Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai

Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-15
Oleh:  PhoenixclaaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
13Bab
439Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Pernikahan Aira runtuh bukan karena perselingkuhan biasa tapi karena suaminya diam-diam menikah dengan sahabat lama Aira. Alih-alih mengusir perempuan itu, Aira mengambil keputusan paling tak terduga: ia justru memelihara sang gundik di rumahnya sendiri.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Tragedi Menyakitkan

Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.

Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.

Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.

Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.

Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.

Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.

Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja.

Ia menghela napas, menyentuh lembut kelopak mawar yang baru ia susun. Di balik senyumnya yang hangat, Aira adalah perempuan yang selalu belajar menerima.

Bukan karena ia tak punya pilihan, tapi karena ia percaya, cinta butuh pengorbanan. Dan Aira sudah mengorbankan banyak hal untuk pernikahan ini, mimpinya, pekerjaannya, dan sebagian dirinya sendiri.

Suara deru mobil di depan rumah membuatnya menoleh. Ia tersenyum tipis lalu berjalan ke arah pintu.

“Revan pulang,” gumamnya.

Namun senyumnya hilang begitu pintu terbuka.

Bukan hanya Revan yang berdiri di sana. Tapi juga seorang wanita tinggi semampai, rambut panjang bergelombang, dan mata yang dulu sangat Aira kenal.

Tania.

Sahabat lamanya. Sahabat yang menghilang lima tahun lalu tanpa kabar. Sahabat yang dulu ia anggap lebih dari saudara.

“Ta–nia?” suara Aira tercekat.

Tania tersenyum. “Hai, Aira. Lama nggak ketemu ya.”

Aira menoleh pada Revan, menunggu penjelasan. Tapi lelaki itu hanya menunduk, terlihat gelisah. Ada sesuatu yang salah. Nalurinya berteriak. Tapi otaknya menolak menyimpulkan apa pun.

“Aku… kita perlu bicara,” ucap Revan akhirnya.

“Ayo masuk dulu,” Aira berusaha tetap tenang, meski jantungnya berdebar hebat.

Ketiganya duduk di ruang tamu. Tania duduk di sisi Revan, terlalu dekat untuk ukuran seorang tamu. Aira duduk di seberang mereka, merasa asing di rumahnya sendiri.

“Aku minta maaf karena nggak bilang dari awal,” Revan memulai. “Tapi aku harus jujur sekarang. Tania… dia sekarang istriku.”

Sunyi. Detik terasa seperti jam.

Aira mengerjap, seolah telinganya salah dengar.

“Istrimu?” ulangnya lirih.

Revan mengangguk. “Aku menikahinya dua bulan lalu.”

Kata-kata itu menghantam Aira seperti palu godam. Ia menatap Tania yang hanya tersenyum tipis tanpa rasa bersalah. Dunia Aira runtuh dalam sekejap.

“Aku... sahabatmu, Tan,” bisik Aira. “Kenapa?”

Tania tak menjawab. Revan yang kembali bersuara.

“Awalnya aku nggak pernah berniat, tapi semuanya terjadi begitu saja. Aku butuh seseorang yang mengisi rasa bosanku padamu, dan Tania datang waktu itu... dan semuanya mengalir.”

Aira menatap suaminya tak percaya. “Mengalir? Seperti itu saja kamu menikahi sahabatku?”

“Ini nggak adil buatku juga, Ra. Aku tetap sayang kamu. Aku masih suamimu. Tapi sekarang… aku juga punya tanggung jawab sama Tania.”

Tawa kecil meluncur dari mulut Aira. Bukan tawa bahagia tapi tawa getir, kejam, dan hampa.

“Sayang? Kamu menyebut ini sayang?”

Ia berdiri, matanya berair tapi tak ada air mata yang jatuh. Luka itu terlalu dalam untuk ditangisi. Terlalu membingungkan untuk dimengerti.

“Aku akan masuk ke kamar. Kalau kalian masih ingin tinggal di sini malam ini, silakan. Aku terlalu lelah untuk marah.”

Dengan langkah pelan tapi tegas, Aira meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar. Di balik pintu, ia bersandar, menahan tubuhnya yang gemetar.

Tangannya menutupi mulut, menahan isak yang akhirnya pecah juga. Tapi air mata itu tak hanya karena dikhianati oleh suaminya lebih dari itu, ia merasa kehilangan dirinya sendiri.

Dikhianati oleh sahabat, oleh orang yang ia percayai, adalah luka yang tak punya nama. Tak bisa digambarkan. Tak bisa disembuhkan dengan kata maaf.

