Aska memarkirkan mobilnya di depan rumah makan di mana Nada bekerja di sana. Pria itu sudah memikirkan hal yang akan dia lakukan sejak beberapa hari lalu. Lebih tepatnya sejak dia menjanjikan sesuatu pada Nada.Sedang rumah makan itu baru saja melakukan pergantian shif para pegawai. Nada dan Salsa yang memang kali ini masuk shif pagi akan langsung pulang."Masih nggak nyangka kalau Kak Reno akan menikah dengan mantan istri pria yang menipu kamu dulu," ujar Salsa pada Nada. Kali ini mereka sedang mengambil tas di loker masing-masing."Ya yang namanya juga jodoh. Kan kita nggak ada yang tahu, Sal." Nada mengambil tas miliknya. "Yuk pulang."Salsa mengangguk. Akan tetapi ada yang berbeda dari ekspresinya. Nada yang melihat itu mengerutkan kening. "Kamu kenapa?" tanyanya kemudian.Tatapan Nada memicing. "Jangan bilang kalau kamu bersedih karena Kak Reno akan bertunangan dengan orang lain?" Nada mencoba menebak.Tiba-tiba saja Salsa menoleh dengan ekspresi penuh kesedihan. Dia seperti ingi
"Nada nggak nyangka kalau yang pegang tulisan tadi kalian," ujar perempuan itu ketika Aska mengajaknya untuk menepi setelah acara lamaran tadi. Kini, mereka berkumpul di dekat tenda yaang sebelumnya dia lihat waktu pertama ke sini. Ternyata itu adalah tenda-tenda milik keluarganya. Rencananya mereka akan menginap di sini semalam. Semua tersenyum melihat kepolosan Nada. Nada menyenggol lengan Salsa yang duduk di sampingnya. "Kamu juga ternyata ikutan. Tadi kayak yang nggak tahu apa-apa." Salsa hanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya. "Ya maap, bestie. Ini hanya mengikuti arahan komandan." Dia berujar dengan menunjuk Aska menggunakan ibu jarinya. Nada menatap Aska. "Kapan Kakak bilang sama orang tua aku? Kok aku nggak pernah tahu? Aku pikir malah mereka belum tahu." "Ya kali Kak Aska mau ngelamar nggak izin kita dulu, Kak. Bisa-bisa ditendang dia sama Bapak," ujar Tari yang mengu
Pagi-pagi sekali di rumah Bu Mila sudah tampak ramai dengan beberapa ibu-ibu yang berkumpul. Mereka adalah para tetangga samping rumah yang dimintai tolong untuk membuat jajanan oleh Bu Mila. Semua jajanan yang nantinya akan dibawa ke rumah Rina sebagai hantaran acara lamaran dari Reno yang akan dilaksanakan nanti malam.Tentu saja perkumpulan ibu-ibu pastinya tidak jauh dari yang namanya gosip. Topiknya masih sama, masih hangat yaitu tentang Safira di mana anak yang selama ini dilahirkannya ternyata bukan anak kandung dari suaminya saat ini."Masih nggak nyangka ya ibu-ibu kalau anaknya itu bukan anak dari suaminya sendiri." "Iya loh. Saya sampai terkejut kemarin itu. Apalagi melihat kehebohan beberapa waktu lalu itu." Tangannya tak tinggal diam."Yang tidak disangkanya lagi Safira malah minta tanggung jawab sama Reno. Kan lucu, ya." Semua ibu-ibu yang ada di sana pun tertawa ketika mengingat malam itu.Ya. Malam di mana Safira meminta pertanggungjawaban dari Reno, tentu saja hal it
"Kamu yakin nggak mau bareng Kakak?" tanya Rina pada Nada. Dua orang itu baru saja dari butik untuk mengambil pakaian yang mereka pesan untuk acara pernikahan antara Rina dan juga Reno.Membayangkan hubungan mereka sebelumnya dan sekarang rasanya sedikit aneh. Namun, semua harus berubah bukan? "Itu barang bawaan kamu banyak banget loh," ujar Rina sekali lagi dengan menunjuk ke arah beberapa paperbag yang dibawa oleh Nada.Nada tersenyum. Dia menggeleng." Nggak papa kok, Kak. Habis ini ada Kak Aska yang menjemput," ujar Nada dengan malu-malu.Mendengar hal itu langsung saja Rina tersenyum. Dia memberikan tatapan menggoda ke arah Nada. "Pantas saja nggak mau bareng kakak. Sudah ada yang mau jemput toh ternyata."Nada semakin malu. Dia menunduk menghindari pandangan dari calon kakak iparnya ini. Tak lama, sebuah mobil berhenti di depan Rina dan juga Nada. "Hem. Sudah datang rupanya."Seorang pria keluar dari mobil yang baru saja berhenti. Di
