Share

Anak Haram Itu Apa, Nek?

Demi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. 

Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. 

Tuhan, sepertinya ini tidak bisa dipakai lagi!

Tas it robek di bagian retsletingnya yang bahkan sudah tidak berfungsi sejak setahun ini. Untuk menghindari bukuku terjatuh, aku membawa tas itu dengan memeluknya erat di dada. Namun kini ... meski kupeluk erat pun benda itu tidak bisa digunakan untuk menyimpan buku lagi. Benda itu robek besar, bahkan nyaris terbagi menjadi dua. Air mataku perlahan mengalir.

Harus bagaimana besok aku sekolah?

Otakku berpikir keras. Lantas dengan cepat mencari jarum jahit yang biasa dipakai ibu. Tali rafia yang kupilin hingga kecil segera kumasukkam ke lubanh jarum. Dengan hati-hati kujahit bagian yang robek hingga menyisakan lubang yang kuperkirakan muat untuk memasukkan buku-buku. 

Aku tersenyum senang menatap hasil kerjaku. Meski rafia hitam itu terlihat jelas di warna merah muda yang pudar, tak apa. Setidaknya benda itu bisa kupakai. 

Selesai dengan tas aku lantas membereskan beberapa buku sekolahku. Buku yang kupakai sejak kelas satu SMP itu tanpa sampul. Membuat covernya lusuh dan usang. Aku mengusapnya dengan pelan satu persatu. Lantas memasukkan ke dalam tas. Tak lupa satu-satunya pena yang kupunya kuselipkan di antara sela halaman buku agar tidak terjatuh. Setelah siap, kusimpan benda kebanggaanku di bawah meja—di laci rusak—agar tidak ditemukan Kaina. 

Aku lantas beranjak menuju rak buruk yang sudah patah kakinya. Sepasang sepatu berwarna hitam kukeluarkan dan kubawa ke tempat cucian. Aku tersenyum getir menatap sepatu yang robek di bagian depan dan bolong di bagian tumitnya. Saat hujan, aku seperti tak mengenakan sepatu karena air dengan mudah masuk ke dalam sepatu. Belum lagi kaus kaki yang hanya menyisakan bagian betisnya saja yang utuh. Bagian bawah sudah robek besar dengam berbagai jahitan. Kaus kaki itu juga sudah kendur. Maka aku terpaksa mengenakan karet gelang sebagai pengikatnya agar tidak melorot. 

"Nggak apa-apa, nanti kalau ada rejeki pasti kebeli," gumamku menghibur diri sendiri. 

Tidak! 

Membeli peralatan sekolah adalah hal yang tidak mungkin kulakukan. Bukankah Bapak sudah melarangku dengan alasan menghabiskan uang saja?

Air mataku tak terbendung ketika mengingat bagaimana Bapak sering marah ketika aku pergi sekolah. Sebelum berangkat Baoak akan mencaci dan marah. Saat pulang sekolah pun tak jarang kemarahannya disertai pukulan. Beliau marah karena aku tidak ada di rumah dan meninggalkan Kaina yang masih kecil sendirian. 

Lalu aku harus bagaimana?

Brak ....

Aku tersentak bangun. Kulihat ke dalam Bapak memasuki rumah dengan terhuyung. Dia tertatih mencari pegangan, menahan berat tubuhnya yang semakin limbung. Sepertinya Bapak mabuk lagi. 

"SANTI!"

Teriakkan Bapak sampai ke telingaku. Dia pasti mencari ibu. 

"HOI, DI MANA KAU?"

Aku memberanikan diri untuk mendekat. "Ibu lagi jualan, Pak," ucapku mulai gemetar. Bapak hanya terkekeh. Dia lantas duduk di kursi dan melambaikan tangan ke arahku. Aku semakin mendekat. 

"Kalau bapak pulang ...." Bapak menarik kepalaku untuk dekat ke wajahnya. "BAWA MINUM!" teriaknya kuat dan tiba-tiba membuatku tersentak kaget. Dengan kasar Bapak mendorong kepalaku hingga nyaris terjatuh ke lantai. Dengan cepat aku ke dapur dan menuang air di dalam cangkir dengan tangan gemetar. 

"LAMA!"

Bapak menerima uluran cangkirku lantas memukulkan benda itu ke kepalaku setelah isinya habis. Aku meringis kesakitan. 

"Huek ...."

Cairan pekat dengan bau menyengat menyembur dari mulut Bapak ke lantai, nyaris mengenaiku. Aku beringsur menjauh dan menahan mual ketika Bapak kembali muntah. Seluruh minuman keras yang masuk ke perutnya sepertinya kini tumpah semua. Lantai semen kasar yang baru saja kubersihkan seketika kotor oleh cairan pekat bercampur gumpalan-gumpalan kecil. Aku ikut muntah di belakang. 

Kudengar suara kursi yang roboh disertai bedebum sesuatu yang berat terjatuh. Bapak tersungkur dari kursinya. Tergeletak tak berdaya di lantai yang kotor, menimpa muntahannya sendiri. 

*****

"Lelaki tidak berguna! Bisanya cuma mabuk saja!"

Aku yang tengah menghangatkan nasi di atas tungku sontak menoleh. Segera kurengkuh Kaina yang duduk di sampingku. 

"Sampai kapan kau habiskan uang hanya untuk perutmu sendiri, hah?"

Aku diam sembari terus menjaga api agar tetap menyala. 

"Aku capek begini terus."

Suara Ibu mulai bergetar, menahan tangis. Tak lama kemudian suara tangis Kinara mulai menggema. 

"Aku capek hidup susah terus!"

Kulihat Ibu duduk di lantai yang kotor. Dia menutupkan tangan ke wajah, menahan tangis. Sementara Kinara terus menggeliat dan menangis di pangkuannya. Aku mendekat, berharap ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu Ibu. 