Malam itu, Aira tidur dalam keheningan. Anak-anaknya sudah menginap di rumah ibu Aira.

Rumah yang biasanya hangat itu kini terasa asing. Sunyi. Dingin. Dan ia tahu, setelah hari ini, tidak ada yang akan sama lagi.

Matahari pagi menyelinap malu-malu di balik tirai kamar. Aira terbangun bukan karena tidur yang nyenyak, tapi karena rasa perih yang masih mengendap di dadanya.

Bekas tangis semalam masih terasa di kelopak mata. Ia menatap langit-langit kamar, kosong. Hampa.

Perlahan ia bangkit. Di luar kamar, suara-suara samar terdengar dari dapur. Aira tahu betul suara itu suara tawa kecil dari ibu Revan.

Mertua yang dulu begitu ia hormati. Yang dulu memanggilnya “nak” dengan hangat.

Dengan langkah ringan, ia mendekati dapur. Dan di sana, ia melihat pemandangan yang membuat hatinya mencelos.

Tania masih dengan wajah tenang dan senyum tipisnya tengah mengobrol akrab dengan Ibu Revan, sambil menyiapkan sarapan.

“Aku bikin kesukaan Revan, Bu. Telur dadar gulung dan sup ayam jahe. Dia pasti senang,” ucap Tania riang.

Ibu Revan mengangguk. “Bagus, Tan. Revan memang butuh perempuan yang bisa ngurus dia dengan baik. Maafkan Aira ya… dia terlalu fokus sama anak-anak dan rumah. Kadang lupa kalau suaminya juga butuh diperhatikan.”

Aira berdiri membeku di ambang pintu. Tenggorokannya tercekat. Napasnya sesak.

Jadi ini sudah direncanakan? Sudah disetujui? Mereka semua tahu?

Tak sengaja, ia menyentuh sisi meja, menimbulkan bunyi kecil. Dua pasang mata itu langsung menoleh ke arahnya.

“Oh… Aira,” Ibu Revan berkata, cepat mengganti ekspresi. “Kamu sudah bangun, Nak?”

Aira hanya diam. Menatap bergantian antara wanita yang dulu ia panggil sahabat dan wanita yang dulu ia panggil ibu.

“Kamu pasti kaget, ya,” Tania membuka suara, dengan nada yang terdengar seperti simpati tapi terasa seperti racun.

“Tapi aku dan Revan… kami memang sudah saling merasa cocok. Dan Ibu tahu soal ini sejak awal. Kami cuma belum tahu cara ngomongnya ke kamu.”

“Cara ngomongnya?” Aira tertawa pelan, getir. “Kalian semua sepakat diam dan pura-pura demi apa? Menjaga perasaan aku?”

Ibu Revan menghela napas. “Aira… kamu perempuan baik. Tapi kadang dalam rumah tangga, cinta saja nggak cukup. Revan butuh ketenangan, dan kamu terlalu keras pada diri sendiri. Kami cuma ingin yang terbaik buat dia.”

“Kalian?” Aira menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.

“Kalian ingin yang terbaik untuk Revan? Tapi bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan anak-anak? Kami ini apa?”

Tania membuka mulut, tapi Aira mengangkat tangan, menghentikannya.

“Jangan,” ucapnya lirih. “Jangan beri aku penjelasan seolah semua ini logis dan bisa diterima. Karena tidak.”

Air mata menetes perlahan, akhirnya jatuh juga setelah semalam tertahan. Tapi kini bukan hanya karena patah hati tapi karena dikhianati oleh orang-orang yang selama ini ia jaga, ia sayangi, ia percaya.

Aira melangkah mundur, meninggalkan dapur, meninggalkan kebohongan yang mendidih di balik wajah-wajah penuh kepura-puraan.

Ia menuju kamar, meraih ponselnya, dan menekan nomor satu nama yang paling ia hindari selama bertahun-tahun Fikar, kakak kandungnya. Satu-satunya yang pernah memperingatkannya tentang Revan sejak awal.

Suara di seberang terdengar kaget.

“Aira? Kamu… akhirnya nelepon juga.”

Butuh waktu beberapa detik sebelum Aira bisa bersuara.

“Aku butuh bantuanmu, Kak.”

Hening. Lalu suara lembut itu menjawab, penuh ketegasan.

“Aku akan jemput kamu sekarang.”

Aira menatap ke luar jendela. Langit tak lagi murung, tapi hatinya masih berawan.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
13 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status