===
“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”
Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.
Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?
“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.
“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”
Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.
“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.
Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.
Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.
Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara.
Di lantai tiga, pintu lif terbuka lagi satu orang turun, suami Ara belum juga turun. Aku bertahan.
Di lantai empat, baru mereka keluar, gegas aku juga keluar. Mereka berbelok ke kanan, kupilih berbelok ke kiri. Berjalan perlahan, memasang ekor mata unutk memindai gerakan mereka.
Ketiganya berhenti di depan sebuah kamar. Itukah kamar yang ditempati oleh Mas Haga dan Ara? Darimana suami Ara tahu, kalau bukan dia sendiri yang membokingnya.
Pura-pura aku berhenti di depan sebuah kamar, sok sibuk membongkar-bongkar isi tas sandangku, seolah-olah ada yang tengah aku cari. Padahal aku sengaja menunggu mereka beraksi.
Kuhitung dalam hati, satu … dua … tiga … empat … li –
Suami Ara mulai menggedor kasar pintu kamar itu, sambil berteriak. Aku ikut panik.
“Ara! Keluar kau! Ara! Buka pintunya!”
Pintu terbuka, kepala Ara menyembul. Suaminya langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Aku ikut berlari menuju kamar itu, tapi tidak menerobos masuk. Aku bertahan di balik pintu yang masih setengah terbuka, sambil mencari tahu kejadian di dalam sana.
Mas Haga kini menjadi bulan-bulanan suami Ara. Tak masalah dia kalah tinggi dan kalah tegap. Tinggi badannya hanya seketiak Mas Haga. Tetapi, Mas Haga tak berdaya di buatnya. Dua orang berwajah sangar itu memegangi ke dua lengannya.
Pukulan dan terjangan mendarat di tubuh lelaki itu. Suamiku. Ya, dia masih berstatus suamiku, meski kami telah pisah ranjang. Kata talak juga hampir saja diucapkannya kemarin saat kekasihnya Ara memaksa.
Meski benci ini membakar, namun, melihat dia disiksa secara membabi buta begitu, hatiku rasa terenyuh juga. Bayangan wajah kedua mertuaku berkelebat di benak. Bukankah aku ke sini juga karena mereka? Ya, demi kedua mertuaku. Orang yang telah memilihku menjadi menantunya, meski aku bukan istri pilihan bagi anaknya.
“Sebutkan, sudah berapa kali kau tiduri istriku!” tanya suami Ara sambil melayangkan tinjunya di pelipis Mas Haga.
Mas Haga hanya mengerang minta ampun. Darah segar sudah menetes dari hidungnya. Kekasihnya hanya bisa pasrah, diam sambil sesegukan di pojok kamar.
“Cepat kau jawab! Ini, aku sudah bersiap merekamnya! Untuk bukti perselingkuhanmu dengan istriku. Akan kusebar di media sosia, koran local maupun nasional. Agar semua orang tahu, kalau putra pengusaha tambang terbesar di kota ini, adalah seorang bajingan. Tukang selingkuh dengan istri orang! Lumayan, bisa kugunakan untuk meras orang tuamu, iya, kan? Hehehehehe … dasar otak mesum! Orang kaya, tapi mikirnya hanya selangkangan!”
“Mas! Udah, dong! Lepasin Mas Haga, Mas!” Jerit Ara, saat tinju suaminya kembali mendarat di pelipis kanan Mas Haga.
“Kau diam! Perempuan murahan!” Suaminya membentak.
“Aku mencintai Mas Haga, Mas. Sebaliknya dia juga mencintaiku. Tidak seperti kau. Kau hanya sibuk dengan istri sahmu. Aku tak pernah kau pedulikan! Aku mau lepas darimu, Mas! Aku gak mau lagi jadi istri simpananmu!”
“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah melepasmu! Meski hanya nikah siri, kau sah sebagai istriku! Kau coba-coba berkhianat lagi, habis kau!”
“Kau egois, Mas!”
“Diam! Diam di situ!”
Ara mengkerut. Kini kutahu, ternyata dia hanyalah istri simpanan lelaki itu. Pantas dia punya banyak kesempatan berselingkuh dengan Mas Haga. Rupanya dia perempuan jablay yang haus kasih sayang. Mas Haga adalah pelampiasan.
“Cepat anak muda, kau jawab! Cepat kau akui bahwa kau selingkuh dengan istriku!” Kembali suami Ara membentak.
Mas Haga hanya menunduk kini, Dari mulutnya sudah mulai keluar darah.
“Kau masih diam? Bagaimana kalau anak buahku ini yang membuka mulutmu, ha!”
Mas Haga bergeming.
“Ok, hajar! Buat hingga mulutnya terbuka dan berkata seperti yang kita inginkan. Tapi, ingat, jangan sampai mati. Tambang duit kita ini!” Suami Ara memerintahkan anak buahnya sambil terkekeh kecil.
“Siap, Bos!” Keduanya mulai beraksi. Aku tak tahan saat Mas Haga disiksa sedemikian rupa. Sama seperti dia, Mas Haga sepertinya mulai menyerah.
“Ok, a … ku, aku akan ja …wab!” ucapnya di antara ringis kesakitannya.
“Bagus, akhirnya kau menyerah juga, hehehehe …. “ Suami Ara terkekeh panjang.
“Ayo, sekarang buat pengakuan kamu! Ini udah mulai kurekam , cepat!” Suami Ara mendekatkan ponselnya ke mulut Mas Haga.
“Aku … aku mengakui, bahwa aku … aku –“
“Mas Haga! Kamu kenapa di sini!” Aku berteriak, pura-pura tak tahu kejadian yang sebenarnya.
Semua yang ada di kamar itu terperangah.
“Aku nunggu kamu dari tadi, lho Mas. Kamu salah kamar! Kamar yang kupesan itu di sebalah, bukan yang ini! Ayo, Mas!” kugandneg tangannya.
“Tunggu!” Suami Ara membentakku.
“Astaga! Kamu, kok, luka lebam begini? Kamu juga berdarah? Apa yang terjadi, Mas? Mereka menyakitimu? Bentar aku panggil security dan telpon polisi!” Pura-pura aku histeris sambil merogoh ponsel di dalan tas sandangku.
“Tunggu!” Suara itu menggelegar. Aku menoleh.
“Dia suamimu?” tanyanya dengan nada penuh ancaman.
“Ya, kami baru menikah, kami sengaja booking kamar di hotel ini, karena di rumah gak bebas, rame, ada mertua, jadi gak leluasa. Emangnya kenapa?” tantangku tak mau kalah.
“Kamu tahu siapa perempuan itu?” Dia menunjuk Ara yang masih mengkerut di sudut kamar.
“Tahu, dia Ara, teman karib suami saya.”
“Teman karib, hahahaha!”
“Kenapa Anda tertawa?”
“Dia istriku! Mereka berselingkuh di belakangku, juga di belakangmu!”
“Nah, itu juga yang dituduhkan oleh ibu mertuaku, saat Anda menemukan dia menangis di depan rumah saya beberapa hari yang lalu. Anda dan ibu mertua saya sama, ya! Sama-sama nuduh tanpa bukti! Cari dulu buktinya, baru Anda boleh nuduh, ok! Ayo, Mas kita pergi. Gak usah jadi di hotel ini, ribet!”
Kutarik lenagn Mas Haga. Lelaki itu bagai kerbau di cucuk hidung, menuruti langkah kakiku.
“Ok, kau selamat kali ini, berengsek! Tapi, ingat, aku tidak akan diam!” Suami Ara berteriak. Aku mempercepat langkah. Khawatir dia dan anak buahnya mengejar.
*
“Langsung pulang, kita bicara di rumah!” perintahku begitu, Mas Haga masuk ke dalam mobilnya.
“Kamu enggak ikut masuk, kah?” tanyanya bingung.
“Tidak! Bukankah kau jijik bila aku duduk di mobilmu? Sama, aku juga jijik duduk dekat dekat dengan pezina paling hina seperti dirimu, camkan itu!” ketusku langsung berlalu.
