Aku duduk di sini kurang lebih satu jam. Aku akhirnya berdiri untuk pulang, tidak ingin membuat ibu panik dan mencariku. Biasanya ketika aku keluar rumah lebih dari satu jam, ibu pasti mencari. Beginilah jika menjadi anak tunggal. Kasih sayang ayah dan ibu hanya berfokus padaku. Kaki kini melangkah. Aku kembali terpesona dengan udara segar yang ada di desa. Jika berjalan di kampus jam begini, wajah sudah akan gosong. Memang sih, aku tak perlu takut dengan kulit yang gosong, karena tidak akan nampak. Kulitku yang gelap akan tetap berwarna sama. Saat membuka pintu rumah, ternyata ibu dan ayah sedang duduk di ruang tamu. Aku juga selalu mengagumi kebersamaan ayah dan ibu. Saat ibu sedang duduk sendiri, biasanya ayah akan menghampiri. Begitu pun sebaliknya. Tetap terlihat mesra meskipun usia pernikahan mereka sudah terbilang lama. “Nak, duduk di sini. Ibu dan ayah ingin bicara.” Ibu berkata lembut sambil melambaikan tangannya. Lalu tangan itu menyentuh tempat duduk. Lewat gerakan tang
Beberapa detik terdiam, bibir pun tergerak untuk berkata. “Oh iya, Ayah. Aksa pernah cerita ke aku. Katanya ayah dan ibu menelponnya. Dia tidak angkat karena hendphonennya sedang dalam mode diam. Jadi Aksa nggak tahu kalau ayah dan ibu menelpon.” Aku berkata dengan tenang sambil tersenyum pada ayah. “Kenapa tidak menelepon balik saat tahu kami menghubunginya? Kami ini orangtuamu, Nak. Sebenarnya sikap Nak Aksa kurang sopan.” Aku diam tak berkutik. Memang benar yang di katakan ayah. Alasanku hanya membuat ayah dan ibu semakin curiga dengan pernikahan kami. Tetapi tidak mungkin aku tidak menanggapi. Hal itu juga akan membuat tanya dalam benak mereka. “Benar yang dikatakan ayahmu, Nak. Kami memang tidak mengharapkan untuk di hormati. Kami memahami, mungkin Nak Aksa tipe anak yang agak pendiam dan sulit beradaptasi dengan orang baru. Kami memberitahu kamu tentang ini agar kamu bisa cerita ke Nak Aksa. Jangan sampai dia melakukan ini juga ke orang lain. Kalau panggilan sudah lebih dari t
*** Kini langkah kaki memasuki ruangan yang dipakai sebagai tempat pesta pertunangan Aksa dan Utami. Tempat ini di hias dengan sangat indah. Hampir di setiap sudut ruangan terdapat bunga yang beraneka warna. Ruangan ini diterangi banyak lampu indah yang membuat nuansa terlihat megah. Sedari tadi aku mencari kursi. Namun, tidak menemukan. Mungkin pesta pertunangan ini di desain seperti ini, tidak ada kursi yang digunakan untuk duduk. Semua tamu undangan tetap berdiri. Aku heran dengan pesta yang di buat oleh para orang kaya. Kenapa kebanyakan tidak menggunakan kursi? Padahal tidak semua orang bisa tahan untuk lama berdiri. Tak semua orang juga bisa makan dengan nyaman sambil berdiri. Tetapi, ya sudahlah. Mungkin memang desain acara seperti ini yang dikatakan elegan. Semua tamu undangan yang hadir nampak berkelas, terlihat dari pakaian yang mereka gunakan. Mungkin hanya aku yang datang dengan pakaian sederhana tanpa make up di wajah. Aku hanya memakai gamis polos berwarna maron denga
Pandangan Utami tertuju padaku. Sedangkan Aksa, dia diam dan matanya melihat ke arah lain. Aku tidak bisa menebak raut wajah Aksa saat ini. Mungkin dia ingin marah, tetapi tidak bisa. Karena sekarang adalah acara yang sangat sakral untuknya. “Yang bernama Mentari Delisia mohon segera ke atas panggung.” Pembawa acara kembali mengulang kalimat yang sama. Aku menarik napas pelan, lalu menghembuskan. Aku juga memejamkan mata sejenak. Lalu dengan langkah pelan mulai berjalan. Tak ingin membuat orang menduga-duga apa yang sedang terjadi. Aku melangkah sambil menundukan kepala. Jika bisa, saat ini aku ingin menyembunyikan wajah! Aku terus berjalan. Hingga langkah sudah dekat dengan panggung, aku langsung mengangkat wajah dan tersenyum lembut pada Utami. Dia juga ikut mengukir garis indah di bibir. Aku sengaja tidak ingin melihat wajah Aksa. Aku kini sudah berdiri di dekat Utami. Acara telah di mulai. Orangtua Utami memberi sepatah kata, hingga dua orang asing yang tidak pernah aku lihat j
