Share

Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh

💔💔💔

Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. 

Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. 

"Sekolah, Bu."

"Jangan lupa bawa sampah!"

Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sekolah. Namun suatu hari aku berhasil mengumpulkam sekantung barang bekas dan membawanya ke rumah. Hasilnya dipakai ibu untuk membeli makan malam. Sejak itu Ibu menginjinkanku sekolah. 

Aku keluar rumah dengan hati riang. Berjalan hati-hati melewati jalan kering agar sepatuku tidak basah dan tembus oleh tanah becek. Sembari mendekap tas sekolah butut di dada. 

"Ibu kamu mana?" 

Aku menoleh. Seorang wanita bertubuh gemuk menatap tajam padaku. Dia adalah pemilik rumah petak yang kami sewa. 

"Nggak ada, Bu. Lagi kerja," jawabku gemetar. Tentu saja itu bohong. Karena akan sangat gawat jika dia tahu ibu sedang di rumah. Adu mulut tidak terhindarkan jika mereka berdua bertemu. 

"Kasih tahu ibumu, bayar uang sewa sore nanti. Enak aja tinggal udah berbulan-bulan nggak bayar. Masih untung kukasih tempat tinggal. Kalau nggak mau ke mana kalian, hah?"

Aku mengangguk lantas segera berlalu setelah wanita itu kembali memasuki rumahnya. 

Ya, ibu memang menyewa satu petak rumah kosong. Mungkin lebih pantas disebut gudang karena memang tidak layak disebut rumah. Bangunan dari bata tanpa plester itu sudah kumuh. Gentengnya sering bocor. Entah sudah berapa lapis plastik bekas yang diletakkan bapak di atasnya, untuk menghindari air memasuki rumah. Lantainya pun tak layak lagi. Semen kasar yang sudah mengelupas itu tidak pernah terlihat bersih. 

Ibu sering adu mulut dengan si pemilik rumah. Ibu kesal karena dia selalu menghina kami. Sementara dia tidak terima karena ibu selalu mengulur waktu. Ini pun entah sudah bulan ke berapa ibu tidak membayarnya. 

Ingin rasanya kami pindah ke tempat yang lebih baik. Namun kami tidak tahu harus ke mana. Semua orang di sekitar kami sudah mengenal bagaimana kehidupan kami yang sebenarnya. Jangankam untuk menyewa tempat tinggal, untuk makan saja kami kesulitan. Lantas siapa yang mau menyewakan tempatnya untuk kami tinggali secara gratis? Tentu tidak ada. Ini di kota, meski hanya di pinggiran. 

Tinggal di tempat itu, kami tidak punya tetangga. Tetangga terdekat berjarak sekitar 50 meter. Itulah mengapa tidak pernah ada yang mau peduli pada kesulitan kami. Pun mereka tak ingin ikut campur urusan keluarga kami. 

Pernah suatu ketika ibu dan bapak bertengkar. Bapa menghajar ibu hanya karena tidak ada makanan di meja. Ibu menjerit dan berlari keluar rumah dengan kandungan yang besar dan Kaina di gendongan. Ibu berteriak minta tolong. 

Tetangga yang melihat bukannya menolong, mereka malah menutup pintu rapat-rapat seolah tuli dan tak melihat. Aku yang belum paham keadaan saat itu hanya berpikir jika mungkin mereka takut dengan bapak yang membawa kayu pemukul. 

Seiring waktu aku paham. Begitulah cara kami hidup dan bertahan. Menghadapi semuanya sendiri dan tidak ikut campur urusan orang lain. 

Soal bantuan? 

Siapa juga yang akan sudi membantu orang yang bahkan tidak jelas asal-usulnya seperti kami. Datang dan pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. 

***

"Hei, ini apa?"

Aku menoleh. Seorang siswa menunjuk ke bawah. Mataku mengikuti arah kayu yang dipegangnya. Sontak mereka tertawa terbahak-bahak. 

"Dia bawa buaya, awas!"

Satu ruang kelas riuh menertawakanku. Mereka berteriak sahut-sahutan menyebut aku membawa buaya. Kalian tahu apa maksud mereka? 

