Share

Bab 2: Masa Laluku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2021-10-02 11:09:15

“Jadi ini gudangnya, Mbak Gini?” Nita menatap takjub bangunan tiga lantai yang telah menjadi sarang uangku selama ini.

Bangunan luas yang kubeli dari hasil menabung, penjaja barang dagangan selama bertahun-tahun, hingga merambati bisnis online tujuh tahun lalu itu, berdiri megah di depan kami berdua. Dijejeri oleh beberapa motor yang merupakan milik para pekerja. Serta satu unit mobil berjenis Range Rover yang bersembunyi di bagasi.

Khusus kendaraan besi yang besar itu, adalah milikku sendiri. Aku sengaja menyimpannya di gudang agar ibu mertua tidak tahu tentang hal ini. Bukannya bersikap pelit, tetapi satu unit mobil berjenis Jazz yang kubawa pulang, lebih sering dipakai ibu mertua dibandingkan olehku sendiri. Digunakannya untuk pamer kesana kemari, jika dirinya telah berhasil mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya.

Tidak apa-apa jika aku dianggap pelit sekalipun. Nyatanya, selama dua tahun menikahi Bang Teguh, aku telah menggelontorkan uang dalam jumlah tidak sedikit semenjak mereka tahu aku adalah pebisnis online yang mahsyur.

Omset perbulan dari tiga toko e-commerce yang kumiliki mencapai satu milyar, dan bisa bertambah saat musim-musim tertentu. Namun semua hal ini tidak kudapatkan dengan satu jentikan jari. Melainkan hasil dari memerah keringat hingga sedikit terlambat menikah.

Aku hanyalah gadis desa, tamatan SMP yang saat itu tidak mampu melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Jangankan sekolah, membeli baju, sepatu atau buku, bisa makan setiap hari saja sudah syukur rasanya.

Dilahirkan sebagai anak pertama dengan delapan bersaudara yang dempet-dempet jarak kelahirannya, membuatku terpaksa mundur banyak. Membiarkan cita-citaku sebagai seorang guru terbang bersama angin di musim panas. Tersapu badai di musim hujan.

Perih, sakit semua bercampur aduk saat kulihat teman-teman seumuranku berangkat sekolah bersama-sama dengan baju putih abu-abu yang megah. Mereka memakai sepatu hitam yang bagus, tas punggung yang juga keren. Sedangkan aku, duduk di pinggiran toko, menjajakan donat berselimut gula buatan ibu.

Tidak lama berjualan donat, aku ditawarkan untuk bekerja oleh pemilik toko dimana aku menumpang. Pria paruh baya yang kukira hidup sebatang kara itu, memberiku pekerjaan sebagai penjaga toko, karena dirinya sudah tidak lagi mampu melakukannya seorang diri

Jangan tanya bagaimana riangnya aku saat itu. Tidak hanya berjingkrak-jingkrak, mengangguk pada penawaran menakjubkan yang kudapatkan, aku juga membungkuk berulang kali pada pria yang biasa dipanggil Kakek Tua oleh pelanggannya itu.

Beranjak dari situlah, aku belajar bagaimana mengelola sebuah toko kelontong. Menghapal berbagai harga barang, baik harga grosiran atau eceran. Tidak jarang, banyak pembeli yang mencoba nakal saat Kakek Tua sedang keluar, namun aku dengan sigap mengeluarkan buku catatan harga yang telah dibuat oleh Kakek Tua dan membuat pembeli itu bungkam.

Tiga tahun lamanya, aku menghabiskan usia sekolah SMA di toko kelontong yang lapuk. Lalu, bermodalkan tabungan yang sedikit itu, aku mencoba peruntungan sendiri dengan membuka kios di sudut pasar. Bukannya mengkhianati Kakek Tua yang sudah baik hati, melainkan aku dipaksa keluar dari sana, karena toko kelontong miliknya ingin ditutup.

Aku masih ingat ucapan Kakek Tua sore itu sebelum kami berpisah, menurutnya aku akan sukses di masa depan nanti selama, aku mau berusaha dengan keras dan mudah menolong, dari situlah dunia akan berpihak padaku. Sebagai hadiah perpisahan, barang-barang milik Kakek Tua dipindahkan ke kiosku.

