Share

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.
Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.
Author: Muzdalifah Muthohar

Bab 1

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya 1

"Apa tidak ada keringanan, Pak? Setidaknya beri saya waktu sedikit lagi," melas Puspita, pada guru wali kelasnya.

Sang guru nampak menghela nafas. "Tagihan kelas 11 masih ada yang nunggak, dan selama kelas 12 ini kamu belum bayar sama sekali. Keringanan seperti apa lagi yang kamu minta, Pita?" ucap Pak Hanafi dengan suara berat.

"Tapi saya sangat ingin ikut ujian, Pak. Tanpa ijazah saya akan sulit mendapat pekerjaan." Setengah mati Puspita berusaha menahan air matanya agar tidak menetes.

Gelap membayangi pandangannya, masa depan suram sudah menanti jika dia tidak ikut ujian akhir.

"Bapak tahu kesulitanmu, tapi ini sekolah swasta, biaya operasional harus kami biayai sendiri. Bantuan dari pemerintah tak banyak membantu." Pak Hanafi menjeda ucapannya.

Puspita terisak, air matanya tak lagi terbendung. Selama ini Pak Hanafi sudah memberinya kelonggaran, tapi Puspita masih saja belum bisa membayar uang sekolah yang nunggak. Bukan tak mau bayar, tapi uangnya benar-benar tidak ada. Sejak ayahnya meninggal, ibunya terpaksa banting tulang cari uang untuk biaya hidup mereka. Dan kini ibunya terbaring sakit, tak bisa lagi bekerja. Jangankan untuk bayar sekolah, untuk makan sehari-hari saja kesulitan. Puspita bukan tidak ingin membantu, dia sudah melakukan apa yang dia mampu. Mencuci dan menyeterika di rumah juragan Karya gajinya tak seberapa. Bagaimana mungkin bisa bayar uang sekolah?

"Baiklah Puspita, Bapak beri kamu waktu satu minggu lagi. Kamu bisa mengusahakannya, kan?" lanjut Pak Hanafi karena tak tega pada Puspita. Sayang sekali, kalau gadis cerdas dan berprestasi itu harus berhenti sekolah, karena biaya.

"Iya, Pak. Saya usahakan," jawab Puspita asal. Dia sendiri tak tahu darimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu, dalam waktu seminggu. Menggadaikan rumah gubuknya?

Puspita meninggalkan kantor, setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan pada Pak Hanafi. Dengan langkah gontai, dan wajah murung dia kembali ke kelasnya.

"Kamu ditagih lagi ya, Ta?" tanya Maghda, teman sebangku Puspita, saat gadis pemalu itu baru saja mendaratkan bokongnya.

Puspita mengangguk lesu, sebagai jawaban. "Terus?" kejar Maghda.

"Aku diberi waktu seminggu lagi, Da," jawabnya tak bersemangat.

"Emang bisa? Uang tunggakan kamu nggak sedikit, lho."

Dada Puspita terasa diremas-remas mendengar ucapan Maghda. Dia sendiri bingung harus bagaimana? Jelas-jelas ibunya tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Minta tolong saudara? Meskipun punya uang, saudaranya belum tentu mau membantu, meski statusnya hutang, nggak minta. Keluarga Puspita miskin, tak saudara yang mau mendekat atau membantu. Yang ada mereka malu punya saudara miskin.

Puspita menutup wajah dengan kedua tangannya, sebisa mungkin menahan tangisnya di depan Maghda. Meski ditangisi sampai keluar air mata darah, toh tak akan merubah apa-apa.

"Nanti juga ada rejekinya, Da." Entah dapat quotes dari mana, Puspita mengatakan kalimat bijak itu.

* * * * * * * * *

"Nah, ini dia Puspitanya," ucap Yu Marni, wanita paruh baya tetangga Puspita, dengan antusias.

"Eh, ada Bude Marni. Sudah lama Bude?" tanya Puspita basa-basi. Lalu menyalami Bude Marni, dan ibunya yang sedang duduk di bale teras rumah.

Gadis manis itu kemudian mengambil duduk di depan ibunya yang duduk sambil bersandar pada dinding.

"Iya, aku dari tadi lho, nunggu kamu pulang. Dari mana saja, to? Kok jam segini baru sampai?" tanya Marni ramah.

"Kan, Pita jalan kaki, Bude. Jadi lama sampai rumah. Emang ada apa? Kok Bude nyari Puspita," tanya Puspita penasaran, karena tak biasanya wanita yang sudah lama bekerja di kota itu menemuinya.

"Bude, punya tawaran yang menarik buat kamu. Tadi Bude sudah ngobrol panjang lebar sama ibumu, dia cerita bagaimana kesulitan kalian selama ini. Jadi Bude datang ingin membantu," ucap Bude Marni sambil mengulas senyum.

Puspita menatap ibunya, lalu menatap wajah Bude Marni. Dia masih belum bisa mencerna ucapan Bude Marni.

"Nggak usah bingung begitu. Biar Bude jelaskan, kamu simak baik-baik, ya? Setelah itu kamu bisa memutuskan, mau menerima atau menolak," ucap Bude Marni seolah tahu kebingungan Puspita.

"Iya, Bude." Puspita membaiki posisi duduknya, siap menyimak cerita Marni.

"Majikan Bude itu sudah lima tahu menikah, tapi belum dikaruniai anak. Sayangnya majikan perempuan Bude tidak mau hamil, padahal dia sehat. Dia juga tidak mau mengadopsi anak, dia maunya punya anak dari benih suaminya sendiri. Kan bingungke, to?" ucap wanita itu disertai kekehan.

Puspita tak bereaksi, dia masih menunggu Bude Marni melanjutkan ceritanya.

"Jadi, kedatangan Bude kesini itu, mencari calon istri untuk majikan Bude. Dan menurut Bude, kamu cocok jadi istri keduanya majikan Bude itu. Tugasmu hanya mengandung anak Tuan Dana, dan melahirkannya. Setelah itu kamu bebas mau apa saja, karena Tuan Dan akan menceraikanmu begitu selesai masa nifasaka. Tenang saja, kalian hanya akan menikah sirri. Tak ada pencatatan apapun, statusmu tetap perawan. Jadi tak ada yang tahu kalau kamu sudah pernah menikah dan melahirkan. Jangan khawatir, ada imbalan yang tak sedikit buat kamu. Kamu bisa bayar tunggakan SPPmu, bisa biayai pengobatan ibumu. Dan rumah ini, bisa kamu tebus dari juragan Karya. Enak, to?" jelas Bude Marni panjang lebar.

Puspita mengambil nafas dalam-dalam, memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya ke otaknya bisa berfikir jernih. Dia memang lugu, tapi tidak bodoh. Majikan Bude Marni mencari wanita pengganti untuk mengandung keturunan mereka, kemudian dia akan dicampakkan begitu bayi itu lahir. Itu bukan tawaran yang menarik untuk Puspita. Kalau dia menikah sekarang, lalu bagaimana dengan sekolahnya? Setelah dia dicampakkan laki-laki itu, bagaimana nasibnya? Siapa yang mau dengan janda tak jelas macam itu?

"Saya tidak mau Bude, saya masih mau sekolah," tolak Puspita tegas.

"Lho, siapa yang mau kamu putus sekolah? Kamu boleh ikut ujian, kok. Kalian menikah setelah kamu lulus," sanggah Bude Marni.

"Tapi saya tetap tidak mau Bude, saya tidak mau meninggalkan Ibu."

"Ealah .... Wong cuma sebentar, paling nggak sampai dua tahun. Setelah itu kamu bisa kembali dengan membawa uang banyak. Kan, lumayan bisa buat modal usaha. Lagipula kamu boleh sesekali menengok ibumu, kok," tukas Bulek Marni.

Puspita terdiam, dia menatap ibunya, lalu menunduk. Kemudian menatap Marni lalu menunduk lagi. Himpitan ekonomi membuat dia tergiur dengan tawaran itu, tapi tak rela harga dirinya terjual.

"Pak Dana itu masih muda, ganteng, kaya. Bukan kakek-kakek tua macam juragan Karya yang ingin menjadikanmu istri keempatnya," lanjut Bude Marni lagi.

Juragan Karya sering menawari Puspita untuk jadi istri muda, dengan imbalan utangnya dianggap lunas, dan sertifikat tanahnya dikembalikan. Tapi Puspita tidak mau jadi istri tua bangka itu, dia jijik membayangkan harus melayani kakek peyot itu di ranjang.

"Wes, dipikir sek sing tenan. Jangan grusa-grusu langsung kamu tolak. Bude kembali lagi kesini besok. Bude harap kamu sudah bisa mengambil keputusan. Ingat! Pikir baik-baik, jangan hanya mikir dirimu sendiri. Mikir ibumu, mikir adikmu. Berkorban sedikit nggak pa-pa. Wes, Bude pamit." Bude Marni segera bangkit dari duduknya, setelah bersalaman dengan ibunya Puspita.

Puspita dilanda dilema, ingin menolak, tapi tunggakan SPP dan tagihan juragan Karya membayangi.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status