Share

Bab 7. Tak Ada Tempat Untuk Pulang

Setelah ijab kabul, aku di bawa oleh Mas Daris untuk tinggal di rumahnya. Beberapa hari tinggal di Rumah Mas Daris, aku tetap mendapatkan perlakuan buruk. Bahkan saat ada Mas Daris pun, aku tetap di hina. Mas Daris tak membantu, dia hanya diam saja dengan alasan, tak ingin membuat masalah lagi karena dia telah mempermalukan keluarganya. Apapun kalimat jahat yang keluar dari bibir orang tua dan keluarganya, Mas Daris hanya menyuruhku bersabar. 

Pernikahan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku pikir setelah Mas Daris bertanggung jawab, aku akan merasakan hidup yang sangat bahagia. Ternyata itulah awal dari penderitaan. Semua orang menganggap aku lah yang bersalah. Aku perempuan murahan, tidak lebih baik dari seorang pelacur.

"Ayah marah lagi? Apa Ayah bicara kasar lagi ke ibu, makanya sekarang ibu menangis?" 

Suara Caca menyadarkan lamunan dan menghentikan Isak tangis. Aku menatap, tangan kecilnya sedang menghapus air mataku. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah tidak kuat menjalani hidup. 

Pikiranku kembali melayang di hari, saat malaikat kecilku lahir ke dunia. Aku baru dua hari selesai melahirkan Caca.  

"Cuci sendiri pakaianmu. Sudah istirahat  'kan kemarin? Siapa yang mau mencucikan pakaian mu. Ibu sibuk di pasar. Kalau duduk di Rumah menjaga  kamu, siapa yang akan mengurus toko di pasar. Suamimu juga sibuk mengantar barang belanjaan pelanggan." 

Aku membulatkan mata, saat mendengar ucapan mertua. Dia menyuruhku mencuci pakaian. Padahal yang pernah aku baca, pasca melahirkan tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Untuk mandi saja sebaiknya di bantu. Mungkin dari luar sudah terlihat sehat, tetapi sebenarnya rahim masih membutuhkan pemulihan. 

Aku tak menyangka ibu mertua akan menyuruhku beraktivitas yang berat saat keadaanku belum benar-benar pulih. Ibu mertuaku pernah melahirkan. Dia seharusnya lebih tahu dan mengerti. Tetapi sepertinya dia pura-pura tidak tahu dan masa bodoh tentang kondisiku. 

"Bagaimana kalau Mas Daris saja yang cuci pakaianku, Bu? Nanti kalau dia sudah selesai mengantar barang. Aku masih belum kuat untuk beraktivitas." 

Kala itu aku berkata dengan suara lemah. Sungguh, aku mengira jika kelahiran malaikat kecilku dapat meluluhkan hati ibu mertua, menjadi sayang padaku, seperti cerita yang pernah aku baca dan dengar. Ternyata tidak! Dari perlakuannya, dia hanya sayang pada anakku, tidak denganku.

"Mas Daris sibuk bantu ibu di pasar, Elena! Kamu jangan manja. Kalau kamu manja begini, kapan bisa pulih? Ibu juga pernah melahirkan tetapi tidak manja seperti kamu. Jadi perempuan itu jangan lemah. Baju mu juga tidak banyak. Jangan berharap Mbak Intan yang akan cuci. Dia juga sibuk bantu ibu di pasar dan dia bukan pembantumu." 

Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan ibu mertua. Dia lalu meninggalkan aku di Rumah sendiri. Salahkah jika aku berharap dimanja oleh suami setelah melahirkan? Kenapa semesta tak mengizinkan?

Aku merasa sangat tertekan karena harus melahirkan di Rumah mertua. Hanya saja tidak ada pilihan selain melahirkan di Rumah mertua. Itu permintaan ibu mertuaku yang tidak bisa dibantah oleh Mas Daris, harus melahirkan di rumahnya, tidak boleh di rumah ibuku. Mungkin ibu mertua sengaja ingin menyiksaku. Bukan ingin berpikir buruk, tetapi kenyataan tak terbantahkan, aku bisa merasakan.

Tiga bulan setelah melahirkan, aku ke rumah ibu. Merasa rindu karena lama tak bersua dengannya. Aku juga ingin curhat, minta solusi atas masalah yang menimpa. Tetapi kalimat yang keluar dari bibir ibu, sungguh sangat melukai hati.

"Itu salahmu, Elena! Anggap saja itu hukuman atas perbuatanmu. Anaknya adalah lelaki yang sudah kamu pilih untuk menjadi suami. Berarti kamu juga harus menyukainya. Kalau dia berkata kasar, kamu harus terima. Wajar dia bicara begitu. Kamu telah mempermalukan keluarganya. Jika saja kamu tidak mau saat Daris merayumu berhubungan badan, semua ini tidak akan terjadi. Ibu juga tidak akan dikucilkan oleh orang di kampung ini karena telah salah mendidik anak." 

Saat itu aku pikir, bercerita ke ibu adalah pilihan terbaik. Aku mengira, ibu akan memberikan solusi. Ternyata aku sangat salah. 

Aku anak ibu. Ke mana lagi harus cerita jika bukan pada ibu? Sehina itukah aku? Sesalah itukah aku? Sehingga tidak ada lagi yang mau menerima. Bahkan ibu sekalipun, seolah melepas tangan. 

"Kalau mertua kamu jahat, itu resiko. Kamu yang sudah membuat mereka menjadi jahat pada kamu. Kalau saja kamu dengan Daris menikah baik-baik, bukan karena kecelakaan, bisa saja dia sayang pada kamu. Apalagi jika kamu telah sarjana. Mertua mana yang tidak bahagia kalau punya menantu sarjana. Ibu juga akan melakukan hal sama seperti yang dilakukan oleh mertuamu jika punya menantu yang telah hamil diluar nikah. Itu aib yang sangat memalukan. Sangat tidak pantas menyayangi menantu yang sudah mempermalukan keluarga."

Ketika itu, aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan ibu. Mata berkaca, seolah menjelaskan luka yang terlalu dalam. Merasa tidak ada lagi tempat untuk berlindung.

"Jangan pernah lagi cerita ke ibu tentang masalahmu. Jangan pernah datang lagi ke ibu untuk menceritakan tentang mertuamu. Ibu tidak ingin dengar, ibu juga tidak akan peduli. Itu akibat dari pacaran dan melakukan perbuatan sebelum waktunya. Jalani resikonya karena itu pilihanmu." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status