Sepatuku robek bagian depan. Cukup besar. Hingga menunjukkan sebagian jari kakiku yang memang tidak tertutup kaus kaki, karena berlubang. Mereka menganggap robekan menganga di sepatuku adalah buaya. Ya, aku membawa buaya ke mana-mana kata mereka. 

Perih dan sakit, tapi aku bisa apa?

Olok-olokkan mereka tak cukup sampai di situ. Mereka menertawakan semua yang ada padaku. Gembel, karena aku mengenakan seragam yang sudah tidak layak. Gimbal karena rambutku yang kusut dan merah. Serta julukan buluk untuk kulitku yang kusam dan bersisik ketika digaruk. Anak-anak sering menjahiliku dengan menggoreskan sesuatu di kulit lenganku. Mereka akan tertawa ketika melihat garis putih terang di kulitku. Seolah mereka baru saja menorehkan mahakarya besar di sebuah kanvas.  Belum lagi postur tubuhku yang memang lebih besar dari siswa lainnya. Mereka mengejekku sebagai gadis karena melihat dadaku yang terlihat lebih menonjol. Itulah alasan lain mengapa aku sering mendekat tas di dada setiap ke sekolah. 

Di sekolah, aku nyaris tidak punya teman. Siapa juga yang akan sudi berteman dengan si lusuh sepertiku?

Aku duduk sendirian, saat yang lain duduk berdua. Mereka mengeluhkan bau badanku yang tidak enak. Padahal aku selalu mandi. Ya meski tanpa sabun wangi. 

Sepanjang sekolah, aku hanya diam dan duduk memperhatikan pelajaran. Aku juga tidak pernah maju ketika guru memintaku maju untuk mengerjakan soal di papan tulis. Semua teman mengejekku bodoh karena ini. Padahal aku hanya malu jika akhirnya mereka semua memperhatikan sepatuku yang robek atau seragamku yang kumal. 

Hari-hari kuhabiskan dengan biasa saja. Sejak datang, aku tidak pernah keluar kelas kalau bukan untuk pulang. Aku enggan keluar karena pasti aku akan jadi bahan olokan saja. Dari jendela samping tempatku duduk aku memperhatikan keadaan di luar. Semua siswa nampak senang dengan kegiatannya masing-masing. Bermain di lapangan, mengobrol di taman, atau sekedar menghabiskam uang jajan dari rumah. Untuk urusan ini aku sering menahan nyeri. Bagaimana tidak, aku hanya bisa membayangkan jika makanan enak itu memasuki kerongkonganku dan mengisi perut. Alangkah nikmatnya!

Setelah pulang sekolah, aku tidak langsung kembali ke rumah. Dengan palstik hitam besar yang kubawa aku berkeliling sekolah. Kuletakkan tas bututku di tempat yang tersembunyi lantas mulai berkeliling. Satu persatu kotak sampah kuperiksa untuk mengambil beberapa botol plastik bekas air mineral. 

"Ini!

Aku mendongak. Seorang anak lelaki mengulurkan dua buah botol bekas padaku. Aku hanya bengong. Dia lantas memasukkan paksa benda bekas itu ke dalam palstikku. Dengan cepat dia melangkah pergi meninggalkanku yang belum sempat mengucap terima kasih. Aku hanya memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh. 

"Leena?"

Aku menoleh. 

"Besok pakai ini, ya!"

"Makasih, Pak," ucapku bergetar. Dia hanya tersenyum lantas berlalu. 

Air mataku sukses mengalir ketika membuka bungkusan darinya. Sepasang sepatu. Bukan sepatu baru, tapi masih bisa dipakai. Lebih layak dari milikku. Aku lantas menatap lelaki muda yamg kukenal bernama Pak Doni itu. Guru olahragaku itu adalah orang yang paling sering memberiku sesuatu. Seragam bekas, sepatu bekas, hingga buku tulis dan buku paket. Lelaki bertubuh jangkung itu selalu memberiku barang berharga—menurutku—ketika semua orang sudah pulang. 

Terima kasih, Pak.

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status