Share

Bab 2

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 2

"Kamu mikir apa sih, Ta? Kok, dari tadi ibu lihat kamu murung terus?" tanya Naning, ibunya Puspita.

Puspita menatap ibunya sekilas, lalu melempar pandangan ke arah lain. Banyak masalah yang memenuhi benak Puspita sekarang, dari tunggakan biaya sekolah, kebutuhan hidup sehari-hari, hingga tawaran juragan Karta.

"Nggak ada, Bu. Hanya mikir ujian besok," bohong Puspita, dia tak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya dia pikirkan saat ini. Takut membuat wanita yang melahirkannya itu kepikiran.

"Kamu mau ujian?" Puspita mengangguk pelan, tanpa menatap ibunya. Dia tak ingin ibunya melihat kesedihannya.

"Kan, kamu belum bayar SPP. Memang boleh ikut ujian?" Puspita terdiam, bingung harus jawab apa. Jujur kalau Pak Hanafi hanya memberinya waktu seminggu?

"Ta, Kenapa diam? Apa kamu tergiur dengan tawaran Bude Marni? Kamu sudah bosen hidup miskin?" Kali ini suara Naning sedikit meninggi.

Bukan jawaban, melainkan suara isakan yang keluar dari mulut Puspita. Kenapa dunia tak adil padanya? Kenapa takdir tak berpihak kepadanya? Sejak ayahnya meninggal, seolah hanya nasib buruk yang selalu menjadi temannya. Begitu batin Puspita bersuara.

"Kita memang miskin, tapi bukan berarti kita nggak punya harga diri! Dengan menerima tawaran Bude Marni, berarti kamu menjual dirimu pada majikannya. Ibu nggak rela, Ta. Bagi Ibu, lebih baik hidup miskin," lanjut Naning dengan suara bergetar.

Sebelum bertemu Puspita, Naning sudah menolak permintaan Bude Marni. Dia ingin Puspita menjalani masa remaja dengan wajar, bukannya menjadi wanita pengganti demi lembaran rupiah. Tapi wanita bertubuh tambun itu bersikeras ingin bertemu Puspita, dia berharap iming-iming uang banyak, membuat Puspita tergiur dan menerima tawarannya. Apalagi Bude Marni melihat sendiri bagaimana keadaan keluarga Puspita saat ini, membuat wanita itu yakin Puspita akan menyetujui usulannya.

"Ibu, nggak usah khawatir. Puspita tidak akan menerima tawaran Bude Marni." Puspita bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri ibunya dan mencium punggung tangannya.

"Kamu mau kemana?" tanya Naning bingung.

"Mau ke rumah Mbak Zulia, Bu. Kemarin dia minta Puspita datang, untuk nyuci dan nyetrika bajunya," jelas Puspita.

"Hati-hati, ya. Kamu jangan terlalu dekat dengan perempuan itu, jangan mau kalau diajak pergi. Dia itu perempuan nggak bener," tukas Naning.

Zulia yang dimaksud Puspita, adalah tetangga mereka yang bekerja sebagai wanita panggilan di kota. Dulu, Zulia adalah kembang desa yang masih lugu dan polos. Karena kesulitan ekonomi, memaksa Zulia pergi merantau ke kota. Entah karena sulit mendapat pekerjaan, atau karena ingin dapat uang secara instan. Zulia yang bernama asli Zulaikha itu menjual dirinya pada pria berhidung belang. Dan Naning tidak mau, Puspita mengikuti jejak perempuan itu. Apalagi keadaan Puspita sama seperti Zulia beberapa tahun yang lalu.

"Iya, Bu. Puspita akan langsung pulang begitu pekerjaan selesai."

Baru beberapa langkah Puspita meninggalkan ibunya, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka.

"Coba lihat, siapa yang datang, Ta!" Belum sempat Puspita menjawab, terdengar suara salam dari luar.

Juragan Karta dan antek-anteknya sudah berdiri di depan pintu rumah Puspita, dengan wajah bengisnya.

"Mau kemana, cah Ayu?" Juragan Karta memindai tubuh Puspita dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Puspita merasa risih.

"Mau ke rumah Mbak Zulia, juragan," jawab Puspita takut-takut.

"Ke rumah Zulia? Kamu mau belajar jadi l*nte dari perempuan itu?" ejek Juragan Karta.

Tak ingin menjawab, Puspita memilih pergi. Tapi sayang, tangan Juragan Karta lebih gesit menahannya.

"Le---pas." Puspita berontak, sayangnya tenaganya tak sebanding dengan juragan Karta.

"Daripada kamu jadi lont*, lebih baik kamu menjadi istriku. Sertifikat rumah ini kukembalikan, dan kamu bisa dapat uang, serta hidup enak dalam kemewahan. Gimana? Menarik, kan?" Puspita terus berontak, meski tak berarti apa-apa.

"Pegang, dia!" Juragan Karta menyentak tubuh Puspita hingga terhuyung ke belakang. Para begundal Juragan Karta sigap menangkap tubuh Puspita, dan memeganginya.

"Tolong lepaskan anak saya, Juragan," pinta Naning dengan wajah memelas.

"Lepas?" Juragan Karta maju beberapa langkah, hingga jaraknya dengan Naning hanya beberapa jengkal saja.

Naning mengangguk pelan, wajahnya pias. "Bayar dulu utang suamimu! Maka akan aku lepas anakmu!" bentak Juragan Karta sambil menoyor kepala Naning.

"Tolong beri kami waktu sedikit lagi, kami akan mencari uang untuk membayar utang kami." Tawa Juragan Karta meledak seketika. Naning mau mencari uang? Dengan cara apa? Jalan saja sempoyongan macam orang mabuk. Begitu yang ada di dalam benak Juragan Karta.

"Kamu lupa? Hari ini adalah tanggal jatuh tempo hutangmu. Selama ini aku cukup bersabar, sudah memberi kelonggaran. Tapi apa yang kamu lakukan? Apa? Tak sepersenpun hutangmu kau bayar! Dan sekarang kamu minta waktu lagi? Mau sampai kapan? Sampai kamu matipun, kamu tidak akan bisa membayar hutangmu!" Suara Juragan Karta terdengar menggelegar, hingga membuat Naning maupun Puspita makin ketakutan.

"Sekarang lunasi hutangmu! Atau Puspita kubawa pulang!"

"Berapa hutangnya Naning padamu!" Tiba-tiba Bude Marni sudah berdiri di ambang pintu. Rupanya suara menggelegar Juragan Karta, terdengar hingga rumah Bude Marni, yang berada tak jauh dari rumah keluarga Puspita.

Semua mata tertuju pada sosok Bude Marni, yang berdiri dengan wajah garang. Sepertinya wanita itu tidak sedang membual, karena wajahnya terlihat begitu serius.

"Eh, Gembrot! Jangan ikut campur urusan orang lain! Wong, kerja jadi pembantu di kota saja, sombongnya bukan main. Dapat duit dari mana, kamu?" Sinis Juragan Karta bertanya, tatapannya mengejek, merendahkan Bude Marni.

"Katakan saja berapa hutangnya!" bentak Bude Marni tak gentar.

"50 juta! Kamu punya!"

"Hah, 50 juta? Banyak sekali!" seru Bude Marni tak percaya.

"Kenapa? Kamu tidak punya uang? Miskin belagu!" hina Juragan Karta.

Mengabaikan ucapan Juragan Karta, Bude Marni bertanya pada ibunya Puspita. "Ning, benar kamu punya utang sebanyak itu sama Juragan Karta?"

"Hutang saya hanya 20 juta, Mbak. Dulu untuk bayar biaya pengobatan suami saya, tapi setelah beberapa tahun jumlahnya jadi sebanyak itu," jelas Naning dengan suara gemetar.

"Dasar rentenir sadis! Oke, kita ke bank sekarang! Akan aku lunasi hutangnya Naning, tapi lepaskan dulu Puspita!" ucap Bude Naning lantang.

Meski bukan orang kaya, tapi majikan Bude Marni kaya raya. Uang 50 juta bukan nominal yang banyak untuk mereka. Apalagi Bude Marni membawa misi, mencari calon wanita pengganti.

"Lepaskan, Puspita!" Dua begundal Juragan Karta segera mengendurkan pegangannya di tangan Puspita, hingga gadis itu bisa lari menghambur ke pelukan ibunya.

"Oke, Gembrot! kita, ke Bank sekarang! Awas kalau kamu bohong, ya! Tubuh gendutmu itu bakal aku cincang, aku jadikan makanan binatang!" ancam Juragan Karta.

"Tutup mulutmu, Bandot Tua. Aku harap kamu membawa sertifikat rumah yang dijadikan jaminan," balas Bude Marni tak mau kalah.

"Bu, ini gimana? Kalau Bude Marni melunasi hutang kita, berarti aku harus menjadi istri majikannya," gumam Puspita, ketika Bude Marni dan Tuan Karta sudah meninggalkan rumah mereka.

"Ibu nggak tahu, Ta." Suara Naning tenggelam dalam isak tangisnya. Mereka berdua menangis bersama, meratapi nasib malang yang terus mendera.

Bersambung ....

Yuk, ramein! Dengan komen yang membangun. Terimakasih....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status