Kian menatapku dengan pandangan yang sama seperti tadi malam. Kini ia setengah memelukku di dalam lift dengan kami saling berpandangan. Bohong jika aku tidak terhipnotis dengan wajah tampannya yang terlihat lebih tampan sehabis mandi dan mencukur jambang tipisnya. Juga sepasang mata tajamnya yang terlihat teduh ketika menatapku. Bukan tatapan intimadatif yang membuatku kabur tulang langgang. Kian makin mengeratkan rengkuhannya di pinggangku saat lift merangkak ke lantai 6. "Kian kamu mau apa ke lantai 6?" Kian memajukan sedikit wajahnya hingga hidungnya menyentuh hidungku pula. "Menurut lo?" Aku meneguk ludah kasar ketika bibirnya tepat berada di depan bibirku. "Kian, kita mestinya masuk ke tempat masing-masing. Kita kan udah telat." "Gue tahu. Tapi masa bodoh." Aku tidak percaya jika Kian bisa menepikan apapun demi sesuatu yang bernama 'nafsu'. Ah...aku lupa jika lelaki memiliki dua otak. Satu di atas dan satu di bawah. Aku bergerak sedikit agar Kian melepas peluk
'Dudaku nakal dudaku binal.'Tawaku menguar setelah mengganti nama Kian yang tersimpan di kontak ponselku. Ada-ada saja. Tentu!Kejadian semalam saat di ruko, lalu menjelang pagi, dan ditambah di lantai 6 kantor cukup memberiku gambaran betapa beringasnya Paralio Kian Mahardika. Arsitek kesayanganku yang telah lama kupuja dan kucintai. Dia tenang, tegas, dan killer namun panas. Ouwh... andai Anjar tahu betapa kuatnya Kian di ranjang hingga aku kewalahan karenanya. "Kenapa lo Drey ketawa sendirian?" Celetuk Anjar. Lalu senyumku berganti wajah serius di depan laptop. "Duda lo minta jatah lagi?""Konyol. Siapa juga sih Njar yang cipokan?""Nah tuh tuh tuh." Anjar membuka sedikit kemejaku dengan tiba-tiba hingga posisi kami nampak seperti hendak bercinta. "Njar!" Aku menahan tangannya bersamaan dengan Kian yang kini berjalan melewati kubikel kami hendak memasuki ruangan Bu Fatma. Pandangan kami bertemu juga dengan Anjar yang terlihat seperti sedang nafsu padaku. Sialan! Aku tidak ma
Aku masih tertawa sambil melihat Kian yang berekspresi kesal. Bukannya mengangkat panggilan itu, Kian malah melempar ponselnya ke meja hingga terdengar suara benturan meja kaca dengan ponsel mahalnya. "Eh sayang ponselnya kan Kian." Aku meraih ponsel itu lalu mengusapnya. "Gue nggak habis pikir kenapa Pak Affar mesti ganggu acara kita saat lagi panas-panasnya." Geramnya sambil berkacak pinggang. Yeah, Affar lah pelakunya. Bila tadi pagi dia menelfon kami saat Kian sedang mencumbuku, kini dia menelfon Kian kembali saat tangan nakalnya hendak menelusup dibalik rokku. Well. Dudaku ini sangat nakal namun aku juga bangga karena akhirnya dia bisa melupakan mantan istrinya. Walau harga diriku sebagai taruhannya "Temuin lah Kian. Ntar Affar mayah-mayah. Ini kan masalah kerjaan." Ucapku sambil memainkan kerah bajunya. Kian menatapku tajam sambil memegang kedua tanganku. "Lo jangan nakal Sha. Atau gue habisin lo disini." Aku segera menjauh sebelum Kian merealisasikan ucapannya. Dia t
Jangankan bilang maaf karena telah menelantarkanku di tempat makan, Kian juga tidak memberi kabar apakah sudah sampai rumah mamanya atau belum. "Terakhir dilihat aja tiga jam yang lalu." Aku merebahkan kasar tubuhku ke ranjang lalu membayangkan Kian kembali. Baru saja aku sampai kos setelah memesan taksi online sendiri. Luar biasa bukan kekasih duda sialanku itu?! "Serumit apa sih sampai dia menomorduakan gue? Emang, ada apa sebenarnya?" Aku beralih memeluk guling demi meredakan keingintahuanku. Namun sia-sia saja. "Gimana caranya gue bikin Kian mau ngomongin rahasianya ya? Gue kepo tapi nggak mungkin maksa Kian jujur kan?" Aku mancal-mancal di atas ranjang karena kesal tidak bisa memaksa Kian menceritakan rahasianya padahal aku ini kekasihnya. Kekasih rasa istri karena sudah berkali-kali ditiduri. "Kalau aja nggak inget hubungan kami, udah gue paksa dia ngomong ada apa." *** Pagi yang cerah ini, aku sudah siap untuk berangkat bekerja memakai setelan pakaian kerja yang b
Aku berurai air mata saat di toilet karena Kian mengatakan satu hal yang tidak sepantasnya seorang kekasih ucapkan. Sekalipun kami sedang berada di jam kerja. Mau bagaimana lagi, Kian tidak akan menjawab pesanku dengan cepat jika aku tidak menemuinya di ruangan secara mendadak. Kedatanganku adalah kejutan untuknya dan jawabannya mengejutkan perasaanku. "Silahkan keluar kalau lo cuma mau bahas masalah kenapa gue nggak kirim pesan ke lo." Aku tergelak dengan hati tertusuk karena Kian mengusirku dari ruangannya. Padahal solusi atas masalah kami belum ditemukan."Gue sibuk dan banyak pikiran. Kalau lo cuma datang buat nuntut jawaban romantis dari gue, maka jawabannya gue nggak bisa. Gue nggak ada waktu mikirin lo saat ini Sha."Aku berlalu pergi dengan hati tertusuk perih sedang Kian tidak menghalangi kepergianku sama sekali. Dramatis. "Perlu tisyu?" Anjar mengangsurkan kotak tisyunya padaku. "Thanks." Aku kembali ke kubikel dengan mata sedikit berair. "Lo mendadak sedih kenapa? Ad
"Drey?" "Apa?" "Jadi gimana? Mau gue bantu mata-matain nggak?" Aku menimbang sesaat tawaran Amelia yang menurutku tidak ada salahnya. "Oke gue setuju tapi aman kan?" "Aman selama lo nggak keceplosan. Satu lagi, gue pernah bilang kan duda cerai tuh sedikit kompleks urusannya?" Aku mendengarkan dengan seksama ucapan Amelia di sambungan telfon. "Iya. Gue inget." "Gue nggak kenal baik siapa itu Kian. But, gue sebagai teman cuma bisa kasih lo saran. Pertama, usia Kian lebih tua sebelas tahun dari lo. Artinya dia lebih pengalaman soal perjalanan hidup." Aku mengangguk paham. "Kedua, dia pernah ngerasa enaknya bobok bareng mantan istri." "Ucapan lo nggak banget deh Mel." "Diem dulu. Dengerin gue. Dan ketiga, gue jamin dia jarang cerita soal susahnya dia dulu kayak apa." Kali ini aku mengangguk yakin. "Lalu?" "Lo harus jaga diri baik-baik lah. Jangan sampai kayak gue yang udah free sampai nggak tahu aturan. Kian, dia bisa aja bolak-balik perasaan cewek muda kayak lo." Aku menela
"Lo salah paham Sha. Dia cuma pengen minta foto sama gue doang."Akhirnya terjawab sudah mengapa ada foto Kian bersama perempuan lain di NTB. Hatiku yang awalnya meradang pun akhirnya melembut."Ya udah gue mau check in di bandara dulu."***Malam harinya Kian menghubungiku setelah kuliah ekstensinya usai. Aku sudah sangat merindukan kekasihku ini setelah empat hari berpisah, setidaknya mendengar suaranya cukup menentramkan hati."Sha gue mampir nasi Padang. Lo mau?"Senangnya karena Kian Masih ingat makanan kesukaanku."Boleh.""Mau makan bareng gue di rumah?"Aku mengangguk cepat. "Nanti kalau udah sampai rumah kamu chat aku ya?""Iya. Nggak sekalian ngajak Prita?""Ngapain?" Tawaku sewot."Kali aja dia pengen kenalan sama gue.""Nggak boleh!"Kian terkekeh. "Oke fix gue tahu. Lo kangen gue hari ini."Aku malu mendengar godaan Kian karena dia tahu aku merindukannya.Setelah sambungan telfon terputus, aku menonyor kepalaku sendiri dan tertawa."Edan gue. Kepergok kangen malah hepi."
"I miss you too." Ucapku dengan suara sama lirihnya dengan tatapan yang tak lepas dari wajah tampan Kian. Yeah, sudah berpuluh-puluh kali kukatakan jika Kian adalah duda tampan berwajah serius namun memiliki jiwa membara yang nakal dan panas. Jempol Kian mengusap sudut bibirku sensual sambil mendekatkan wajahnya. Bagai terhipnotis, bukannya aku turun dari pangkuan Kian malah aku menunggu kapan dia akan menjamahku kembali. "Gue pengen cium lo. Boleh?" Tatapan Kian jatuh ke arah bibirku. Bukankah dia pria yang manis? Selalu bertanya pada pasangannya sebelum melampiaskan kerinduan? Seakan mengkode dengan tatapan yang dalam, aku tahu Kian berharap agar aku tidak menolaknya. Lalu kulingkarkan kedua tanganku di lehernya dan mendekatkan wajahku ke arahnya. Kian langsung melumat basah bibirku dengan posisi aku masih di atas pangkuannya. Kami saling membalas ciuman hingga sama-sama bergairah. Tanganku mulai bergerak nakal dengan mengusap-usap rambut Kian yang masih sesikit basah. Aroma