Share

Kedatangan Mertua

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku terus mengomel dalam hati. Tidak habis pikir dengan sikap Mas Haris. Bisa-bisanya dia meminta uang bensin padaku. Aku saja, tidak pernah meminta uang bensin padanya. Sudah putus memang, urat malunya.

Padahal, uang yang diberikannya, hanya satu juta setiap awal bulan. Itu artinya, uang belanjaku hanya tiga puluh ribu saja dan sisanya dia yang pegang.

Kalau ditanya cukup atau tidak, jelas tidak cukup. Itu hanya urusan dapur, belum bensin, listrik dan lain-lain.

Selama ini, kebanyakan orang, tahunya kami hidup harmonis, Mas Haris bekerja, akupun juga bekerja. Orang berpikir, hidup kami berkecukupan dari segi materi. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi, karena aku tak pernah bercerita masalah rumah tangga pada siapapun, termasuk Ibuku. Biarlah orang lain tahunya, aku selalu bahagia. Bukankah, prasangka baik itu sebuah do'a.

Tak terasa, aku sudah tiba di sekolah, tempatku mengais rejeki. Kuparkirkan motor di tempat khusus guru. Lalu berjalan ke arah kantor.

"Pagi, Bu Rini," sapa Pak Yatno, Kepala Sekolah.

"Pagi juga, Pak."

"Saya suka, Bu Rini ini tidak pernah datang terlambat," ucapnya bangga yang kutanggapi dengan senyuman.

Pak Yatno, selalu datang sebelum semua guru dan para siswa datang. Jadi, tak ada alasan bagi kami, guru dan siswa untuk terlambat.

"Kita 'kan harus memberi contoh yang baik, Pak, kalau saya terlambat, murid-murid pasti juga bakal lebih terlambat dari saya."

"Itu yang saya suka dari Bu Rini, selalu disiplin dalam setiap hal," pujinya.

"Saya permisi dulu, Pak!" pamitku.

"Silakan, Bu!"

Aku melangkah meninggalkan beliau. Aku harus memulai hari ini dengan pikiran positif, meskipun pagi tadi sudah diawali dengan pertengkaran.

Setelah berkutat dengan jadwal yang cukup padat, akhirnya bisa pulang juga. Bahkan, beberapa guru sudah pulang terlebih dahulu. Aku bergegas pulang, karena perutku sudah lumayan lapar.

****

Hari sudah beranjak sore saat aku tiba di rumah. Kuparkirkan motor di halaman, karena aku berniat pergi lagi selepas Maghrib nanti. Kulihat pintu sudah dalam keadaan terbuka. Itu berarti Mas Haris sudah pulang.

"Assalamualaikum." Sudah menjadi kebiasaanku mengucap salam saat memasuki rumah.

Aku melangkah menuju kamar. Ingin istrihat sejenak melepas lelah.

"Bagus, ya, jam segini baru pulang. Dari mana saja?" Ibu mertua mengagetkanku.

"Astaga...." Aku setengah berteriak karena kaget dengan kemunculan ibu secara tiba-tiba.

"Kenapa, takut, ibu ada di sini?"

"Ibu ini kenapa tiba-tiba menampakan diri kaya gitu, aku kan kaget, Bu." Kucoba menetralkan nafasku.

"Ibu sudah dari tadi nungguin kamu, kamunya malah kelayapan," sungutnya.

"Aku pulang kerja, Bu, bukan kelayapan."

"Buktinya, jam segini baru pulang. Guru kok kelakuannya kayak gitu."

"Aku mau ke kamar dulu, Bu, capek." Kutinggalkan Ibu yang masih mengomel.

Kutulikan pendengaranku dengan ocehannya. Aku capek, berharap di rumah bisa istirahat, namun kenyataan berkata lain.

"Rin, ibu belum selesai bicara, enggak sopan kamu!" Kukunci pintu, lalu merebahkan diri di kasur, meluruskan punggung yang terasa kaku.

"Rin, bukain pintunya!" Pintu kamar di ketuk. Dari suaranya aku tahu, kalau itu Mas Haris. Padahal baru saja aku terlelap. Dengan enggan, aku memaksa tubuh ini untuk bangun. Buru-buru kukunci pintu setelah Mas Haris masuk. Aku tak mau ibu sampai mengomel lagi. Kuedarkan pandangan, tak nampak batang hidung ibu. Mungkin sudah pulang.

"Kamu habis tidur?" tanyanya seraya mengganti baju.

"Iya, aku mau lanjut lagi, masih ngantuk." Kupejamkan mata yang masih lengket ini.

"Ini sudah mau Maghrib, lho, bangun dulu!"

"Iya," terpaksa aku membuka mata. Bahkan pakaianku pun belum ganti. Gegas aku mandi, agar tidak kemalaman.

"Rin, kamu enggak masak?" tanya Mas Haris sambil membuka tudung saji.

"Belum belanja, Mas," jawabku seraya mengeringkan rambut dengan handuk.

"Kenapa enggak belanja sekalian?"

"Aku nunggu kamu, Mas."

"Biasanya kan belanja sendiri."

"Uang belanjanya belum Mas kasih, jadi aku enggak belanja," ucapku santai.

"Terus, kita makan apa malam ini?"

Aku menggeleng. Untung saja tadi sebelum pulang, aku mampir ke warung soto, karena kutahu, di rumah sudah tidak ada bahan masakan. Sesekali, mas Haris memang harus diberi pelajaran, agar tak seenaknya sendiri.

"Tadi ibuk kesini, gak sekalian minta uang?"

"Maksudnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status