“Indri!” panggilnya dengan nada yang tak kupaham.
Aku menghentikan langkah, menoleh lalu tersneyum miring.
“Kau panggil namaku? Kau sudah ingat rupanya siapa namaku,” cibirku.
“Masuklah! Kita pulang bareng saja!” pintanya lemah.
“Maaf, saya jijik pada Anda!”
Gegas aku berjalan ke depan hotel, di mana mobil taksi yang kupesan tadi masih menunggu. Dan setelah mobil Mas Haga berlalu, kuminta Pak Sopir mengikuti lagi dari belakang.
Jalanan terasa sangat padat. Mobil ini terasa merayap. Kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencoba menghubungi Kak Jo, pemilik Butik tempatku bekerja dulu.
Beberapa kali kutelpon, namun tak diangkat. Mungkin dia sibuk, kuakhiri saja, tak ingin mengganggu, begitu pikirku.
Namun, selanjutnya dialah menghubungiku. Segera kugeser tombol hijau di layar ponsel.
“Ya, Kak Jo, maaf, aku ganggu, ya?” sapaku merasa tak enak.
“Tidak, kamu gak ganggu, kok, In. Maaf, tadi aku agak riweh di sini,” jawabnya melegakanku.
“Begitu.”
“Iya, gimana kabar pengantin baru? Udah belah duren belum, nih?”
“Ah, Kak Jo, gitu, deh.”
“Lho, kenapa, kan aku nanya, gak salah, kan?”
“Malu, dong, Kak.”
“Ya, udah, kalau malu. Ada apa, tadi, In, nelpon Kakak?”
“Ini, Kak, anu.” Aku terbata. Bingung mengucap kalimat yang paling tepat, kalau aku hendak mengundurkan diri dari butiknya.
“Oh, kalau kamu mau lanjut kerja lagi, aku minta maaf, ya, In.” Nada suara Kak Jo berubah sedih.
“Kenapa, Kak?” aku ikut sedih, meski belum paham apa yang terjadi.
“Begini, In. Butik ini d jual pemiliknya. Kita gak bisa kerja di sini lagi.”
“Lho lho! Bukannya Kak Jo pemilik butik itu?”
“Sebenarnya bukan, In. Kakak hanya dipercayakan mengelolanya. Kakak bertindak seolah-olah Kakaklah pemilik untuk menjaga saja. Agar pegawai gak berani macam-macam meski pemilik yang sebenarnya jarang terjun.”
“Oh, begitu.”
“Iya, In. Sekarang kita semua terancam kehilangan pekerjaan, nih. Kamu sih, enak, gak usah kerja juga gak apa-apa. Tetapi, kami berbeda, In. Kami tulang punggung keluarga. Kalau gak kerja, asap di dapur gak ngepul.”
“Kapan mulai butiknya dijual, Kak? Sepetinya baru seminggu aku gak masuk kerja.”
“Baru beberapa jam lalu, In. ditelpon sama yang pemilik, suruh tutup butik, dan kami diminta pulang.”
“Astaga! Tiba-tiba begitu?”
“Iya, karena yang beli ini orang hebat. Orang nomor satu di kota ini setelah Bapak Gubernur. Tapi kalau mengenai hartanya, mungkin dia nomor satu terkaya di provinsi kita ini, In.”
“Wakil gubernur?’
“Bukan. Pengusaha. Kalau gak salah Pengusaha tambang pasir terbesar di daerah ini.”
“Apa?” Aku tercekat.
Secepat inikah Papa pertuaku bergerak. Baru beberapa jam yang lalu aku bilang bosan di rumah dan ingin bekerja lagi. Mereka langsung menawariku mengelola butik sendiri demi menjaga nama baik keluarga mereka. Malu kalau menantunya bekerja di butik orang lain. Tak menunggu sejam, dia langsung mengambil alih kepemilikan butik tempat aku bekerja selama ini.
