Di usianya yang baru delapan belas tahun, Savana Melati Wirajaya terpaksa menerima ajakan menikah Daryan Bumi Ardhanata—seorang CEO dingin dan dominan—demi biaya kuliah dan demi menyelamatkan ayahnya dari pemecatan. Walaupun begitu, pernikahan mereka berdua hanyalah pernikahan kontrak. Daryan hanya menggunakan Savana untuk melawan perjodohan sang ibu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, batas-batas yang mereka bangun mulai runtuh dan tumbuh benih cinta di antara mereka.
View More[Hari ini batas terakhir pembayaran biaya pendaftaran mahasiswa baru! Segera selesaikan pembayaran Anda agar tetap terdaftar sebagai calon mahasiswa aktif. Terima kasih. -Admin.]
“AKH!” Savana menjerit ketika mendapatkan notifikasi email dari universitas tempat dia mendaftar. Jantung Savana serasa copot. Jam menunjukkan pukul 12 siang, sedangkan pembayaran terakhir pukul lima sore. “Oh my god! Mana Papa belum transfer lagi uangnya,” ia menggigit jari telunjuknya sambil mencari nomor sang ayah untuk di hubungi. Begitu dapat, ia langsung menekan tombal panggil. “Pa, tolong ... hari ini terakhir bayar!” suara Savana nyaris bergetar saat menatap layar ponselnya yang menunjukkan panggilan tak terjawab yang ke-lima. Jemarinya dingin, keringat membasahi telapak tangannya. Tok. Tok. Pintu kamarnya di ketuk membuatnya mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Di ambang pintu, sosok ibunya melangkah masuk seraya tersenyum kecil. “Savana ... Mama boleh minta tolong sama kamu?” tanya Hana, nada bicaranya lembut tapi terdapat kepanikan yang tertangkap oleh telinga Savana. “Minta tolong apa?” “Coba hubungi Papa kamu, dari tadi Mama telfon ga diangkat.” Savana membulatkan matanya. “Mama juga?” serunya kaget, bahkan miliknya sudah ke tujuh kali panggilan masih belum dijawab. “Tapi Mama ada perlu apa sama Papa?” Hana tersenyum kecil, mendudukan diri di sebelah putrinya. “Mama sudah tiga kali check-up ke rumah sakit, dan uangnya minjam ke tante kamu. Barusan tante kamu telfon Mama, dia butuh uangnya. Kemarin Papa kamu janji mau transfer hari ini, tapi belum di transfer. Mama udah coba telfon dari tadi, tapi ga diangkat-angkat.” Savana tercengang, hari ini batas akhir pembayaran uang pendaftaran universitas impiannya. Dan ibunya, juga membutuhkan uang untuk membayar hutang pada tantenya. “Ga bisa gini.” Savana langsung bangkit dari duduknya. “Aku harus ke kantor Papa sekarang juga.” “Eh?!” Hana ikut berdiri dan mengekor putrinya. “Sav, ga perlu, Nak. Mama bisa bilang sama tante kamu buat tunggu sampe Papa kamu pulang aja, ga perlu sampe samperin ke sana.” Savana langsung menoleh pada ibunya. “Masalahnya aku juga butuh uangnya, Ma. Hari ini batas akhir bayar daftar kuliah aku.” Tanpa sempat ganti baju, dengan kaus lengan dan celana training seadanya. Savana meraih tasnya dan berlari keluar kamar. Wajah cantiknya memerah karna emosi yang bercampur panik. Ini bukan soal uang semata, ini soal masa depan yang terancam runtuh hanya karna satu hal—janji yang tak ditepati ayahnya kepadanya dan juga ibunya. Setelah melewati perjalanan lima belas menit, akhirnya Savana tiba di tempat kerja ayahnya menggunakan ojek online. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya satpam tersebut pada Savana yang langsung tersentak dan menoleh seraya tersenyum canggung. “Saya mau ketemu sama Papa saya yang kerja di sini, Pak,” ujarnya ramah, tangannya memainkan ujung kain kaos-nya. “Siapa namanya?” “Pak Am ....” ucapannya menggantung di udara begitu dia melihat mobil sang ayah melintas masuk. “PAPA!” teriaknya sambil berlari masuk mengejar mobil sang ayah yang menuju parkiran. “Pap ....“ bola mata Savana membelalak kaget ketika melihat sang ayah turun dari mobil bersama seorang wanita yang tampaknya juga bekerja di perusahaan itu. “PAPA!” teriaknya lagi, wajahnya cemberut sambil menatap ayahnya tajam. “Savana?” gumam sang ayah—Ameer, ia terkejut melihat putrinya berada di halaman perusahaan tempatnya bekerja. “Eh, Lin. Kamu masuk duluan ya, aku mau ketemu sama anakku dulu.” Wanita yang bernama Linda itu lantas melirik sekilas ke Savana yang menatapnya tajam, hidungnya kembang kempis menahan amarah—sementara kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Lalu tanpa banyak bicara, Linda berbalik dan masuk ke dalam gedung membiarkan ayah dan anak itu menyelesaikan urusan mereka berdua. Savana buru-buru berlari menghampiri ayahnya. “Sav, ngapain kamu ke tempat kerja Papa?” bisik Ameer sambil melirik sekitar berharap tidak menjadi pusat perhatian rekan kerjanya. “Siapa tadi?” serbu Savana, mulai mengintrogasi. “Siapa yang sama Papa tadi?!” Ameer langsung menutupi telinganya karna teriakan Savana. “Jangan bilang Papa selingkuh?” “SAVANA!” tukas Ameer dingin. “Jangan sembarangan kalau ngomong, kamu ini mulutnya seperti tidak diajarkan sopan santun. Dia itu rekan kerja Papa. Kami baru pulang dari rapat di perusahaan sebelah.” Savana menyipitkan matanya seolah mencari kejujuran di wajah sang ayah kemudian menghela nafas kencang. “Oke, kita skip pembahasan yang ini dulu!” katanya seraya mengulurkan telapak tangannya pada Ameer. “Mana uangnya?” pintanya tegas. “Uang apa?” “Uang apa?” ulang Savana sinis. “Papa gak usah pura-pura lupa, aku udah ingetin Papa uang pendaftaran kuliah aku. Aku udah ingetin dari jauh-jauh hari dan hampir setiap hari Pa, gak mungkin kan Papa lupa?!” “Oh ... nanti malam ya? Kita bahas ini nanti di rumah. Papa harus kerja, ga seharusnya kamu sampe nyamperin Papa ke kantor seperti ini Sav.” “Ya mau gimana lagi, aku udah hubungin Papa. Tapi apa? Papa sengaja nolak panggilan aku.” Savana berseru kesal, wajahnya merengut. “Ini juga, katanya mau transfer uang ke Mama buat check-up. Tapi apa? Papa juga belum kirim sampe sekarang, udah tiga bulan ini Mama minjem sama tante dan hari ini tante minta uangnya balik.” Ameer menghela nafas berat, tangannya memijat pelipisnya pelan. “Oke, nanti malam Papa kasih uangnya.” Ia mencoba menenangkan putrinya yang mulai tantrum. “Memangnya kenapa kalau sekarang?” seru Savana sinis. “Kirim sekarang, aku gak akan pergi kalau ga di transfer sekarang. Gak ada nanti-nanti malem, karna hari ini terakhir pembayaran sebelum jam lima sore.” “Tapi Papa belum ada uangnya, Sav,” lirih Ameer memohon pengertian. “Tuh kan,” Savana sudah menduganya. “Aku udah bilang siapin dari jauh-jauh hari, Papa udah janji loh sama aku!” “Iya, soalnya Papa mau jual mobil tapi belum laku Savana ....” “Papa ...,” rengek Savana, rasanya dia ingin menangis. “Terus ke mana gaji-gaji Papa selama ini? Bahkan ke Mama Papa Cuma kasih satu juta dari gaji 10 juta.” “Sav ....” Ameer menempelkan jari telunjuknya pada bibir putrinya, memintanya agar diam. “Aku ga mau!” Savana menepis tangan ayahnya dengan kasar. “Kalau Papa gak mau bayar uang pendaftaran kuliah aku, ya udah! Aku mau cari sugar daddy yang mau biayain semuanya.” Ia melirik ke arah gedung tinggi di hadapannya, wajahnya menantang. “Aku godain bos Papa, biar di angkat jadi sugar baby. Biarpun udah tua, ubanan, bau tanah, perut buncit, kumis tebal, aku nggak peduli! Asal dia mau biayain kuliah aku, bahkan kalau dia mau nikahin aku juga. Aku ga bakal nolak!” “Kalau begitu, ayo nikah sama saya.” Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi dari belakang punggung Savana. Bola mata Ameer membelalak. “P-pak, Pak Daryan?”Matahari pagi menyusup lembut dari celah jendela, menerangi wajah Hana yang duduk bersandar di atas tempat tidur. Aroma bubur ayam di atas nampan yang diletakkan di meja lipat memenuhi ruangan. Savana, yang sudah bangun sejak pagi buta, kini duduk di sisi tempat tidur. Rambutnya dicepol tinggi, mengenakan kaus santai dan cardigan tipis, pakaian yang kemarin dibawakan Daryan. Senyum gadis itu manis saat menyuapi ibunya perlahan. “Mama suka bubur yang ini kan? Aku pesen khusus dari kantin bawah,” ucap Savana pelan. Hana mengangguk kecil. “Iya, masih hangat ya. Terima kasih, Nak.” Savana menyuapkan satu sendok lagi, lalu duduk lebih dekat. “Ma, nanti siang dokter katanya bakal mulai terapi ringan. Mama udah siap, kan?” “Kalau ada kamu, mama pasti kuat,” jawab Hana dengan senyum lembut. Savana menatap ibunya beberapa detik, lalu menggenggam tangannya. “Aku janji jagain mama. Mulai sekarang.” Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Savana menoleh. “Masuk!” Pintu terbuka, m
Suasana di ruang tunggu eksekutif bandara terasa tenang. Daryan duduk bersandar di sofa kulit hitam, satu tangan meraih iPad berisi jadwal dan dokumen presentasi, sementara tangan satunya mengaduk kopi yang bahkan belum sempat disentuh. Di hadapannya, Revanza berdiri sambil melihat arloji di tangan kirinya. “Jet kita udah dalam persiapan akhir. Mungkin sepuluh menit lagi baru boarding.” Daryan hanya mengangguk kecil. Pandangannya kosong menatap jendela besar yang menghadap ke landasan pacu. “Kamu yakin mau ninggalin istri kamu dalam keadaan kayak gini?” Revanza bertanya hati-hati. "Soalnya, kamu khawatir banget sampe ga masuk kantor karena nemenin dia." Daryan menjawab acuh. “Mending kamu diam, aku lagi fokus baca dokumen.” Revanza belum sempat membalas ketika ponsel Daryan bergetar di atas meja. Nama Savana muncul di layar. Kedua pria itu langsung saling pandang. “Dia telepon kamu?” tanya Revanza cepat, nyaris tak percaya. Daryan langsung mengambil ponselnya dan berdiri. Ia me
“Mas kenapa sih tadi marah-marah sama Radja?” Tanya Savana datar, tanpa basa-basi setelah kepergian Radja. “Karena dia gak punya urusan di sini,” balas Daryan dingin, “Dia bukan siapa-siapa.” “Dan mas pikir mas berhak nentuin siapa yang boleh dateng ke kamar ini?” Tatapan Savana tajam. “Saya yang undang Radja ke sini. Saya yang minta dia anter gaji saya, jadi tolong jangan perlakukan dia seolah dia ngelakuin kejahatan.” Daryan tersenyum miring, “Lucu ya, kamu sampai segitunya belain dia.” “Yang saya bela bukan Radja, mas. Tapi diri saya sendiri. Saya cuma gak suka cara mas memperlakukan tamu saya seolah saya ini milik mas sepenuhnya, bisa dikontrol sesuka hati.” Nada suara Savana meninggi. “Kita berdua tahu pernikahan ini cuma kontrak. Jadi tolong jangan bersikap seolah kita ini pasangan yang saling memiliki.” Perkataan itu menghantam dada Daryan dengan keras. Ia terdiam beberapa detik. Rahangnya menegang dan matanya semakin memicing tajam ke Savana. “Kamu udah selesai?” Tan
