Share

Bab 2

last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-27 06:26:57

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 2

"Kamu mikir apa sih, Ta? Kok, dari tadi ibu lihat kamu murung terus?" tanya Naning, ibunya Puspita.

Puspita menatap ibunya sekilas, lalu melempar pandangan ke arah lain. Banyak masalah yang memenuhi benak Puspita sekarang, dari tunggakan biaya sekolah, kebutuhan hidup sehari-hari, hingga tawaran juragan Karta.

"Nggak ada, Bu. Hanya mikir ujian besok," bohong Puspita, dia tak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya dia pikirkan saat ini. Takut membuat wanita yang melahirkannya itu kepikiran.

"Kamu mau ujian?" Puspita mengangguk pelan, tanpa menatap ibunya. Dia tak ingin ibunya melihat kesedihannya.

"Kan, kamu belum bayar SPP. Memang boleh ikut ujian?" Puspita terdiam, bingung harus jawab apa. Jujur kalau Pak Hanafi hanya memberinya waktu seminggu?

"Ta, Kenapa diam? Apa kamu tergiur dengan tawaran Bude Marni? Kamu sudah bosen hidup miskin?" Kali ini suara Naning sedikit meninggi.

Bukan jawaban, melainkan suara isakan yang keluar dari mulut Puspita. Kenapa dunia tak adil padanya? Kenapa takdir tak berpihak kepadanya? Sejak ayahnya meninggal, seolah hanya nasib buruk yang selalu menjadi temannya. Begitu batin Puspita bersuara.

"Kita memang miskin, tapi bukan berarti kita nggak punya harga diri! Dengan menerima tawaran Bude Marni, berarti kamu menjual dirimu pada majikannya. Ibu nggak rela, Ta. Bagi Ibu, lebih baik hidup miskin," lanjut Naning dengan suara bergetar.

Sebelum bertemu Puspita, Naning sudah menolak permintaan Bude Marni. Dia ingin Puspita menjalani masa remaja dengan wajar, bukannya menjadi wanita pengganti demi lembaran rupiah. Tapi wanita bertubuh tambun itu bersikeras ingin bertemu Puspita, dia berharap iming-iming uang banyak, membuat Puspita tergiur dan menerima tawarannya. Apalagi Bude Marni melihat sendiri bagaimana keadaan keluarga Puspita saat ini, membuat wanita itu yakin Puspita akan menyetujui usulannya.

"Ibu, nggak usah khawatir. Puspita tidak akan menerima tawaran Bude Marni." Puspita bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri ibunya dan mencium punggung tangannya.

"Kamu mau kemana?" tanya Naning bingung.

"Mau ke rumah Mbak Zulia, Bu. Kemarin dia minta Puspita datang, untuk nyuci dan nyetrika bajunya," jelas Puspita.

"Hati-hati, ya. Kamu jangan terlalu dekat dengan perempuan itu, jangan mau kalau diajak pergi. Dia itu perempuan nggak bener," tukas Naning.

Zulia yang dimaksud Puspita, adalah tetangga mereka yang bekerja sebagai wanita panggilan di kota. Dulu, Zulia adalah kembang desa yang masih lugu dan polos. Karena kesulitan ekonomi, memaksa Zulia pergi merantau ke kota. Entah karena sulit mendapat pekerjaan, atau karena ingin dapat uang secara instan. Zulia yang bernama asli Zulaikha itu menjual dirinya pada pria berhidung belang. Dan Naning tidak mau, Puspita mengikuti jejak perempuan itu. Apalagi keadaan Puspita sama seperti Zulia beberapa tahun yang lalu.

"Iya, Bu. Puspita akan langsung pulang begitu pekerjaan selesai."

Baru beberapa langkah Puspita meninggalkan ibunya, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka.

"Coba lihat, siapa yang datang, Ta!" Belum sempat Puspita menjawab, terdengar suara salam dari luar.

Juragan Karta dan antek-anteknya sudah berdiri di depan pintu rumah Puspita, dengan wajah bengisnya.

"Mau kemana, cah Ayu?" Juragan Karta memindai tubuh Puspita dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Puspita merasa risih.

"Mau ke rumah Mbak Zulia, juragan," jawab Puspita takut-takut.

"Ke rumah Zulia? Kamu mau belajar jadi l*nte dari perempuan itu?" ejek Juragan Karta.

Tak ingin menjawab, Puspita memilih pergi. Tapi sayang, tangan Juragan Karta lebih gesit menahannya.

"Le---pas." Puspita berontak, sayangnya tenaganya tak sebanding dengan juragan Karta.