Selama empat tahun itu, aku berjuang merangkak dari bawah. Sesekali dibantu oleh adik-adikku, namun kerap kali aku berjuang sendirian. Mereka tidak boleh bolos sekolah, apalagi sampai putus sekolah. Untuk alasan itulah, aku mengelola sendiri kios hingga membesar menjadi sebuah toko.

Tahun kedelapan, saat aku berusia dua puluh dua tahun, dari salah seorang pembeli yang mengomel-ngomel karena barang di toko lebih mahal daripada barang di toko online, aku yang penasaran, mulai mencari tahu tentang hal itu.

Bagaimana caranya berjualan dengan harga murah, memangkas biaya sewa yang terlalu mahal serta menggapai lebih banyak pembeli. Aku tahu teori ini darimana? Dari buku adikku yang kuliah di jurusan manajemen bisnis. Aku yang menyekolahkannya? Syukurnya, dia dapat beasiswa.

Peranku pada mereka hanya sampai tamat SMA, karena keuntungan di toko kelontong juga tidak seberapa. Sebab itulah, aku putar otak, mencari keuntungan yang lebih banyak namun dengan jalan yang halal.

Saat itu, aku berkenalan dengan toko online buatan anak negeri di tahun 2012. Berbekal kemampuan yang buruk dalam menggunakan teknologi, aku kembali merangkak dari bawah, menjajakan barang-barang di sana. Satu hari, dua hari, tiga hari hingga terasa ingin menyerah saja, sebab pesanan tidak kunjung tiba.

Lalu, aku melakukan sedikit inovasi setelah mengintip lagi buku-buku kuliah adikku sendiri. Memperbaiki deskripsi barang, tampilan toko online hingga memperbarui gambar dengan yang lebih jernih.

Tidak butuh berminggu-minggu, dengan izin Allah pesanan datang satu persatu. Awalnya terlihat mudah untuk ditangani, namun semakin hari aku semakin kewalahan menghadapi.

Di sinilah, aku mengangkat karyawan pertama, Bu Iyem namanya. Wanita berstatus janda yang ditinggalkan oleh suaminya demi wanita lain. Dengan beliaulah, aku berlari mengejar mimpiku. Hingga saat ini, aku punya tiga toko online di tiga platform berbeda dengan total pengikut mencapai lima juta.

Semua kegiatan bisnis itu, berputar di bangunan tiga lantai yang luas ini. Dimana lantai pertama merupakan gudang dan ruang pengemasan. Lantai dua adalah kantorku sendiri dan ruang admin, sedang lantai tiga gudang tambahan untuk barang-barang tertentu serta dua kamar untuk karyawan lelaki yang tinggal di sini.

“Kapan ya, Nita bisa kayak gini?”

Anganku segera terbelah saat kudengar Nita bergumam lagi. Wanita bertubuh kurus dengan wajah pucat itu masih menatap bangunan tiga lantaiku.

“Masuk, Nita? Lihat-lihat gudang,” tawarku yang segera disambut bahagia olehnya.

Baru satu langkah berjalan, ponsel gadis itu berdering. Iya, ponsel bukannya gawai keren yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan orang. Di tahun 2018, sangat sulit menemukan seseorang yang masih bertahan dengan ponsel itu.

Telepon Nita adalah telepon seluler keluaran lama, yang masih menggunakan tombol untuk dioperasikan dan bukannya layar penuh yang sebesar nampan. Nyess lagi hatiku melihat nasib wanita itu. Padahal, hidupku di masa lalu juga tidak ubahnya dengan Nita.

“Ibu, Mbak?!” desahnya yang beriring dengan wajah sayu.

“Nita pulang ya, Mbak? Takutnya nanti ibu laporan sama Bang WIlly,” lanjutnya lagi.

“Tidak perlu takut. Kalau suamimu nanya kamu kemana, bilang saja pergi sama Mbak, Nita. Lagipula, suamimu laki-laki baik, tidak akan mikir aneh-aneh sama kamu,” ingatku. Memang benar, karakter dari Bang Willy adalah lelaki penyayang nan lembun. Berbanding terbalik dengan ibu mertu yang kasar dan kejam.

“Mbak tahu sifat ibu, kan? Mending kita pulang saja ya, Mbak? Lain kali kita lihat gudangnya Mbak lagi,” pintanya memelas.

Melihatnya begitu, aku menjadi iba. Kuanggukkan kepala meski terasa berat jika harus kembali ke rumah itu sebelum Bang Teguh atau Bang Willy kembali. Ibu mertua akan tetap bertindak kejam sebelum kedua putranya datang.

Bersambung ....

Follow igku, yuk? Di @Bemine_97

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Kasihan miris banget nasib nya Nita
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nita lebih berjiwa babu yg tertekan
goodnovel comment avatar
YanieAbdullah5
part ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang sukses setelah bertahun tahun berjuang , jujur saya meresapi di part ini entah ini hanya fiksi atau nyata tapi author mampu membawa rasa sentimen pada pembaca ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   End: Kisah yang Dinanti

    Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 57: Mampir ke Rumah Ibu

    Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 56: Dia Milikku

    Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 55: Nasib Adinda

    Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 54: Bang Teguh Ditangkap

    “Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 53: Kehancuran Keluarga Jahat Itu

    Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 52: Pelakunya Ditemukan

    “Aku akan mengecek CCTV!” seruku usai mengusaikan tangis.Kuredam semua kekagetan dan kegelisahan ini, lalu, berlari menuju ruang admin yang memiliki akses CCTV. Untungnya, aku sempat memasang benda mahal itu demi menghindari kejadian tak mengenakkan, walau belum mempekerjakan sekuriti di bagian depan.Begitu melangkah, kudapati Anha yang terkejut dengan sikapku. Dia mengikuti dari arah belakang bersama Mas Zildi dan si kecil Anggrek. Walau mereka tak saling kenal, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi keduanya seayun langkah saat mengejarku. “Buka rekaman CCTV di garasi!” Aku segera memerintah tiga pria yang duduk di kubikelnya.Mereka terlihat begitu bingung dengan seruan yang begitu tiba-tiba, namun salah satunya lekas berganti komputer. Kuikuti dia dengan perasaan berdebar, berharap jika CCTV merekam kehadiran dari orang yang telah melakukan hal buruk ini

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 51: Musibah Kedua

    “Kalau Adinda datang ke gudang, jangan izinkan dia masuk. Bawa ke kantor!” kataku pada para pekerja yang sudah berkumpul di gudang pagi ini.Mereka mengangguk setuju begitu mendengar perintah singkat ini. Sebagian terlihat menaruh simpati atas apa yang terjadi di gudang berkat kepercayaan yang kuberikan pada wanita itu, sebagiannya lagi terlihat acuh dan tak terlalu peduli.Ketiga adminku yang terpaksa bekerja dua kali lebih keras dibanding sebelumnya memberi laporan semalam, jika sebagian permasalahan tidak menemukan titik terang, hingga harus melibatkan pihak penengah dari marketplace tempat kami mencari rupiah.Baiklah ... tidak masalah. Wajar dan sangat dapat dimaklumi jika para pembeli merasa kecewa dengan barang-barang yang mereka terima.“Lalu Bu, bagaimana dengan keluhan itu?” Bu Mala menyahuti. Wajahnya yang sama lelahnya denganku melongok di antara kerumunan para pek

  • Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku   Bab 50: Hukumankah Ini?

    Usai menerima Adinda bekerja di gudang, aku bersikap seperti biasa. Membiarkan semua hal berlalu tanpa memberi peduli meski hanya sedikit. Termasuk soal Gagah yang pada akhirnya tidak lagi berusaha menghubungiku. Dia berhenti bekerja sebagai agen dari distributor langganan gudang tanpa alasan yang jelas, kemudian menghilang tanpa jejak.Dari karyawan yang menggantikan Gagah aku tahu satu hal, Gagah minta dipindahkan ke cabang yang berbeda karena alasan pribadi. Dan satu poin penting lain yang membuatku tercengang, menurut pria yang mengambil alih pekerjaan Gagah, pria itu sedang menjalin kedekatan dengan seorang gadis muda yang dikenalkan ibunya. Mereka berniat menikah, dan Gagah mulai membangun karir di daerah tempat gadis itu tinggal.Aku terdiam saat mendengar kisah itu, tidak pernah mengira jika Gagah yang mendeklarasikan perasaannya padaku begitu dalam bisa berpaling dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini, membuatku bertanya-tanya, tentang kebenaran

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status