Share

Kedatangan Mertua

last update Last Updated: 2023-10-20 15:09:19

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku terus mengomel dalam hati. Tidak habis pikir dengan sikap Mas Haris. Bisa-bisanya dia meminta uang bensin padaku. Aku saja, tidak pernah meminta uang bensin padanya. Sudah putus memang, urat malunya.

Padahal, uang yang diberikannya, hanya satu juta setiap awal bulan. Itu artinya, uang belanjaku hanya tiga puluh ribu saja dan sisanya dia yang pegang.

Kalau ditanya cukup atau tidak, jelas tidak cukup. Itu hanya urusan dapur, belum bensin, listrik dan lain-lain.

Selama ini, kebanyakan orang, tahunya kami hidup harmonis, Mas Haris bekerja, akupun juga bekerja. Orang berpikir, hidup kami berkecukupan dari segi materi. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi, karena aku tak pernah bercerita masalah rumah tangga pada siapapun, termasuk Ibuku. Biarlah orang lain tahunya, aku selalu bahagia. Bukankah, prasangka baik itu sebuah do'a.

Tak terasa, aku sudah tiba di sekolah, tempatku mengais rejeki. Kuparkirkan motor di tempat khusus guru. Lalu berjalan ke arah kantor.

"Pagi, Bu Rini," sapa Pak Yatno, Kepala Sekolah.

"Pagi juga, Pak."

"Saya suka, Bu Rini ini tidak pernah datang terlambat," ucapnya bangga yang kutanggapi dengan senyuman.

Pak Yatno, selalu datang sebelum semua guru dan para siswa datang. Jadi, tak ada alasan bagi kami, guru dan siswa untuk terlambat.

"Kita 'kan harus memberi contoh yang baik, Pak, kalau saya terlambat, murid-murid pasti juga bakal lebih terlambat dari saya."

"Itu yang saya suka dari Bu Rini, selalu disiplin dalam setiap hal," pujinya.

"Saya permisi dulu, Pak!" pamitku.

"Silakan, Bu!"

Aku melangkah meninggalkan beliau. Aku harus memulai hari ini dengan pikiran positif, meskipun pagi tadi sudah diawali dengan pertengkaran.

Setelah berkutat dengan jadwal yang cukup padat, akhirnya bisa pulang juga. Bahkan, beberapa guru sudah pulang terlebih dahulu. Aku bergegas pulang, karena perutku sudah lumayan lapar.

****

Hari sudah beranjak sore saat aku tiba di rumah. Kuparkirkan motor di halaman, karena aku berniat pergi lagi selepas Maghrib nanti. Kulihat pintu sudah dalam keadaan terbuka. Itu berarti Mas Haris sudah pulang.

"Assalamualaikum." Sudah menjadi kebiasaanku mengucap salam saat memasuki rumah.

Aku melangkah menuju kamar. Ingin istrihat sejenak melepas lelah.

"Bagus, ya, jam segini baru pulang. Dari mana saja?" Ibu mertua mengagetkanku.

"Astaga...." Aku setengah berteriak karena kaget dengan kemunculan ibu secara tiba-tiba.

"Kenapa, takut, ibu ada di sini?"

"Ibu ini kenapa tiba-tiba menampakan diri kaya gitu, aku kan kaget, Bu." Kucoba menetralkan nafasku.

"Ibu sudah dari tadi nungguin kamu, kamunya malah kelayapan," sungutnya.

"Aku pulang kerja, Bu, bukan kelayapan."

"Buktinya, jam segini baru pulang. Guru kok kelakuannya kayak gitu."

"Aku mau ke kamar dulu, Bu, capek." Kutinggalkan Ibu yang masih mengomel.

Kutulikan pendengaranku dengan ocehannya. Aku capek, berharap di rumah bisa istirahat, namun kenyataan berkata lain.

"Rin, ibu belum selesai bicara, enggak sopan kamu!" Kukunci pintu, lalu merebahkan diri di kasur, meluruskan punggung yang terasa kaku.

"Rin, bukain pintunya!" Pintu kamar di ketuk. Dari suaranya aku tahu, kalau itu Mas Haris. Padahal baru saja aku terlelap. Dengan enggan, aku memaksa tubuh ini untuk bangun. Buru-buru kukunci pintu setelah Mas Haris masuk. Aku tak mau ibu sampai mengomel lagi. Kuedarkan pandangan, tak nampak batang hidung ibu. Mungkin sudah pulang.

"Kamu habis tidur?" tanyanya seraya mengganti baju.

"Iya, aku mau lanjut lagi, masih ngantuk." Kupejamkan mata yang masih lengket ini.

"Ini sudah mau Maghrib, lho, bangun dulu!"

"Iya," terpaksa aku membuka mata. Bahkan pakaianku pun belum ganti. Gegas aku mandi, agar tidak kemalaman.

"Rin, kamu enggak masak?" tanya Mas Haris sambil membuka tudung saji.

"Belum belanja, Mas," jawabku seraya mengeringkan rambut dengan handuk.

"Kenapa enggak belanja sekalian?"

"Aku nunggu kamu, Mas."

"Biasanya kan belanja sendiri."

"Uang belanjanya belum Mas kasih, jadi aku enggak belanja," ucapku santai.

"Terus, kita makan apa malam ini?"

Aku menggeleng. Untung saja tadi sebelum pulang, aku mampir ke warung soto, karena kutahu, di rumah sudah tidak ada bahan masakan. Sesekali, mas Haris memang harus diberi pelajaran, agar tak seenaknya sendiri.

"Tadi ibuk kesini, gak sekalian minta uang?"

"Maksudnya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Fitnah

    "Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Dilamar

    "Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Balas Dendam

    "Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Kerja Sama

    "Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Profesi Alvin

    Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Tidak Akan Bercerai

    Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status