"Daripada kamu jadi lont*, lebih baik kamu menjadi istriku. Sertifikat rumah ini kukembalikan, dan kamu bisa dapat uang, serta hidup enak dalam kemewahan. Gimana? Menarik, kan?" Puspita terus berontak, meski tak berarti apa-apa.

"Pegang, dia!" Juragan Karta menyentak tubuh Puspita hingga terhuyung ke belakang. Para begundal Juragan Karta sigap menangkap tubuh Puspita, dan memeganginya.

"Tolong lepaskan anak saya, Juragan," pinta Naning dengan wajah memelas.

"Lepas?" Juragan Karta maju beberapa langkah, hingga jaraknya dengan Naning hanya beberapa jengkal saja.

Naning mengangguk pelan, wajahnya pias. "Bayar dulu utang suamimu! Maka akan aku lepas anakmu!" bentak Juragan Karta sambil menoyor kepala Naning.

"Tolong beri kami waktu sedikit lagi, kami akan mencari uang untuk membayar utang kami." Tawa Juragan Karta meledak seketika. Naning mau mencari uang? Dengan cara apa? Jalan saja sempoyongan macam orang mabuk. Begitu yang ada di dalam benak Juragan Karta.

"Kamu lupa? Hari ini adalah tanggal jatuh tempo hutangmu. Selama ini aku cukup bersabar, sudah memberi kelonggaran. Tapi apa yang kamu lakukan? Apa? Tak sepersenpun hutangmu kau bayar! Dan sekarang kamu minta waktu lagi? Mau sampai kapan? Sampai kamu matipun, kamu tidak akan bisa membayar hutangmu!" Suara Juragan Karta terdengar menggelegar, hingga membuat Naning maupun Puspita makin ketakutan.

"Sekarang lunasi hutangmu! Atau Puspita kubawa pulang!"

"Berapa hutangnya Naning padamu!" Tiba-tiba Bude Marni sudah berdiri di ambang pintu. Rupanya suara menggelegar Juragan Karta, terdengar hingga rumah Bude Marni, yang berada tak jauh dari rumah keluarga Puspita.

Semua mata tertuju pada sosok Bude Marni, yang berdiri dengan wajah garang. Sepertinya wanita itu tidak sedang membual, karena wajahnya terlihat begitu serius.

"Eh, Gembrot! Jangan ikut campur urusan orang lain! Wong, kerja jadi pembantu di kota saja, sombongnya bukan main. Dapat duit dari mana, kamu?" Sinis Juragan Karta bertanya, tatapannya mengejek, merendahkan Bude Marni.

"Katakan saja berapa hutangnya!" bentak Bude Marni tak gentar.

"50 juta! Kamu punya!"

"Hah, 50 juta? Banyak sekali!" seru Bude Marni tak percaya.

"Kenapa? Kamu tidak punya uang? Miskin belagu!" hina Juragan Karta.

Mengabaikan ucapan Juragan Karta, Bude Marni bertanya pada ibunya Puspita. "Ning, benar kamu punya utang sebanyak itu sama Juragan Karta?"

"Hutang saya hanya 20 juta, Mbak. Dulu untuk bayar biaya pengobatan suami saya, tapi setelah beberapa tahun jumlahnya jadi sebanyak itu," jelas Naning dengan suara gemetar.

"Dasar rentenir sadis! Oke, kita ke bank sekarang! Akan aku lunasi hutangnya Naning, tapi lepaskan dulu Puspita!" ucap Bude Naning lantang.

Meski bukan orang kaya, tapi majikan Bude Marni kaya raya. Uang 50 juta bukan nominal yang banyak untuk mereka. Apalagi Bude Marni membawa misi, mencari calon wanita pengganti.

"Lepaskan, Puspita!" Dua begundal Juragan Karta segera mengendurkan pegangannya di tangan Puspita, hingga gadis itu bisa lari menghambur ke pelukan ibunya.

"Oke, Gembrot! kita, ke Bank sekarang! Awas kalau kamu bohong, ya! Tubuh gendutmu itu bakal aku cincang, aku jadikan makanan binatang!" ancam Juragan Karta.

"Tutup mulutmu, Bandot Tua. Aku harap kamu membawa sertifikat rumah yang dijadikan jaminan," balas Bude Marni tak mau kalah.

"Bu, ini gimana? Kalau Bude Marni melunasi hutang kita, berarti aku harus menjadi istri majikannya," gumam Puspita, ketika Bude Marni dan Tuan Karta sudah meninggalkan rumah mereka.

"Ibu nggak tahu, Ta." Suara Naning tenggelam dalam isak tangisnya. Mereka berdua menangis bersama, meratapi nasib malang yang terus mendera.

Bersambung ....

Yuk, ramein! Dengan komen yang membangun. Terimakasih....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 45

    "Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 44

    "Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 43

    Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 42

    Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 41

    Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 40

    Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status