengan uang belanja. Jika dia suami yang bertanggung jawab, dia tak akan melakukan itu.

Hatiku begitu sakit. Segitu tidak percayanya dia pada istrinya, sampai uang belanja pun harus meminta pada ibu. Tak tahan, akhirnya aku menangis sesenggukan, hatiku telah tergores. Selamanya tak akan bisa disembuhkan.

"Bapak, maafkan aku. Dulu, aku tidak mendengar kata-kata Bapak," ucapku dalam tangis.

Menyesal?

Entahlah. Hatiku masih ragu, membedakan penyesalan atau kemarahan yang melanda hatiku. Andai dulu aku mendengar nasihat Bapak, mungkin aku tak akan sesakit hati seperti sekarang.

"Bapak, maafkan aku," lirihku lagi. Saat ini, hatiku begitu sesak.

"Rin, cepat buka pintunya!" ucap Mas Haris seraya menggedor pintu.

Tak kuhiraukan dia. Hatiku terlanjur sakit atas ucapannya.

"Rin, cepat!" bentaknya.

Rin ...." Suara gedoran pintu makin keras.

"Gak usah ribut, malu sama tetangga!" ucapku di ambang pintu.

"Maafkan aku!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Fitnah

    "Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Dilamar

    "Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Balas Dendam

    "Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Kerja Sama

    "Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Profesi Alvin

    Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Tidak Akan Bercerai

    Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status