***"Bu, kita mau kemana? Kenapa pakai baju bagus?" tanya Caca dengan lembut. Mungkin dia heran karena aku memakaikan baju yang dibeli saat lebaran. "Hari ini kita pergi jalan-jalan, sayang." Aku memakaikan baju di badan Caca dengan terburu. Kami harus keluar dari sekarang. Saat ini di Rumah hanya ada aku dan Caca. Semua orang sedang berada di pasar dan akan pulang ke Rumah di malam hari. Kebetulan ini hari minggu. Biasanya jika hari Minggu, pasar akan tetap ramai hingga malam. Jika ada yang melihatku keluar rumah dengan berpakaian rapi, pasti akan ada banyak lontaran pertanyaan."Kalau ada yang tanya kita ke mana, katakan saja kalau kita mau ke Rumah Nenek." Setelah Caca sudah rapi, aku pun mengganti baju. Memakai celana hitam dan baju marun. Rambut di ikat, tak lupa masker yang menutupi wajah. Aku melihat pantulan diri depan cermin. Benar kata Mas Daris, aku kini sangat gemuk. Sudah lama tidak menimbang badan. Tak tahu berapa kenaikan berat badanku saat ini. Setelah melahirkan
Kami tiba di Mall ketika jarum jam menunjuk pukul sebelas. Aku melihat wajah Caca yang sangat ceria. Berjalan sambil menampakan wajah yang bahagia."Bu, Caca boleh beli mainan?" tanya Caca saat kami melewati toko mainan. "Nak, kamu main saja ya di sini. Jangan beli mainan. Terserah mau main apa saja. Pokoknya hari ini Caca bisa main sepuasnya. Tetapi ibu tidak mengizinkan untuk membeli mainan dan dibawa pulang." "Memangnya kenapa, Bu? Kenapa aku tidak bisa beli mainan? Aku ingin beli barbie, beli boneka panda, beli tas sekolah. Tidak apa-apa kalau aku tidak main, Bu. Asalkan bisa beli dan dibawa pulang. Uang yang dikasih oleh ayah dibelikan saja mainan ya, Bu." Andai saja kami sudah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Daris, aku akan menyuruh Caca untuk membeli sepuasnya yang dia mau. Aku tak akan membiarkan dia menjadi anak yang seakan memiliki ibu tidak mampu. Hanya saja, sekarang tidak bisa. Jika aku membelikan mainan untuk Caca, ibu mertua pasti akan banyak bertanya tentang asa
***"Elena, setelah Caca sarapan, kamu mencuci! Semua baju sudah ada di mesin cuci," ujar Mbak Intan yang kini berdiri di hadapanku dengan pakaiannya yang sudah rapi. Mungkin dia mau ke Pasar."Caca sedang sakit, Mba. Aku sulit untuk mencuci kalau dia sedang rewel. Di dapur juga masih ada piring kotor bekas sarapan tadi, belum sempat aku cuci."Aku berkata sambil menyuapi Caca. Tanpa perlu melihat wajah Mbak Intan. Baru saja beristirahat, dia sudah menyuruhku lagi. Ya, aku menganggap menyuapi Caca adalah istirahat. Setidaknya bisa duduk dan meluruskan badan. Sejak bangun jam lima subuh, aku sudah menyibukan diri dengan membuat sarapan untuk semua orang di rumah. Mencuci piring bekas makan semalam yang belum sempat dicuci. Sekarang Mbak Intan menyuruhku lagi. Tidak bisakah dia membiarkan aku beristirahat sejenak?"Ya Allah, Elena! Ya kan Caca tidak rewel. Jadi, kamu bisa tinggal sebentar untuk nyuci bajuku. Lagipula tidak banyak kok. Jangan malas. Jangan hanya mau tinggal gratis di sin
"Caca duduk di sini dulu ya, ibu mau bersihkan dapur. Kalau nanti ayah pulang, terus rumah masih kotor, ayah akan memarahi ibu. Jadi Caca main sendiri dulu ya."Setelah mendapat anggukan dari Caca, aku langsung menurunkannya dari pangkuan dan menuju dapur. Aku berdiri di pintu. Kepala menggeleng melihat pekerjaan yang harus diselesaikan. Mencuci piring, mengepel rumah, dan memasak untuk makan siang. Mungkin pekerjaan rumah tidak akan terasa berat jika aku hanya mengurus keluarga kecilku. Tetapi jika dijadikan pembantu di Rumah mertua, rasanya sungguh sangat berat. Apalagi diam-diam aku bekerja mencari nafkah. Ya, aku selalu meluangkan waktu siang sampai jam empat sore untuk menulis. Selain karena waktu itu aku tidak sibuk mengurus rumah, semua orang juga jarang ada di rumah. Tetapi meskipun ada orang di rumah, aku juga sering menyempatkan untuk menulis. Kebetulan aku menulis menggunakan handphone, sehingga tidak menaruh curiga di banyak orang jika aku sering memegang handphone dalam w
