"Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k
"Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan
"Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,
"Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah
"Rin, hari ini kamu gajian, 'kan? Jangan lupa kasihkan semuanya ke aku, buat ditabung, Buat jaga-jaga saja kalau ada perlu mendadak. Kita harus hemat mulai sekarang. Sini biar aku bawa uangnya!" ujar Mas Haris panjang lebar.Sontak aku menghentikan langkah kaki. Aku kaget dibuatnya. Apa aku tidak salah dengar? Semuanya, dia bilang? Ini uangku, hasil keringatku, kenapa harus dia yang mengatur?Memang, biasanya seperti itu. Gajiku dari hasil mengajar akan dipegang Mas Haris setengahnya, untuk ditabung. Bukan semuanya. Aku keberatan, sangat keberatan.Ya, aku memang dipaksa Mas Haris menabung buat masa depan, tapi masa depan yang bagaimana? Selama ini, kehidupan kami tetap sama. Begini-begini saja, bahkan, motorkupun tetap yang dulu bapak belikan sebagai hadiah wisuda. Lantas masa depan yang bagaimana, yang dia maksud?Hari ini aku baru saja menerima gaji. Mas Haris bahkan selalu hafal tanggal berapa aku gajian. Aku sudah hafal nasihatnya tiap selesai gajian, harus menabung. Seakan, menab
"Rin, di mana kamu?" Suara Ibu mertua memanggil.Kulepas mukena merah marun yang dibelikan Mas Haris. Ini adalah satu-satunya hadiah yang dia berikan selama tiga tahun pernikahan kami. Kubuka pintu kamar, kulihat ibu mertua dan Suci, adik satu-satunya Mas Haris tengah duduk di ruang tamu dengan pongah. "Iya, Bu." Kucium tangan Ibu mertua. Biar bagaimanapun, aku harus menghormatinya sebagai mertua. "Kamu enggak ikhlas, Haris memberiku uang?" tanya ibu tanpa basa-basi. Aku menghela nafas. Benar, 'kan, dugaanku, kalau Mas Haris mengadu lagi kepada ibunya. Begitulah Mas Haris, tiap ada masalah rumah tangga, selalu mengadu. Tak bisakah dia menyelesaikan sendiri?"Kamu, nih Mbak, jangan pelit jadi orang, nanti rejekimu seret, lho." Suci menasihatiku. Ipar yang satu ini, memang enggak ada akhlak Enggak ada sopan-sopannya sama yang lebih tua."Maksudnya apa, ya, Buk?" Aku berpura-pura tak mengerti."Enggak usah sok polos deh, Mbak!" Tuh kan, mulutnya, pengen tak hiiih. "Tadi Haris ke r
Mas Haris muncul di balik pintu. Jadi, dia mendobrak pintu rumahnya sendiri. Miskin akhlak memang."Dek, ngomong apa kamu sama ibu?" Baru saja sepiring nasi goreng gila ekstra pedas kuhabiskan, Mas Haris datang dengan wajah geramnya. Bahkan, piring bekasnya pun belum aku cuci. Niat hati mau nambah lagi, kuurungkan. Mendadak nafsu makan ini lenyap. Padahal, aku berencana menghabiskannya. Sayang 'kan, kalau sampai terbuang sia-sia."Jangan marah-marah, Mas," ucapku sambil berlalu meletakan piring kotor ke wastafel."Kamu ngomong apa tadi, sama ibu?" Dia semakin geram. Aku mencuci tangan lalu mengelapnya. "Rin...." Mas Haris geram karena aku tak kunjung menjawab. Toh, aku jawab juga pasti disalahkan, lebih baik diam saja."Kamu dengar aku enggak, sih?" bentaknya lebih keras lagi."Kamu bentak aku, Mas?" Aku tersenyum miring. Lelaki bergelar suamiku kini mulai bisa membentakku. Aku mencoba menguatkan hati, meski ada yang tersayat sembilu."Dek, tadi kamu ngomong apa sama ibu dan Suci.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku terus mengomel dalam hati. Tidak habis pikir dengan sikap Mas Haris. Bisa-bisanya dia meminta uang bensin padaku. Aku saja, tidak pernah meminta uang bensin padanya. Sudah putus memang, urat malunya.Padahal, uang yang diberikannya, hanya satu juta setiap awal bulan. Itu artinya, uang belanjaku hanya tiga puluh ribu saja dan sisanya dia yang pegang. Kalau ditanya cukup atau tidak, jelas tidak cukup. Itu hanya urusan dapur, belum bensin, listrik dan lain-lain.Selama ini, kebanyakan orang, tahunya kami hidup harmonis, Mas Haris bekerja, akupun juga bekerja. Orang berpikir, hidup kami berkecukupan dari segi materi. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi, karena aku tak pernah bercerita masalah rumah tangga pada siapapun, termasuk Ibuku. Biarlah orang lain tahunya, aku selalu bahagia. Bukankah, prasangka baik itu sebuah do'a.Tak terasa, aku sudah tiba di sekolah, tempatku mengais rejeki. Kuparkirkan motor di tempat khusus guru. Lalu berjalan