-Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki dirinya selamanya.- Audrey "Kerja ya Drey?" Aku mendongak menatap sumber suara setelah memakai sepatu kerja. Tanpa berniat menjawab sapaannya. "Budeg." Aku mendengar umpatannya meski tidak teralu keras. Hanya saja aku tidak mau hari yang masih pagi sudah dihiasi dengan pelangi kelam. Ocehan tidak bermutu dari teman-teman kos karena tidak bisa memiliki kekasih setajir dan semapan Affar. Izinkan aku tertawa di atas kesombonganku yang tidak bisa mereka gapai dengan seketip mata. Mimpi saja kalian!! "Gue nggak budeg, gue cuma lagi males bicara sama lo." Aku beralih mengunci pintu kamar lalu memasukkannya ke dalam ransel dengan gaya elegan dan dagu terangkat. "Dasar cewek murahan." Aku memandangnya garang. "Kalau gue mau, gue bisa aduin umpatan lo ke cowok gue. Lo tau kan dia tajir, bisa nyewa preman mana aja buat habisin lo karena udah berani ganggu hidup gue." Wajah Tari mendadak pias. Dia ketakutan dengan ancamanku.
-Untuk saat ini kubiarkan masa lalumu tenggelam beserta seluruh kisahnya. Aku tidak peduli jadi apa dan bagaimana dulu kamu disana.- Audrey "Saya janji ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua." Pak Kusno menatapku ragu. Aku yakin Pak Kusno tahu banyak tentang siapa dan masalah rumah tangga Affar. Mengingat mereka sering bekerja sama. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda ketika aku menyinggung proses perceraian Affar. Apa mungkin Pak Kusno pula yang mengurus proses perceraian mereka? Aku ingin tahu apa yang Affar sembunyikan dariku hingga ia tidak pernah sekalipun memberiku ijin untuk bisa mengenal dirinya lebih dalam. Dan melalui Pak Kusno lah aku menggantungkan keberuntunganku untuk bisa mengenal siapa dirinya. Karena sudah sepantasnya dalam menjalani hubungan dibutuhkan keterbukaan dan kepercayaan dari masing-masing pasangan agar hubungan berjalan harmonis dan langgeng. Saat bersamanya, aku bisa bersikap biasa dengan menutupi kerisauan hati ini. Menahan mulut untuk tidak b
"Halo, baby." "Halo, Far. Udah pulang?" Kami sedang berada di sambungan telefon. Lalu aku sengaja berjalan menjauh dari kubikel untuk menerima telfonnya. Aku tidak mau teman-teman tahu jika aku memiliki hubungan dengan bos kami sendiri. Bisa runyam jadinya. "Ini baru keluar ruang rapat," suaranya terdengar sedikit bergetar seperti sedang berjalan. Lalu terdengar suara sapaan dari rekan kerja Affar. Sepertinya suara laki-laki. "Ada apa, baby?" "Ehm ... kamu lelah ya, Far? Atau setelah ini masih sibuk?" "No, I am free. Why?" "Can you pick me up in office?" "Tumben minta jemput?" ucapnya sambil terkekeh. Affar tahu sekali jika selama ini aku hampir tidak pernah merengek untuk meminta dijemput di sekitar area kantor jika bukan karena ia yang menawarkan bantuan. Alasannya simple, aku tidak mau merepotkan dan terlihat manja di depan pria dewasa mapan sepertinya. Namun kali ini, aku meminta jemput karena aku ingin memupuk rasa percaya dan cintaku padanya jika hubungan kami ini s
Hubungan ini terlalu jauh. Aku melupakan prinsipku untuk menjaga batasan dengan Affar. Banyak norma yang telah kusingkirkan demi hubungan kami. Dosa yang dulu kutakuti seakan sudah menjadi teman baikku sekarang. Aku tidak memikirkan apa itu harga diri dan menjaga diri demi lelaki yang nantinya akan menjadi suamiku. Aku juga melupakan satu hal bahwa apakah Affar kelak yang akan menjadi suamiku? Bukankah jodoh itu rahasia? Usai mendapatkan apa yang kami inginkan di ruangan Affar, senyum dan tatapan penuh gelora itu menjadi bukti bahwa kami dimabuk cinta. "Ada apa manggil aku kemari?" tanyaku dengan setengah berbisik. Tangannya memberi sentuhan. Dan kedua matanya menatapku tanpa berpaling sedikit pun. "Serahkan surat cutimu hari ini. Sekretarisku akan mengurusnya." "Apa dia bisa dipercaya?" Lalu tangan kanan Affar mengambil tanganku dan menciumnya penuh kesungguhan. Seakan-akan aku ini adalah oase termanis yang dia inginkan. Memangnya, lelaki dewasa mana yang tidak menyukai p
Amelia kemudian menunjuk deretan tas dan sepatu mahal yang Affar belikan. Ponsel baruku seharga lima belas juta. Belum lagi skincare dan pakaian yang kuinginkan. Semuanya dibelika Affar tanpa dia bertanya lebih lanjut. "Semua ini nggak murah dan ..... nggak gratis, Drey. Gue ngerti karakter cowok modelan Affar. Slow but sure, dia rela nunggu lama sampai lo jatuh ke dalam pelukannya. Baru deh lo dieksekusi." "Eksekusi? Lo ngibaratin gue kayak mau dihukum mati sama Affar." "Anggap aja gitu. Kalau lo nggak nurut, dia bakal marah. Bikin hati lo merana kayak hidup nggak ada gunanya lagi selain Affar doang." Tebakan Amelia selalu benar namun aku selalu mengelak. "Nggak lah, gue kenal Affar baik." Kilahku. "Lelaki mah gitu. Ada maunya aja si cewek disenengin sampe hovering. Lupa daratan dan lupa persahabatan." "Gue masih inget lo. Kita masih hang out bareng." Amelia menggeleng pelan, "Lo emang masih bisa jalan sama gue. Tapi saran gue udah lo anggap sampah, Drey! Itu pointnya! Bener
"Berapa?" "Gajimu dua bulan." Jawabnya enteng. Aku melongo sedang ia malah asik menyesuaikan seat agar bisa dipakai merebahkan diri. Otakku membayangkan total biaya acara liburan kami sudah bisa membuatku tidak bisa menutup mulut karena saking tidak menyangkanya. "Far, kmu pemborosan. Nggak tahu cari duit susah kali ya?" "Kamu kebanyakan ngitung duit kantor, makanya perhitungan sama diri sendiri." Aku meliriknya tajam. Bukannya perhitungan tapi staff biasa sepertiku harus pandai pandai mengatur keuangan sampai akhir bulan. Ditambah aku tidak memiliki usaha lain seperti dirinya. Jika uang gajiku habis sebelum satu bulan, memangnya siapa yang akan menjamin kehidupanku? Dasar, lelaki mapan berharta melimpah. Suka mencibir perempuannya yang sederhana seperti aku ini tanpa punya perasaan. "Emang kamu yang bakal ngasih aku uang makan kalau habis?" Affar justru tertawa lirih dengan menyandarkan tubuhnya di kursi yang sudah diatur kenyamanannya. Kemudian giliran aku yang tidak t
-Apalah arti CINTA, jika aku menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?- Audrey "Jauh-jauh kita kemari. Jangan buat moment yang udah aku siapin seromantis ini, jadi hilang karena hal sepele, Baby." Aku menatap Affar lekat dengan tangan tak berpidah darinya. "Oh ya? Kamu romantis juga ya, Far?" "Karena aku mau kita senang disini, Baby. Lupain apa itu kerjaan di kantor dan segalanya." Lalu dia makin membuat jarak diantara kami menghilang. "Kamu niat banget ya, Far?" "Asal sama kamu." Perlahan dia merayuku dengan bahasa tubuhnya. Tidak menunggu lama, sentuhan pertama itu dia menangkan dengan aku membiarkan Affar melakukan apa yang dia mau. Tangannya tidak bergerak nakal. Melainkan seperti mengajariku tentang apa yang dia inginkan dari hubungan ini. Bahkan alarm bahaya dari dalam diriku yang biasanya berteriak jangan melakukan sentuhan terlalu mendalam, tetiba saja menghilang entah kemana. Usai mendapatkan setetes surga duniawi itu, Affar memberi ruang diantara kami.
-Hidup itu terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau membahagiakan takdir yang kujalani, biar waktu yang menjawab.- Audrey "Kamu pasti tanya tentang masalahku sama Pak Kusno. Right?" Tebaknya. Aku hanya bisa terdiam membeku dengan kedua mata menatap Affar tanpa berkedip dan mulut terkatup rapat. Ya Tuhan, bagaimana Affar bisa tahu jika aku mencari tahu tentang sidang perceraiannya? Apakah Pak Kusno yang mengatakan semuanya pada Affar? Jika iya, maka matilah aku sebentar lagi. Mungkin karirku pun akan tamat karena Affar bisa dengan mudahnya mendepakku sejauh mungkin dari perusahaan tempatku mengais rezeki. "Far, aku ... ehm ... maksudku --- " "Baby, sebenernya aku marah saat kamu ungkit-ungkit masalahku yang hanya bikin hubungan kita nggak harmonis. But, you still look it for. Bahkan sampai nekat nyari tahu." Selanjutnya aku tertunduk malu. Rasanya aku seperti dikuliti di hadapannya. "M ... maaf, Far." "Tuh kan, kita jadi nggak asyik menikmati sunset karena m