Savana duduk bersandar di ranjang, nampan bekas sarapan masih tersisa di meja samping. Ia baru memakannya ketika sang ayah keluar dari kamarnya setelah berdebat dengannya. Matanya memandangi jendela dengan tatapan kosong. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya pucat tapi mulai sedikit segar setelah beberapa jam istirahat. Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang perawat muda masuk sambil membawa paper bag berwarna krem yang tampak berat di tangan. “Permisi, mbak Savana,” ucapnya sopan. Savana menoleh dan langsung duduk lebih tegak, “Iya? Ada apa?” Perawat itu mendekat dan menyodorkan paper bag tersebut. “Ada titipan buat mbak. Ini pakaian dan beberapa keperluan pribadi.” Alis Savana mengernyit. Ia buru-buru menerima paper bag itu dan memeriksa isinya. Matanya langsung menangkap baju tidur favoritnya, handuk kecil miliknya sendiri, dan juga sebotol sabun cair aroma lavender yang biasa ia pakai. “Dari siapa ini?” Tanyanya cepat, matanya tak lepas dari isi paper bag. Peraw
Mobil sedan hitam berhenti tepat di pelataran depan mansion. Seorang pelayan buru-buru menghampiri dan, membukakan pintu. Daryan melangkah keluar dengan wajah lelah namun tetap tenang. Meski begitu, sorot matanya yang tampak kurang tidur tidak mampu ia sembunyikan. Kemejanya yang dipakai dari kemarin sedikit kusut. Daryan merapihkannya sejenak sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam rumah. Langkah kakinya mantap menyusuri lorong utama menuju ruang tengah. Para pelayan yang melihatnya hanya menunduk dalam diam, tahu diri untuk tidak mengusik Daryan yang kelelahan. Sesampai di ruang tengah, Ajeng sudah duduk di sofa ruang tengah mengenakan gaun santai berwarna maroon dan kalung mutiara di leher. Di tangannya terdapat secangkir teh hangat dengan asap tipis yang masih mengepul. “Akhirnya anak mama pulang juga,” ucap Ajeng dingin tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk mengaduk teh. Daryan berhenti beberapa langkah dari sofa. Ajeng menegak sejenak teh di tangannya lalu mendengus
Hana duduk bersandar di ranjang. Wajahnya terlihat segar dibanding semalam, namun sorot matanya tetap tajam, dingin, dan penuh luka yang belum pulih ketika menatap Ameer di kamarnya. Ameer tersenyum canggung ke arah Hana. Ia mengangkat kantong plastik berisi makanan dan air botol mineral di depan istrinya. “Aku bawain sarapan, masih hangat,” ucap Ameer hangat walau tangannya sedikit gemetar. Hana tidak menyahut. Matanya kemudian beralih ke jendela. Ameer mendekat, meletakkan bawaan di meja kecil di samping tempat tidur. Lalu ia berdiri di sana, menggenggam kedua tangannya gugup. “Han … maaf.” ucapnya lirih. Tak ada respons dari Hana. “Aku ga pernah berniat nyakitin kamu. Aku cuma … aku pikir, kalau kamu tahu Savana nikah kontrak, kamu bakal tambah kepikiran dan bisa ganggu kesehatan kamu karena itu aku nggak bilang apa-apa.” Ia menatap Hana dengan sorot mata yang semakin sedih, “Aku cuma pengen kamu cepat sembuh.” Akhirnya, Hana menoleh. Tatapannya tajam, penuh luka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments