Share

Istri Kedua dari Rumah Bordil
Istri Kedua dari Rumah Bordil
Penulis: Ri III

Kamar 310

Penulis: Ri III
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-29 18:07:49

“Monica, ada panggilan di kamar 310.”

“Madam, sepertinya aku sedang tidak ingin melayani siapa pun malam ini,” balasnya sembari mematikan rokok.

Wanita dewasa dengan dandanan glamor itu membuang napas berat, mengambil ponsel dan berbicara beberapa kata sebelum akhirnya kembali fokus pada Monica. Gadis cantik kesayangan rumah bordilnya itu hanya terdiam sembari menunggu kelanjutan dari keputusan akhir  Madam.

“Aku sudah membuat tawaran, tapi pelanggan di kamar itu hanya menginginkan dirimu,” ujarnya membujuk Monica. Sementara gadis itu masih bungkam, badannya seperti remuk, suasana hati yang kacau membuatnya terlalu malas untuk bertempur di atas ranjang seperti biasa.

“Tolong pikiran lagi, Monica! Dia berani membayar mahal atas dirimu. Tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!”

Ternyata benar, seistimewa apa pun perlakuan Madam padanya, tetap saja kalah jika dibandingkan dengan uang, rupiah memiliki tempat tersendiri di dalam diri Madam, bukankah harusnya ia juga sadar bahwa keberadaan dia di sini adalah untuk menjadi robot pemain yang harus patuh.

Madam menatap wajahnya penuh harap, sebenarnya ingin memaksa lebih, tapi khawatir tindakannya akan membuat Monica merasa tertekan dan tidak nyaman.

“Madam, sampai kapan aku menghabiskan hidupku hanya untuk melayani pria yang tak pernah merasa puas itu?” keluhnya sembari membuang muka. Mendengar itu, Madam tak mungkin tak tertarik untuk menanggapi.

“Satu hal yang harus kau ingat, Monica! Keberadaan kita di sini memang untuk itu. Jangan mempertanyakan hal yang sebenarnya tak perlu ditanyakan. Pria itu masih menunggumu di sana. Pergi dan layani dia sebaik mungkin!”

Ternyata benar, tidak seharusnya ia bertanya. Dengan sedikit terpaksa ia berjalan menuju kamar 310, pikirannya buntu, ia lelah, ingin lari tapi itu mustahil. Di luar jauh lebih berbahaya, tak ada yang sebaik Madam, itu kalimat yang terus diulang wanita paruh baya itu padanya. Entah kebenarannya seperti apa? Mungkin memang sangat berbahaya.

Tak terasa ia sekarang sudah berdiri di depan pintu 310. Menarik napas perlahan sampai benar-benar tenang. Bukankah dia sudah biasa menjalankan peran menjijikkan begini. Jemari lentiknya meraih gagang pintu, hanya dua ketukan dan wajah pria tampan terlihat menyambutnya dengan senang.

“Masuklah! Aku sudah menunggumu dari tadi.”

Hanya beberapa orang yang bisa memesan dirinya, dan pria tampan di hadapan Monica ini salah satunya, pesona ketampanan yang kuat, rahang kokoh, dengan alis tegas, iris mata tajam yang membuat wanita mana pun terhanyut dengan pesona yang dimilikinya. Jika Monica tebak, pria ini pasti sudah memiliki pasangan, lantas mengapa harus memaksakan diri ke tempat ini dengan tujuan mencari kepuasan.

“Ayo masuk!”

Monica melangkah dengan anggun, aroma harum dari rambut menguar menusuk hidung pria itu. Pria itu mengulurkan tangannya, berharap mendapatkan sambutan, tapi Monica merasa aneh, karena biasanya para pelanggannya tak akan membuang waktu dan langsung menyantap tubuh indahnya.

“Agar lebih akrab, panggil aku Nathan!”

Monica masih menatap tangan yang seperti menggantung disapu angin, pelan ia menyambut uluran tangan itu sebentar, sebelum kembali melepasnya dengan paksa. Genggaman tangan Nathan terlalu membuatnya risih.

“Kita akan memulainya dari mana? Jangan membuang waktu berhargaku, Nathan!”

Nathan tersenyum tipis menatap Monica, yang masih menatapnya datar. Tak ada hasrat di sana.

“Jangan terburu-buru! Tujuanku ke mari bukan untuk itu,” sahutnya membuat sudut bibir Monica terangkat, ia tersenyum sinis.

“Omong kosong!” umpatnya.

“Sungguh. Kedatanganku ke sini justru ingin menyelamatkanmu,” ujar Nathan membuat Monica tak bisa menahan tawanya.

“Menyelamatkanku dari apa? Apa kau adalah reinkarnasi dari pahlawan super di masa lalu? Jangan membuatku sakit perut dengan lelucon anehmu.”

Sekarang Monica yang duduk di bibir ranjang sembari memegang perutnya. Baru kali ini ia mendapat pelanggan yang suka membual. Nathan menatap lekat wajah Monica, membuat gadis itu mendadak terdiam.

“Aku tahu kau pasti ingin terbebas dari tempat ini ‘kan? Aku ingin membawamu pergi dan memulai hidup baru,” ucapnya meyakinkan.

“Mau sampai kapan kau berada di sini? Kau tertekan dan aku tahu itu,” lanjutnya lagi. Monica memutar bola mata malas, meski sedikit tertarik tapi ia tak boleh terjebak. Monica tahu betul bahwa semua ada timbal baliknya, mustahil ia menawarkan kebebasan tanpa meminta imbalan yang entah apa.

“Apa yang kau inginkan dariku?” Monica bertanya dengan suara datar, memalingkan wajah dan berdiri membelakangi.

Nathan sedikit kagum, ia pikir semua wanita yang ada di tempat ini hanya memikirkan kesenangan tanpa berpikir kritis, dan Monica satu-satunya wanita yang ia pikir cerdas. Kedua tangan dimasukkan ke kantong celana.

“Menikahlah denganku!”

Monica terdiam sebentar, kemudian tersenyum miring.

“Sudahi kegilaanmu, Tuan Nathan yang terhormat! Kau baru saja melamar seorang pelacur. Benar-benar tidak masuk akal. Jika memang tak ingin dilayani, pulang dan biarkan aku pergi dari sini. Menyebalkan sekali manusia sekarang!” maki Monica.

Ia beranjak bergegas pergi, tapi suara Nathan menahannya.

“Aku sadar sudah melamarmu. Tapi kita berdua akan sama-sama diuntungkan di sini. Dengar! Ibuku sedang sakit, dan wajahmu begitu mirip dengan Arini. Aku yakin setelah melihatmu, kondisinya akan membaik.”

Monica merasa ada yang janggal. Bagaimana bisa Nathan menciptakan berita bohong hanya untuk membujuknya. Wajah yang mirip? Memang benar, setiap manusia memiliki tujuh kembaran di dunia, tapi dalam jarak sedekat ini, itu mustahil. Modus pria memang berbahaya rupanya.

“Dongengmu bagus, tapi aku tidak tertarik. Hadirmu di sini dan berani membayar mahal atasku saja sudah membuatku curiga, apa lagi dongengmu yang sekarang. Sepertinya kau memang sudah merencanakan semuanya, ya?” cecar Monica membuat Nathan terdiam. Ia berpikir keras, menaklukkan Monica ternyata tak semudah itu.

“Baiklah aku akan berkata jujur. Sebenarnya sudah lama aku mencari orang yang mirip dengan Arini, dan ternyata aku menemukanmu di salah satu media sosial, kau bernama Monica, wanita yang menjadi daya tarik tersendiri di tempat ini. Sudah tiga tahun sejak Arini pergi, dan ibu mulai sakit-sakitan.”

Nathan terdiam sebentar, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya.

“Setelah menikah, aku tak akan menyentuhmu. Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Kebebasan, uang, rumah, mobil, semuanya. Dan aku akan mendapatkan kesehatan ibu kembali. Pikirkan lagi, Monica! Aku juga tak tertarik untuk merusak hidupmu lebih jauh.”

“Baiklah jika kau memaksa. Tapi yang harus kau tahu adalah, tidak akan mudah keluar dari tempat ini, Madam punya backingan yang lebih kuat, hidupmu juga akan terancam jika dirimu nekat membawaku keluar,” balas Monica.

Monica memberitahu Nathan tentang rumah Bordil yang tak pernah jadi sasaran para oknum berseragam, tempat yang sangat terjaga dan aman untuk segala macam transaksi haram selain dilayani para wanita panggilan di dalamnya. Monica juga memberitahunya bahwa ada beberapa orang yang juga mencoba kabur, tapi selalu berakhir kembali ke tempat ini dalam keadaan yang sedikit memprihatinkan. Sebegitu besar pengaruh mister A di rumah bordil Madam, juga hubungan gelap yang keduanya jalin membuat Madam dan para pelanggan setianya tetap aman sampai saat ini.

“Kau yakin bisa membawaku keluar dari sini?” tanya Monica ragu.

“Tentu. Ikuti aku!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Akhir Segalanya

    "Di mana Adam?" William baru saja masuk rumah, padahal ia sudah sengaja pulang saat malam semakin larut, tapi ternyata Arini belum juga tertidur. Matanya sembao seperti baru habis menangis. "Dia pasti sibuk dengan urusannya, Sayang." William mencoba berkelit seperti tak tahu apa pun. "Katakan di mana Adam! Apa dia masih berani menunjukkan muka setelah apa yang ia lakukan?" William terdiam. Ia yakin cepat atau lambat kabar ini akan tersebar. Arini terduduk di sofa dengan tatapan kosong. Ibu mana yang tak sakit hati ketika tahu, bahwa putranya melakukan kejahatan. "Aku sudah membesarkan pembunuh," lirihnya sedih. Air mata yang sejak tadi kering perlahan turun dan membasahi pipi. "Monica begitu menjaga dan melindungi aku dari bahaya, tapi aku malah melahirkan pembunuh untuk mencelakai putranya. Ibu macam apa aku ini?" William mendekat dan mendekap Arini penuh sayang. "Padahal sebentar lagi Allea akan menikah, tapi ketika mendengar kabar Adam menjadi pembunuh yang hampir membuat

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Di asing kan

    William yang saat itu berada di laboratorium, mengecek sidik jari yang mereka temukan, tidak menyangka jika ternyata sidik jari itu milik Adam. Akhirnya tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi Nathan dan Edgard, menceritakan semuanya tanpa mengabari Arini, istrinya pasti akan sangat khawatir dan ia tentu saja tak ingin hal itu terjadi. "Ayah kecewa padamu," lirih William yang seperti kehilangan semangatnya. Adam menatap William yang menunjukkan raut kecewanya yang jelas. "Ayah dan Ibu tak pernah mengajarimu menjadi pemberontak dan pembunuh, kau ditempatkan di posisi paling aman karena ibumu sangat menyayangimu. Sejak kecil, kau dan Allea adalah hidupnya." "Ayah, aku melakukan ini karena iri pada Edward, mengapa ia bisa dipilih menjadi orang paling berpengaruh sementara aku tidak?" William membuang napas berat. "Itu hak kakekmu, dia yang pebih tahu siapa yang paling kuat dan tangguh, tapi bukan berarti dirimu tidak mampu. Aku, ayahmu pernah mengajukan dirimu sebagai cucu pal

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Iri Dengki

    "Apa maksud semua ini, hah? Jujur, paman pasti kecewa ketika tahu siapa dalang di balik semua ini." Pria yang ternyata adalah Adam itu tertawa jahat, ia bersusah payah berdiri, menatap Edward yang sepertinya syok, tapi Adam tak peduli. Ia jujur sangat membenci Edward. "Bibi dan paman adalah orang baik, mereka tak pernah gagal dalam mendidik dirimu. Kenapa harus berjalan menjadi musuh? Jika kau memang tertarik dengan dunia misi, harusnya mengajukan diri menjadi satu kelompok yang utuh, bukan malah menjadi musuh. Aku tak ingin ada pertumpahan darah di keluarga kita, Adam." "Diam kau munafik! Apa kau tak sadar jika semua ini bermula dari dirimu?" Edward semakin kebingungan, ia heran mengapa bisa Adam berpikir seperti itu, padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Adam si sibuk kerja menjadi arsitek muda, sampai jarang memiliki waktu bersama keluarganya. Tiba-tiba jadi seperti ini. "Kau yang berhasil menjadi pusat perhatian, keamananmu sangat dijaga, bahkan ayahku sangat meli

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Siapa Max?

    "Sial! Edward sok pintar itu selalu bisa menemukan celah. Tidak! Dia pikir akan mudah menangkapku?" Pria dengan topeng perak itu duduk di kursi, sebuah ruangan temaram dengan banyak layar monitor di sekitar menjadi tempat paling nyaman, tempat di mana tak satu pun orang yang berhasil mendeteksi keberadaannya. Tapi telepon milik salah satu anak buahnya tidak sengaja menunjukkan poisis terakhirnya saat ini. Pria yang dikenal sebagai Max itu sudah mempersiapkan ini sejak awal, ia memiliki banyak tempat pelarian, dan ia yakin sepintar apa pun Edward, tidak akan bisa menemukan dirinya dengan mudah. Pundi-pundi rupiah dan emas batangan menumpuk di mana-mana, hampir semua titik menjadi tempat persembunyian uang hasil penjualan organ manusia, dan itu ia lakukan dengan rapi sekali. Sayangnya beberapa kacungnya ceroboh, hingga mampu terendus oleh hidung tajam Edward. "Aku memang memiliki banyak kesempatan untuk membunuhmu, tapi aku tidak melakukan itu sekarang." Kedua tangannya mengepal k

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Otak Sesungguhnya

    "Ngga bisa dibiarkan! Ali just my mine, not her. Argh, shit!" Bianca sibuk memaki. Napasnya sesak, sedari dulu ia memang menginginkan Ali, melakukan seribu satu cara untuk mendekatkan diri dengan Aliando, tapi nyatanya sejak masuk di bangku kuliah, Allea dengan lancang masuk ke hati Ali, gadis sialan itu bahkan mencuri perhatian orang tua Ali, jalannya begitu mulus, sekali pun ia menghasut agar Allea dibenci, tapi dokter cantik itu seperti tak memiliki celah untuk membuktikan keburukan Allea. Bianca pulang dengan rasa kesal, di kamar ia meminum banyak pil dengan asal, atanya berkunang-kunang, bayangan masa kecil dengan puing-puing kenangan bersama Ali berputar di benaknya. Mata hingga pipinya basah. Ia memang bisa mendapatkan segalanya. Harta, kecantikan, perhatian kedua orang tuanya, tapi ia ditakdirkan memiliki penyakit kronis yang membuatnya harus bergantung sepenuhnya pada obat-obatan, bahkan menjadikan Ali semangatnya untuk sembuh. Selama ini berusaha kuat dan sehat, karena

  • Istri Kedua dari Rumah Bordil   Inikah Cinta

    "Konsep pernikahannya bagus, ya." Allea dan dokter muda bernama Aliando duduk di sebuah meja yang tak jauh dari tempat Evelyn dan Leo berada, mereka juga melihat langsung keributan yang baru saja tercipta, tapi tak satu pun dari keluarga Evelyn yang turun tangan untuk mengatasinya, mereka memilih berpura-pura buta dan tuli. Lagi pula ini acara sakral Edgard, jika mereka ikut turun tangan membela Evelyn, masalah akan semakin panjang, toh semua masalah sudah selesai dengan cepat karena Evelyn memang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. "Iya, bagus. Jadi, kapan kau siap menikah? Aku akan siapkan konsep pernikahan yang lebih meriah dari ini," balas Ali semringah. Allea membatu sesaat, kemudian menatap ke arah pelaminan lagi, di mana sepasang raja dan ratu sehari itu berada. Ia memang sudah dilamar, cincin terpasang sempurna, tapi untuk menentukan kapan hari pernikahannya sendiri pun ia tak tahu. Allea menyimpan masalahnya sendiri. Padahal ia terlahir dari keluarga cemara, tak ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status