Tari melihat kakaknya yang berwajah mendung melalui kaca spion motor. Motor masih melaju dari rumah sakit tepat dirinya menjemput sang kakak. Tadi, ketika dia datang dan menemui Nada, kakaknya itu dalam keadaan menangis.Ketika Tari bertanya, Nada hanya menjawab kalau dia merasa sedih karena tadi dia melihat keluarga pasien yang baru saja kehilangan anggota keluarganya. Tari pun mengangguk mencoba percaya. Namun, ketika sepanjang perjalanan kakaknya terus diam dan tampak pandangannya yang kosong, itu membuat Tari merasa ragu. Dalam hati dia meyakini kalau pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya.Ingin sekali Tari kembali bertanya pada Nada. Akan tetapi, Tari yakin kalau kakaknya pasti tidak akan menjawab. Motor memasuki halaman rumah. Nada pun turun lebih dulu dan langsung memasuki rumah. Dia menemui bapak yang ternyata ada di kamar."Pak." Dia menyalami tangan bapaknya dan mencium punggung tangan pria paruh baya itu."Ini obat Bapak." Nada meletakkan obat itu di meja."Nad
Suara tangis tiada hentinya sedari tadi terdengar. Rina, perempuan itu tengah menangis karena sedang menonton film Korea yang sangat menyayat hati. Ya, setelah berbincang dengan Nada beberapa waktu lalu, dia memutuskan untuk mengajak adik iparnya itu untuk menonton drama Korea. Kesedihan dalam film itu seolah merasuk dalam dirinya. Sedangkan Nada yang duduk di samping Rina tampak terpaku dengan kisah yang baru saja dia tonton. Kedua tangannya meremas pakaian sembari benak sana berpikir yang macam-macam. Tiba-tiba saja aktivitas mereka terhenti karena ponsel milik Rina yang berbunyi. Rina menoleh, meraih benda pipih yang berada tidak jauh darinya. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Aska di sana. Rina pun langsung menatap Nada dengan kerutan di kening. "Aska menghubungiku?" tanyanya kemudian. Bola mata Nada yang sudah memerah melotot seketika. Dia segera menggeleng dan menggerakkan tangannya yang mengartikan kata tidak
Aska membaringkan tubuhnya yang masih sedikit basah di atas ranjang. Mendapati sikap Nada yang tak ingin berbicara dengan dirinya membuat Aska menjadi pusing sehingga pria itu harus mendinginkan kepalanya di bawah guyuran air. Lebih dari satu jam pria itu mandi. Tidak seperti biasanya. kini dia melipat kedua lengannya dan meletakkan di bawah kepala. Tatapan Aska terarah pada langit-langit kamar dan memikirkan kejadian beberapa hari ini yang dia alami. Tepatnya adalah sejak lima hari yang lalu kala Aska mendapati panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Seperti biasa, dia akan langsung memblokir nomor itu karena Aska merasa itu tidaklah penting. Dia pikir setelahnya akan sudah dan tak ada lagi orang tak dikenal akan mengganggunya. Namun, dia salah. Setelahnya dia tetap kembali mendapat panggilan dari nomor berbeda. Itu berlangsung berhari-hari sampai Aska pun merasa bosan. Parahnya, pagi tadi waktu masih menunjukkan pukul l
memasuki ruangan ICU di mana putranya dirawat. Beberapa waktu lalu, dia mendapatkan kabar dari Niken kalau putra mereka telah sadar. Untuk sesaat Aska sempat terpaku melihat sosok bocah yang menatap ke arah dirinya dengan ekspresi bingung.Sedangkan Niken sendiri, perempuan itu tengah duduk di samping brankar putranya dirawat. Tangan Niken membelai kepala putranya dengan senyum yang terus mengembang karena perasaan bahagia yang menyambanginya atas kabar kesadaran putranya. Tak tunggu waktu dia segera memberitahu Aska akan kabar ini.Niken langsung menoleh ke arah pintu kala mendengar seseorang membukanya. Dia semakin melebarkan senyum kala melihat kehadiran Aska di sana. "Sayang. Kamu lihat itu. Itu Papa," ujar Niken dengan suara lembut.Bola mata lebar milik bocah laki-laki bernama Alva itu menatap mamanya dengan binar yang sulit untuk dijelaskan. "Papa?" tanyanya kemudian dan tak lama dia mendapat anggukan dari sang mama.Pelan, Aska berjalan mendekati keberadaan keduanya dengan pe