Terdengar tawa dari sosok lelaki yang terbaring di sampingku. Entah apa yang membuatnya tertawa? Entah apa yang menurutnya lucu?"Mau jadi apa kamu kalau kita bercerai? Bisa apa kamu, Elena? Kamu hanya perempuan yang tidak lulus SMA. Kamu masih sadar 'kan kalau tidak punya ijazah SMA? Dulu kamu dikeluarkan karena telah mempermalukan sekolah. Sekarang ini kalau mau keterima kerja, minimal harus punya ijazah SMA. Kamu mau makan apa kalau pisah dari aku? Memangnya ibumu masih mau menampung kamu? Dan lelaki mana yang mau menikah dengan kamu kalau nanti kita berpisah, perempuan janda yang dulunya menikah karena hamil duluan. Di kampung ini namamu sudah terlalu buruk. Tidak ada lelaki yang akan menjadikan kamu istri. Kalau pisah denganku, selamanya kamu akan menjadi janda. Coba lihat dirimu, betapa jeleknya kamu sekarang. Badan gendut tidak berbentuk, lelaki mana yang akan naksir kamu. Jangan menambah masalah di hidupmu dengan bercerai denganku. Sudah untung di rumah ini bisa hidup tenang da
***Aku pulang ke Rumah untuk istirahat, tetapi Elena membuat mood ku rusak. Dia sudah banyak berubah. Perempuan yang dulu sangat dicinta, kini menjadi perempuan yang aku benci. Sifatnya yang dulu lembut dan penurut, sekarang berubah sebaliknya. Dia selalu saja membantah ucapanku. Aku tidak suka perempuan yang selalu mengajak debat. Sebagai istri, seharusnya dia diam saja ketika aku menasehati. Yang tadi aku katakan benar, rumah berantakan karena mainan Caca, aku tidak suka melihatnya. Sedangkan Elena hanya bermain handphone di kamar. Wajar jika aku marah!"Lah kok datang lagi, bukannya tadi Mas katakan kalau mau pulang istirahat karena ngantuk," ujar Lona — adik bungsu ku yang cerewet. Dia sedang menyantap bakso yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa istirahat. Capek berdebat dengan Elena." Aku berkata dengan nada gusar. Pikiran kembali mengingat perkataan Elena. Selama ini dia belum pernah meminta pisah. Berani sekali dia berkata begitu. Aku bukan takut kehilangan Elena. Sungguh,
Saat ibu sedang asyik bicara, Mbak Intan datang. Dia langsung ikut bergabung. Lona menyampaikan rencana kami pada Mbak Intan. Ternyata Mbak Intan juga sangat senang. Responnya sama seperti ibu dan Lona. "Kamu dulu kenapa bisa suka sih sama Elena? Padahal Elena juga nggak cantik cantik amat. Aku curiga kalau dia itu sudah kirim guna-guna agar kamu suka padanya. Secara, dia dari keluarga miskin melarat. Sedangkan kita orang berduit. Pasti ada niat tersembunyi." Mbak Intan memecah keheningan. Dia adalah orang pertama yang mengamuk saat dulu aku ingin menikahi Elena. Dia sangat marah dan tidak setuju. Dia bahkan mendatangi Elena sebelum ijab kabul. "Mungkin itu benar, Mbak. Sebelumnya, aku tidak ingin menikahinya karena merasa masih muda dan belum ada niat untuk menikah. Tetapi, ada rasa yang tidak bisa aku lepas. Aku sangat mencintainya dan merasa sangat bersalah jika tidak menikahinya. Mungkin saat aku mengatakan tidak mau menikahinya, dia langsung pergi ke orang pintar untuk berbuat j
Elena menatapku dengan tajam. Aku yakin emosinya sudah memuncak. Kenapa dia yang marah? Seharusnya aku yang sangat marah karena dia telah menggangguku. Gara-gara dia aku kalah.Selama ini Elena selalu beraktivitas sendiri. Terlalu manja jika harus meminta tolong hanya untuk mengangkat panci air panas. Bukankah selama ini dia bisa melakukannya sendiri? Mungkin dia ingin mencari perhatian padaku. "Kamu manusia yang tidak punya hati, Mas! Air panas itu juga untuk mandi anak kamu yang baru saja sembuh dari sakit. Kalau tanganku sedang tidak sakit, aku juga tidak akan minta tolong pada kamu!" Elena langsung pergi dari hadapanku. Dia membanting pintu dengan kasar. Aku tidak peduli.Elena tampak marah, tetapi dia tidak menangis. Biasanya kalau sudah bertengkar seperti ini, dia akan berkata sambil menangis. Dia itu perempuan cengeng yang hanya tau menangis. Rasanya aku sangat menyesal telah menikah dengannya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada yang bisa aku banggakan darinya. Perkataan Ibu, M