Share

Pinjam Uang

"Apa, maaf?" ulangku sambil memicingkan mata.

"Maaf, aku tadi khilaf!" ucapnya memohon.

Namun, hatiku masih beku. Entah dia serius atau tidak. Sulit bagiku memaafkannya secepat ini.

"Entahlah, Mas, aku sudah bosan begini terus," lirihku.

"Aku tadi lapar, jadi lepas kendali," ucapnya polos.

'Rasain, Mas. Salah sendiri, uang belanja kok dikasih mertua, sekarang rasakan saja.Sampai kapanpun, aku gak akan mau mengemis ke Ibumu,' ucapku tentu saja dalam hati.

"Ayo kita cari makan di luar, Rin!" Mas Haris meraih tanganku. Aku menurut saja, karena jarang-jarang dia mengajakku makan di luar.

Mas Haris mengeluarkan motorku, aku lalu mengunci rumah. Meskipun hatiku masih jengkel, tak kusia-siakan kesempatan ini. Momen makan di luar, sangat langka bagi Mas Haris. Dia sama dengan Ibunya, perhitungan masalah uang. Sebulan sekali saja, belum tentu.

"Kita makan bakso saja, ya!" Kami berhenti tepat di depan warung bakso.

Tanpa menjawabnya, aku langsung turun dari motor lalu mencari tempat duduk yang nyaman. Kupilih yang lesehan, agar lebih santai. Tak lama, Mas Haris menghampiriku.

"Sudah pesan?"

"Mas aja yang pesan, aku bakso jumbo, ya!"

"Jumbo, Rin? Nanti gak habis, lho!" Dia mewanti-wanti. Raut wajahnya terlihat khawatir.

"Habis, Mas. Aku lapar banget." Aku berkata agak keras. Biar semua orang dengar, dengan begitu, dia akan membelikanku porsi jumbo.

Mau tak mau, dia memesan porsi jumbo untukku. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan wajah manyunnya.

"Kenapa?"

"Lain kali kalau pesan yang porsi biasa saja, yang jumbo itu mahal!" bisiknya.

"Ha ... ha ...." Aku tertawa puas dalam hati.

Rasakan Mas, aku juga bisa membuatmu jengkel. Lagian, sama istri sendiri kok pelit.

"Nyesel aku," gerutunya.

"Kan jarang-jarang juga, Mas." Aku juga ikut berbisik di telinganya.

"Ya tapi enggak usah yang jumbo juga, porsi biasa juga bisa bikin kenyang." Mas Haris masih menggerutu. Terlihat sekali, kalau dia tidak ikhlas.

"Iya." Aku malas berdebat dan mengalah saja.

"Silakan!" Pramusaji meletakan seporsi bakso jumbo dan bakso biasa.

Tak lupa kutuang beberapa sendok sambal sebagai pelengkap. Tak lengkap rasanya, makan bakso kalau tidak pedas. Apalagi, suasana hatiku sedang kacau, semakin bersemangat kalau melihat sambal.

"Kok minumnya belum diantar, Mas?" Aku menunggu minuman, siapa tahu lupa.

"Udah, minum air putih saja, gratis!" ucapnya setengah berbisik, membuatku menepuk jidat. Bisa-bisanya, dia sepelit ini sama istri sendiri.

"Engak mau, ah. Aku mau pesan es jeruk," ucapku seraya meninggalkannya. Aku tak peduli, kalau dia akan marah nanti, yang penting, kukerjai saja dulu Mas Haris.

"Jangan pesan banyak-banyak, nanti uangnya enggak cukup!" Tak kuhiraukan dia.

Beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Bahkan ada yang berbisik, mengatakan suaminya pelit.

Kulanjutkan makan bakso yang masih mengepulkan asap. Tak menggubris omongan orang. Mas Haris sepertinya sudah tidak begitu berselera. Buktinya, dia hanya memandangiku yang tengah lahap memakan olahan daging sapi ini. Lebih tepatnya, aku balas dendam atas sikapnya tadi.

"Enggak dimakan, Mas, kalau enggak mau, sini, buat aku aja!" Kurebut mangkok baksonya.

"Di makan, lah." Dia agak sewot.

"Buruan, keburu dingin, enggak enak!"

Kami makan dalam hening. Aku juga malas memulai percakapan dengannya. Dengan cepat, kutandaskan bakso jumboku hingga suapan terakhir.

"Rin, minta minumnya!" Muka Mas Haris memerah, mungkin kepedesan.

"Nih Mas!"

"Bukan air putih, es jeruk!" ucapnya seraya menahan pedas.

"Air putih aja, Mas. Kan gratis." Sengaja kusodorkan segelas air putih, lalu es jeruk sengaja kutenggak habis.

Wajahnya menjadi merah padam, antara marah dan kepedesan. Namun, aku pura-pura tak menghiraukannya.

Mas Haris menuju kasir tanpa berpamitan denganku, main pergi saja. Aku keluar melewati kasir.

"Rin, tunggu!"

"Kenapa?"

"Pinjam uangmu dulu, Mas lupa enggak bawa dompet."

"Astaga ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status