"Apa kau? Apa yang kau lakukan sepajang hari di rumah, hah?"

Aku mengerut takut. 

"Kau sudah besar, Kaleena, berpikirlah untuk cari uang!"

Mataku mulai mendung dengan dada yang perlahan sesak. 

"Jangan cuma jadi beban saja!"

Aku menelan ludah. 

"Hehe ...." Aku dan Ibu menoleh ke arah Bapak yang mulai terbangun. Dia menggeliat dan perlahan duduk dengan susah payah karena mungkin mabuknya masih tersisa. "Aku kan sudah bilang, jangan kau besarkan anak haram ini!"

Ibu menatapku tepat saat juga menatapnya. 

"Sudah kubilang kan dulu, dia anak haram! Buang saja! Haha ...."

"Diam kamu!" Ibu mendorong tubuh Bapak yang lemah hingga kembali berbaring di lantai. Lelaki itu masih tertawa. 

"Siapa anak haram, Bu?" tanyaku pelan memberanikan diri. Kutatap lekat wanita pemilik hidung bangir dan bibir tipis yang diturunkam padaku itu. 

"Apa? Mau tahu aja kau anak kecil!"

Aku menunduk dan membiarkan Ibu melewatiku. 

"Ya, semua karena kamu. Anak haram!"

Dadaku seolah dihantam batu besar. Terkejut, sakit, dan kini mulai berdarah.

"Gara-gara hamil kamu aku dipecat. Diusir keluarga dan hidup miskin dengan lelaki bejat sepertinya!" 

Air mataku mulai mengalir deras, tak mampu lagi kutahan. 

"Harusnya memang aku tidak membesarkan anak haram macam kamu!"

Aku menjerit. Menjerit kuat dengan tangan yang menggaruk lantai kasar. 

"Apa? Nggak terima!"

Ibu menjambak rambutku dengan kuat dan menariknya hingga membuatku berdiri. 

"Masih untung kau kulahirkan dan kuurus!"

"Aku nggak minta dilahirkan!" teriakku membalikkan tubuh untuk menatap Ibu. 

Plak ....

Satu tamparan keras membungkamku. 

"Anak kurang ajar! Sudah berani kamu, ya?"

Ibu meletakkan Kinara yang menangis di lantai, beralaskan kain gendongan lantas kembali menarikku. 

"Sini kamu!"

Ibu menarik rambutku dengan keras. Rasanya sebagian rambutku terlepas dan pedih. 

"Mulai kurang ajar, ya, kamu!"

Ibu mendorong tubuhku ke pemandian, membentur tembok semen. Diraihnya gayung berisi air dan menyiramku bertubi-tubi. Bukan hanya air yang mampir ke tubuhku, tapi juga pukulan dan tendangan juga mendarat di sekujur tubuh. 

"Ampun, Bu!"

Aku merengek pelan, memohon padanya untuk berhenti. Namun sepertinya percuma. Ibu terus mengguyur tubuhku dengan air dan terus memukulku. Tak peduli jika aku menjerit dan berteriak memohon ampun. 

"Kamu pikir mudah membesarkan kamu, hah? Aku malu, bahkan seumur hidup," ucapnya dengan suara yang mulai gemetar.

Guyuran air di tubuhku mulai berkurang. Kulihat Ibu perlahan duduk di depanku, masih dengan gayung di tangan. 

"Aku menanggung malu karena kamu! Aku susah karena kamu! Dan sekarang ...." Ibu menatapku lekat. Kami bersitatap. Kulihat kepedihan dan luka mendalam di mata yang basah itu. Mata dengan lingkaran biru kehitaman di sekitarnya. "Sekarang kamu berani mengatakan itu?"

Aku menggeleng dan mengusap air mata. "Ampun, Bu." Aku mendekati kakinya, memeluknya dengan erat. Kucium kaki yang kasar dan kaku dengan kulit yang pecah-pecah. 

"Aku sudah cukup tersakiti, Leena. Cukup!"

Ibu menunduk. Meletakkan gayung di sampingku. Dia terisak dan menutup wajah dengan tangan. Kami menangis. 

****

Semalaman aku tidak bisa tidur. Padahal besok aku akan sekolah. Keributan sore tadi masih membekas. Setelah kejadian itu tidak ada acara makan malam. Nasi yang sudah kuhangatkan dibiarkan begitu saja di atas tungku. 

Entah kapan, Bapak sudah tidak ada di lantai. Begitu juga bekas muntahannya sudah bersih. Ibu pun langsung ke kamar, menidurkan Kinara dan Kaina. 

Aku? 

Aku memejamkan mata, tapi tak mampu terlelap menempel tembok. Semua ucapan Bapak dan Ibu terus terbayang. 

Anak haram? 

Apa itu anak haram?

Akukah anak haram itu?

Dengan cahaya remang-remang kulihat nenek yang masih menggerakkan tangan mengipasi diri dengan selembar kardus. Rupanya dia belum tidur. Aku lantas beringsut, merangkak pelan mendekatinya. Kuusap lengan keriputnya dan menciumnya. 

"Nek?" panggilku pelan. Tenggorokanku sudah serak. "Anak haram itu apa?"

Kuperhatikan dengan seksama nenek yang perlahan membuka mata dan menatapku. Bibir keriput tanpa giginya tersenyum. 

"Tidak ada anak haram!" jawabnya pelan tapi terdengar jelas. Dia mengusap wajahku pelan. "Semua anak itu baik ... suci."

Aku terdiam. 

Lalu apa maksud Ibu mengatakan jika aku anak haram? 

Dia bahkan mengatakan lebih baik membuangku dulu. Apa itu artinya aku adalah anak yang tidak diinginkan?

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status