Pov Rini"Gila, kamu sungguh sudah tidak waras. Setelah apa yang kamu perbuat padaku, sekarang dengan entengnya kamu minta kita rujuk. Sampai kapanpun, aku tidak sudi kembali padamu." "Suatu saat, kamu akan menyesal, Rin, telah meninggalkanku," pede sekali dia. "Kamu yang akan menyesal. Jangan pernah ganggu Rini, atau, kamu akan berurusan denganku!" Ibas sudah berdiri di belakangku. "Wow, jangan-jangan, kamu suka Rini, ya? Janda gatel aja, kok dibela," ujar Haris menjengkelkan.Aku menjadi janda kan, gara-gara dia juga. Mungkin otaknya sudah geser, tak bisa berfikir lagi apa yang dia ucapkan."Kalau iya, kenapa?" DegApa yang dikatakan Ibas? Apa hanya sekedar membelaku dari Haris, atau ada maksud lain?Hatiku sungguh berbunga-bunga. Selama menikah dengan Haris, tak sekalipun, dia membelaku. Sekarang, diperlakukan begini oleh Ibas, hatiku sungguh bahagia."Woi, sadar Rin. Gak pantas kamu bersanding dengan Ibas. Dia itu tampan, kaya, lah kamu, miskin, janda lagi," rutukku dalam hati
"Aku ke dalam dulu, Ibuk manggil," pamitku, tanpa menunggu persetujuannya.Ibas menghela nafas kecewa. Aku mau tersenyum geli, namun tak tega. Akhirnya, kusimpan senyumku dalam hati. Pasti dia kecewa. Aku sudah hafal perangainya, dia tidak akan mau menunggu. Dia paling tidak sabaran. Pasti, sebentar lagi, dia akan mendesakku lagi."Ada apa, Buk?" tanyaku lembut."Ibuk capek duduk, tolong bantu Ibuk ke kamar, ya!" Ibuk hendak berdiri dari kursi. Aku sampai lupa, kalau Ibuk masih di ruang tamu. Ah, semuanya jadi kacau. Bagaimana, kalau beliau sudah mendengar semuanya? "Bas, kamu sudah mau pulang?" teriak Ibuk, sambil bangun dari duduknya."Belum Buk, masih kangen sama Rini," ucapnya tanpa malu.SerrrHatiku berdesir, pipiku terasa menghangat. Pasti, wajahku sudah seperti udang rebus.Dulu dia juga sering bicara begitu, namun hatiku biasa saja. Sekarang, dia bicara begitu, hatiku begitu berbunga-bunga."Gak baik, kalau belum sah," sahut Ibuk."Apaan sih, Buk?" Aku menunduk malu sambil
Tak disangka, Ibas pergi meninggalkanku begitu saja. Begitu marahkah dia, padaku? Harusnya, dia bisa mengerti perasaanku. Bukan hanya menilai, dari apa yang dilihatnya saja. Toh, aku juga tidak diam saja. Aku sudah berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. "Bas, mau ke mana?" kejarku.Dia tak menjawab, langsung menuju kamar Ibuk, lalu mengetuknya pelan.Tok tok"Buk, ini Ibas!" "Ibuk istirahat, Bas, jangan diganggu!" Ucapku dengan nada khawatir. Entah khawatir karena apa, aku juga bingung.Tanpa menunggu jawaban Ibuk, dia langsung mendorong pintu, seolah ini kamarnya sendiri. Aku mengekor di belakangnya, takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Benar saja, Ibuk terpejam. Tapi tidak, tangannya memegang tasbih. Mulutnya melantunkan asma Allah. "Buk, Ibas pamit. Ibuk sehat-sehat, ya!" pamitnya. Ibuk langsung membuka mata, seraya menatap heran kepada kami."Kenapa buru-buru?"Ibas hanya diam, seraya memandangku jengkel. Aku semakin kikuk dibuatnya."Jangan bilang, kalian s
Ternyata Ibas. Dia sudah berdiri di ambang pintu, dengan rambut sedikit basah. Aroma parfum maskulin, menguar dari tubuhnya. Sepertinya sudah mandi, terlihat dari pakaiannya, juga sudah ganti. Kalau dipikir, ini belum ada satu jam, dan dia sudah kemari lagi. Memang ,rumahku dengan Ibas, berjarak hanya beberapa langkah saja. Jadi tak heran memang, dia secepat kilat sampai sini lagi."Sekarang sudah lepas Maghrib, jadi aku bebas kemari," ucapnya dibarengi senyum termanisnya."Duh, lama-lama bisa diabetes aku," gumamku."Kenapa, Rin?" "Gak, mau ngapain lagi, kamu?" tanyaku gugup."Mau ngajak kamu, sama Ibuk, makan malam di luar."Tanpa permisi, dia menyelonong masuk. Aku yang berdiri di ambang pintu, dianggapnya tidak ada."Gak sopan," sungutku, sambil mengimbangi langkahnya."Sejak kapan aku harus sopan sama kamu?" ejeknya, tak mau kalah. "Dasar, kepala batu!" "Dasar, cerewet!" "Ibaaaas..." geramku.Hendak kucubit perutnya, ,namun dia bisa dengan gesit menghindar. "Beginilah, kal
"Rini ...!" Haris sangat terkejut, begitu melihatku, bagai melihat setan di siang bolong. Ibuk dan Ibas tak kalah terkejutnya, melihat sepasang manusia ini. Tanpa malu, tangan si wanita, bergelayut manja di lengan Haris. "Haris," ucap Ibuk tak percaya, pada mantan menantunya, yang sudah menggandeng wanita lain. Haris terlihat sangat gelisah, melihat kami bertiga."Siapa dia, Mas?" tanya si wanita dengan nada dibuat-buat. Gaya manjanya, semakin membuatku muak.Ibas menatapku intens. Seperti sedang mencari kebenaran. Mungkin dia kira, aku cemburu dengan Haris. Salah. Dia salah besar. Hatiku sudah mati rasa dibuatnya. Bukan cemburu yang kurasa, namun, kecewa, ternyata Haris bersikap sangat rendah. Baru saja dia menduda, dengan gampangnya melabuhkan hatinya ke wanita lain. "Rin, aku bisa jelaskan," Haris setengah memaksa. Tangannya hendak memegang tanganku, dengan sigap, segera kutepis. "Aku tak butuh penjelasan. Yang kubutuhkan sekarang, hanya uangku. Jangan lupa kembalikan uangku."
Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke
"Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak
"Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.