Kini aku telah berada di Rumah. Aku pulang menggunakan taksi. Setelah pesta pertunganan selesai, aku langsung meminta izin pada Utami dan orangtuanya untuk pulang. Aku ingin tidur cepat karena mulai besok akan memata matai Aksa. Rencanaku sudah bulat. Aku harus tahu dimana Apartemen Aksa. Karena hanya di sana, aku bisa bicara dengan puas pada Aksa. Jika di rumah, aku takut suara kami di dengar oleh Pak Candra atau para asisten. Tidak mungkin kami bisa bicara baik-baik. Firasatku mengatakan jika Aksa akan meluapkan segala kesal karena aku hadir di pesta pertunangannya. Detik jam terus berputar. Hari telah berganti. Perkuliahan baru saja selesai. Aku juga sudah selesai sholat ashar. Tanpa menunggu lama, aku langsung memesan kendaraan online yang bisa ditumpangi. Aku rasa uang lima ratus ribu di dompet, sudah cukup untuk membayar biaya kendaraan yang mau mengantarku mengikuti Aksa. Rencananya aku akan mengikuti Aksa dari belakang. Sedikit grogi karena ini pertama kali aku memata-matai s
Aku masih diam tak berkutik, hanya memandang mata Aksa yang melihatku tajam. Ya Allah, kuat kan aku untuk berbicara dengan laki-laki ini! Gerakan bibir ini, agar fasih berucap! Aku sudah berada di hadapannya. Tidak mungkin pulang sebelum mengeluarkan semua gundah dihati. “Dari mana kamu tahu apartemenku? … Dan kenapa kamu datang ke sini?” Aksa kembali berkata. Nada suara yang pelan namun penuh ketegasan. Tatapannya masih sama, penuh amarah. Aku harus bisa. Jangan sampai Aksa menutup pintu dan aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Apalagi dia sudah tahu kalau aku mengetahui tempat tinggalnya yang lain. “Aku ingin bicara serius dengan kamu, Aksa. Ini penting dan semua harus kita bicarakan,” tuturku sambil menatap Aksa. Aku tidak boleh lemah di hadapan lelaki ini. Jika itu terjadi, aku yakin dia akan puas menertawaiku dalam hatinya. “Kita? Aku tidak ingin berbicara denganmu. Lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tidak punya waktu berbicara dengan perempuan seperti
Aku terus melangkah menuruni tangga. Sesekali menghapus airmata yang masih berjatuhan dari kelopak. Tidak ingin ada yang mengira aku kenapa-napa. Hingga tiba di depan gedung Apartemen, aku langsung menghentikan taksi yang melaju. Untung saja saat tiba di sisi jalan, ada taksi yang lewat. Aku sangat murka dengan semua yang Aksa katakan. Dia belum pernah melihat aku semarah ini. Mungkin selama ini Aksa pikir, aku hanya perempuan lemah yang tidak bisa marah. Ya, itu benar, aku memang bukan seorang perempuan pemarah. Hanya saja, aku tidak bisa terus diam di perlakukan seperti ini. Handphone yang ada di dalam tas berdering. Terlihat jelas di layar, terpampang nama Utami. Kenapa Utami meneleponku sekarang? Saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya. Aku tidak mengangkat, hanya mengecilkan volume dering agar tidak menggangguku. Tak di sangka, Utami kembali memanggil. Dengan rasa yang malas, aku pun menggeser gambar telepon yang ada di layar. “Assalamualaikum, Tam!” u
“Kamu sudah siap kan untuk pindah? Nanti di bantu oleh Asisten. Ayah belum memberi tahu Aksa tentang ini. Rencananya besok saja. Yang penting kamu sudah tahu,” ujar Pak Candra sambil tersenyum lembut padaku. Aku membalas senyuman Pak Candra. Meskipun hati diliputi rasa gundah. Aku lalu menunduk. Tidak mampu melihat sosok wajah, yang sejak ijab kabul – resmi menjadi ayah mertuaku. Ya Allah, apakah engkau tidak meridhoi rencana perceraianku dengannya? Apakah Aksa itu jodohku? Kalau dia memang jodohku, kenapa engkau tidak memberikan rasa cinta dari Aksa untukku? Kenapa aku harus merasa bersalah karena mencintai lelaki yang dihatinya ada wanita lain? “Nak, kamu harus sabar ya, menghadapi sikap Aksa. Kalau dia berbuat kasar ke kamu, lapor saja ke ayah.” Aku menatap Pak Candra sejenak. Kenapa menasehatiku seperti ini? Apa mungkin dia curiga, kalau selama ini Aksa sudah banyak menyakitiku? Pak Candra – ayahnya Aksa, beliau mungkin bisa merasakan apa yang dilakukan Aksa padaku. Aku belum