Orang kaya, memang selalu bisa melakukan apa saja. Aku tergidik ngeri. Ya, begitu mudahnya mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Tak peduli untung ruginya bagi kehidupan orang lain. Ada sepuluh orang yang bekerja dan menggantungkan hidup keluarganya di butik itu. Bagaimana nasip mereka jika butik itu dia ambil alih. Sedikitpun mereka tak pikirkan itu. Dan kini aku terlibat di dalamnya.
“Kenapa, In? Kamu kaget?”
“Ti-tidak,” jawabku tergagap.
“Ya, sudah, ya, In. Kami harus menutup butik, dan aku di suruh mengantarkan kunci butik ini berikut seluruh file laporan kepada pemilik baru itu. Aku buru-buru, In, sorry, ya!”
“Gak usah, Kak!” potongku cepat.
“Gak usah? Apa maksud kamu?” tanya Kak Jo, terdengar nada kebingung dari suaranya. Tentu saja dia bingung. Kak Jo sama sekali tak tahu kalau pembeli Butik yang dikelolanya itu adalah Mertuaku. Dia juga tak tahu, kalau Butik itu dibeli karena ingin menyenangkan hatiku.
“Maaf, Kak. Saya tidak bermaksud memerintah Kak Jo. Tetapi, ini saya meminta agar Kak Jo, buka lagi butik seperti biasa. Kakak dan teman-teman bekerja seperti biasa! Sebentar lagi saya datang.”
“Indri? Kamu sakit, kah? Kok ngomong ngeracau begitu?” Kak Jo kini malah panik.
“Enggak, Kak. Ok, gini aja, aku minta satu jam saja, ya. Tempo sejam, aku sudah ada di butik, menjelaskan semuanya ke Kakak.”
“Kamu siapa ngatur-ngatur saya, In?”
“Aduh, gimana, ya, Kak, saya enggak enak mau bilang. Saya, harus bilang apa, coba?”
“Tunggu! Sebentar! Di kartu udangan pernikahan kamu kemarin tertulis di situ nama mempelai pria Haga Wijaya. Jangan bilang kalau suamimu itu adalah bagian dari keluarga pengusaha Wijaya! Pemilik perusahaan tambang pasir itu!”
“Maaf, Kak Jo!”
“Jadi, benar, In?”
“Maaf, Kak.”
“Kenapa kamu gak terus terang kalau suami kamu itu adalah keluarga mereka? Kamu hanya bilang mo nikah, kami di suruh datang menghadiri resepsinya, gitu, doang.”
“Aku gak mau, entar dikira aku pamer, Kak.”
“Astaga, Indri. Terus, kalau keluarga suamimu sekaya itu, kenapa pesta pernikahanmu di gelar secara sederhana begitu?”
“Itu memang persayratan dari aku, Kak. Gak mau yang mewah-meawah, apalagi diliput wartawan, berita dan semacamnya. Aku dan keluargaku hanya orang biasa, Kak. Gak pantes rasanya kalau pesta mewah-mewah.”
“Ok, terserah kamu. Sekarang bisa kamu jelasin, kenapa mertuamu mengambil alih kepemilikan butik ini?”
“Itu yang mau aku jelasin Kak, aku udah sampai rumah ini, mau bicara pada mertuaku, lalu aku langsung meluncur ke situ. Pokoknya butik tetap kalian buka, dan layani pelanggan seperti biasa, ok.”
“Siap, Bu Direktur!”
“Jangan begitu, dong, Kak, Jo! Nanti aku jelasin, ya!”
“Siap, Bu Indri Wijaya.”
“Kak Jo!”
“Jangan sungkan, In. Aku justru bangga, ternyata aku dan teman-teman gak jadi kehilanagn pekerjaan. Makasih, ya In.”
“Iya, Kak, Jo.”
“Cepat datang. Kami ingin peluk kamu.”
“Siap, Kak.”
Aku segera keluar dari mobil, membayar ongkos taksi dan meninggalkan bonus untuknya karena telah sabar menungguku di hotel tadi. Mas Haga sudah menungguku di teras. Entah mengapa, aku merasa cara dia menatapku agak aneh. Tidak lagi seperti kemarin.
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang