Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.
Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di total semuanya ada lima belas juta. Satu set lengkap mulai dari anting-anting, kalung, gelang dan dua cincin. Di tambah perhiasan untuk si kembar yang akan aku berikan pada mereka kelak saat sudah dewasa.
Sejak awal semua ini salahku yang melawan perintah mendiang Ibu untuk membatalkan pernikahan dengan Mas Aksa. Kini kehidupan seperti ini yang harus aku jalani. Entah sampai kapan aku harus bertahan dengan Mas Aksa. Namun, aku tidak bisa membiarkannya mengambil perhiasan emas yang aku beli dari hasil jerih payahku sendiri. Aku harus bertanya langsung pada Mas Aksa. Urusan perhiasan emas itu harus di selesaikan malam ini juga. Dia bisa merampas uang yang kuhasilkan, tapi tidak dengan perhiasan itu.
Aku bangkit lalu berjalan keluar kamar. Ruang tamu dan ruang tengah sudah kosong. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara Mas Aksa yang sedang bicara dari arah teras. Dengan langkah perlahan aku berjalan agar mereka tidak menyadari kehadiranku. Rupanya Mas Aksa dan Ibu tengah bicara sambil duduk di kursi teras. Kuambil hp lalu menyalakan video untuk merekam semua perkataan mereka sebagai bukti. Jika memang aku terpaksa melaporkan hal ini ke kantor polisi.
“Kamu yakin kalau semua perhiasan ini punya Dania, Sa?” tanya Ibu skeptis. Dari balik jendela aku bisa melihat jika Ibu memegang kantong plastik hitam. Ia mengeluarkan kalung emas yang merupakan milikku.
“Aku yakin sekali Bu. Dania tidak akan bisa mengelak karena perhiasan ini di simpan di bawah tumpukan baju. Ada untungnya juga tadi aku mengacak-acak isi lemari. Setelah menemukan kotak perhiasan segera aku ambil isinya lalu menyembunyikan kotak itu di bawah lemari.”
“Kalau Dania tanya bagaimana?”
“Nggak perlu khawatir. Dania tidak akan berani melawan Bu. Dia pasti akan ikhlas jika Ibu menggunakannya," jawab Mas Aksa yang menggampangkan masalah.
Memang selama ini aku selalu membiarkan mereka mengambil uang tabungan atau bahkan sampai meminta uang ke warung. Karena aku berpikir toh uang juga akan habis. Aku juga masih punya tabungan dalam bentuk lain yang tidak pernah di ketahui oleh Mas Aksa. Salah satunya adalah satu set perhiasan emas yang tersimpan rapi di bawah tumpukan baju. Kali ini aku tidak akan mau mengalah karena sudah mengantongi bukti berupa video. Kusimpan video itu dalam beberapa file.
Cklek
Suara pintu depan yang terbuka mengalihkan perhatian mereka. Mas Aksa tidak nampak terkejut melihat kehadiranku. Ibu sempat gelagapan sejenak sebelum akhirnya tersenyum dengan wajah mengejek. “Kamu bilang nggak punya simpanan. Dasar pembohong. Untung saja Aksa berhasil menemukan perhiasanmu.” Kata Ibu sambil menggoyang kantong plastik di tangannya.
Dengan gerakan cepat aku merebut kantong plastik itu. Membuat Mas Aksa dan Ibu terbelalak kaget. Mas Aksa berdiri hendak meraih perhiasan emas yang berhasil aku amankan. Tapi, dia gagal karena aku terus melangkah mundur hingga ke pinggir jalan.
“Cepat serahkan perhiasanmu Dania. Ibu membutuhkannya untuk membayar dp agar pernikahan adikku bisa terlaksana.” Bentak Mas Aksa tidak peduli dengan lalu lalang kendaraan di jalan yang melihat pertengkaran kami.
“Kalau kamu memaksa aku akan menjatuhkan diri di jalan dan mengatakan pada semua orang jika Ibu yang sudah mendorongku agar bisa mencuri perhiasan emasku.”
“Apa? Istri kamu benar-benar sudah gila Sa. Dia pikir orang-orang akan percaya,” kata Ibu dengan mata melotot padaku.
“Tentu saja mereka akan percaya. Karena semua orang di desa ini tahu bahwa aku adalah tulang punggung untuk suami dan keluarga mertuanya,” balasku yang membuat Mas Aksa terdiam. Dia tampak berpikir keras. Menatap ke sekeliling rumah. Para tetangga sudah keluar melihat keributan kami.
“Baiklah. Ayo kembali ke rumah sekarang. Malu di lihat sama tetangga,” pinta Mas Aksa yang berubah jadi lembut.
Aku masih berdiri di tempatku semula. Menunggu Mas Aksa agar mundur dari hadapanku. Bergeming di depannya tanpa rasa takut sekalipun. Toh jika aku benar-benar jatuh maka tetangga akan menyalahkannya, “kamu harus pergi ke rumah Ibu sekarang. Jika tidak aku akan menarikmu agar kita jatuh ke jalan raya sekarang.”
“Dania.” Pekik Mas Aksa tertahan.
Ibu yang sudah terlanjur malu dengan para tetangga langsung menarik tangan anaknya pulang ke rumah. Rasakan. Mereka tidak akan berkutik di depan para tetangga. Karena semua orang tahu usahaku yang maju pesat dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi daripada gaji Mas Aksa. Belum lagi Ibu yang sering pergi ke warung untuk meminta uang sudah jadi cibiran. Karena Mas Aksa mengandalkan aku untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Setelah memastikan mereka berdua pergi, aku segera masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu depan dan belakang. Kakiku melangkah masuk ke dalam kamar. Memasukan semua perhiasan ke dalam kotaknya. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk menyimpan perhiasan ini. Terpaksa aku harus menyimpannya di brankas yang ada di warung.
Pagi harinya aku bangun seperti biasa. Kotak perhiasan masih aman di dalam sisi lemari khusus untuk menggantung baju. Kedua kuncinya sengaja aku ambil. Mas Aksa juga sudah kembali ke rumah untuk mandi dan berganti baju. Tanpa menyapaku dan kedua buah hatinya yang baru saja menunaikan sholat subuh. Wajahnya tertekuk masam setelah pertengkaran kami semalam.
Aku meminta anak-anak untuk mandi lebih dulu. Sementara aku harus melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Memasukan baju kotor ke dalam mesin cuci. Di lanjutkan dengan menyapu dari halaman depan sampai seisi rumah. Khusus untuk kamar utama akan aku sapu terakhir karena aku sedang malas berhadapan dengan Mas Aksa. Terakhir aku mengambil bahan makanan dari kulkas untuk membuat bekal anak-anak dan sarapan pagi ini. Baru setelah itu aku akan langsung pergi ke warung untuk menyimpan kotak perhiasanku.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Saatnya memanggil Mas Aksa dan anak-anak keluar agar kami bisa segera sarapan. Baru saja aku membuka pintu, terlihat Mas Aksa yang berusaha membuka pintu lemari terkunci dengan linggis yang sepertinya adalah milik Ibu.
“Apa yang kamu lakukan Mas?” tanyaku marah lalu mengambil linggis itu dari tangannya.
“Kenapa kamu harus mengunci pintu lemari yang satunya? Aku mau ambil baju kerjaku,” bentak Mas Aksa dengan wajah merah padam.
“Semua baju kerjamu sudah aku siapkan di atas tempat tidur. Apa kamu tidak bisa melihatnya?” aku kembali bertanya dengan nada tenang. Tanganku terarah pada kemeja dan celana panjang yang tertata rapi disana.
“Apa kamu mau mencuri perhiasanku lagi mas? Pakai bawa linggis dari rumah Ibu.” Kali ini aku yang bertanya dengan nada mengejek.
“Jaga ucapan kamu. Aku bukan pencuri. Kita ini suami istri. Sudah sewajarnya kamu ikut membantu ekonomi keluargaku,” kata Mas Aksa dengan wajah yang semakin merah padam.,
“Harta istri adalah milik istri. Suami sama sekali tidak berhak mengambilnya. Sedangkan harta suami adalah milik istri. Bahkan seorang istri juga harus mengikuti adab saat akan mengambil uang suaminya. Kalau yang kamu lakukan semalam itu namanya pencurian. Sudah cukup aku membiayai keluargamu selama ini. Jangan ambil perhiasanku untuk bekal sekolah si kembar kelak. Karena kamu tidak akan pernah bisa menyekolahkan si kembar hingga lulus SMA.”
PLAK
Mas Aksa sudah menampar pipiku hingga aku terhuyung ke belakang. Tubuhku menabrak lemari lalu melorot ke bawah.
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia