Share

Bab 4

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 4

"Aku tidak mau, jangan paksa aku untuk menikah lagi," tolak Dana tegas, ketika Lidya mengutarakan keinginannya.

"Hanya untuk sementara, setelah melahirkan, ceraikan dia," ucap Lidya lembut, tapi memaksa.

"Tidak, itu tidak benar. Aku tidak mau mempermainkan pernikahan. Sebagai wanita apa kamu tega mempermainkan kaummu sendiri?" sangkal Dana. Tapi bukan Lidya namanya kalau menyerah begitu saja.

"Bukan mempermainkan, tapi kerja sama yang saling menguntungkan. Kita mendapat anak, dia dan adik-adiknya, dapat melanjutkan pendidikannya, impas kan?" jawab Lidya enteng. Seolah hal dia bicara ini masalah sepele, bukan tentang masa depan seorang anak manusia.

Dana menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba mencerna jalan pemikiran Lidya, yang menurutnya tidak manusiawi.

Mereka sudah menikah selama sepuluh tahun, tapi belum juga punya momongan. Penyebabnya, Lidya tidak ingin hamil dan melahirkan, dia tidak mau repot, dan tidak ingin bentuk badannya berubah.

Tanpa buah hati, membuat pernikahan mereka terasa hambar, rumah sepi tanpa celoteh si kecil. Dana sudah sangat ingin menimang anak, membacakan cerita sebelum tidur, jalan-jalan, main bersama. Apalagi kalau anaknya laki-laki, pasti lebih menyenangkan. Bisa diajak main. Semakin lama, kerinduan akan hadirnya buah hati, semakin tidak terbendung. Sayangnya Lidya menolak keras keinginan Dana. Meski berkali-kali Dana merayu Lidya, agar mau melepas IUD nya dan menjalani promil, Lidya tetap bergeming. Baginya penampilan adalah segalanya.

"Kalau kamu tidak mau mengandung anakku, kita bisa adopsi, entah itu anak saudaramu atau saudaraku. Bagiku tak masalah, yang dia masih ada ikatan darah dengan kita," ucap Dana kemudian.

"Aku ingin darah dagingmu, bukan anak orang lain," sergah Lidya.

Dana sudah kehabisan kata, untuk meyakinkan Leodra, agar membatalkan niatnya untuk menikahkan dirinya dengan wanita yang dipilihnya.

Seorang gadis desa, tetangga Bi Marni pembantu mereka. Gadis itu berasal dari keluarga miskin, yang butuh uang untuk biaya hidup dan sekolah adik-adiknya. Sebagai anak sulung dia menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan ayahnya yang sudah tiada.

Gadis itu terancam putus sekolah, karena tidak bisa membayar SPP. Mendengar ceritanya Dana jadi terenyuh, dengan senang hati dia akan membantu. Membiayai sekolah gadis itu, hingga lulus. Anggap saja sebagai anak asuh, tak perlu menikahinya. Masa depan gadis itu masih panjang, rasanya kejam sekali memanfaatkan keadaannya, demi memenuhi hasrat untuk punya keturunan. Begitu pikir Dana.

"Apa kamu tidak khawatir, jika suatu saat kami saling jatuh cinta? Tidak kah kamu menghawatirkan keutuhan rumah tangga kita, dengan menghadirkan gadis itu?" ucap Dana, mencoba membuat Lidya memikirkan lagi ide gilanya.

"Lakukan! Tanpa perlu memakai perasaan, setelah dia positif hamil, kamu tak perlu lagi menyentuhnya, apa lagi berfikir untuk mencintainya," tegas Lidya seraya menatap dingin Dana.

Dana terpekur menatap lantai, bingung menghadapi Lidya yang keras kepala. Apapun keinginannya harus dituruti, tidak kah dia memikirkan resiko dari tindakannya? Bagaimana kalau dikemudian hari mereka saling jatuh cinta? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Dana.

"Kalau kau tidak mau menikahinya, karena takut dia menjadi duri dalam rumah tangga kita. Kita sewa saja rahimnya, jadikan dia surrogate mother, atau inseminasi buatan, tanpa kamu menyentuhnya," ucap Lidya memecah kebisuan.

Dana menatap Lidya tajam, gila! Dia memang sudah gila! pekik Dana dalam hati.

"Itu dosa, Lidya. Hukumnya sama saja dengan zinah," sergah Dana tak terima.

Rasanya percuma saja, bicara sampai berbusa-busa dengan Lidya. Baginya semua keinginannya harus terwujud, tak peduli bagaimanapun caranya. Persetan dengan hukum dan norma.

"Berarti kamu harus menikahi gadis itu," tegas Lidya.

Dana menggeleng tak mengerti, kenapa dirinya bisa jatuh cinta dan menikahi perempuan tak punya hati macam Lidya.

Dana Kembali teringat awal-awal pertemuan mereka. Dulunya Dana adalah karyawan di perusahaan milik ayah Lidya. Karena pekerja keras dan jujur, Dana mendapat promosi naik jabatan. Disinilah kisah itu berawal. Intensnya kebersamaan membuat mereka saling jatuh cinta. Entah apa yang dilihat Lidya dari seorang Dana, hingga dia lebih memilih karyawan papanya itu, padahal banyak pria kaya yang ingin mempersunting dirinya. Kalau soal ketampanan, para penggemar Lidya juga tak kalah tampan.

"Kenapa Kamu memilihku, laki-laki miskin yang tidak bisa memberimu apa-apa? Mengapa tidak memilih mereka saja, yang notabene sederajat dengan kamu?" tanya Dana, ketika Lidya memintanya melamar pada kedua orang tuanya.

"Aku bisa saja memilih satu diantara mereka, tapi aku ingin menjadi diriku sendiri. Dengan menikahi mereka, berarti aku harus siap patuh dan tunduk sebagai istri," ucapnya mengungkap alasan di balik pilihannya.

Dan ini lah yang terjadi sepanjang pernikahan mereka, Lidya lebih dominan. Bukan saja dalam urusan pekerjaaan, tapi dalam urusan rumah tangga juga. Dia lah yang mengambil keputusan, semetara Dana hanya bisa bilang, "iya".

Tapi kali ini, Dana tidak bisa menerima keputusan Lidya. Meskipun rasa jenuh kadang mendera, tapi Dana tipe orang yang menganggap perkawinan adalah sakral, bukan untuk dipermainkan.

Dana tidak mau mengorbankan gadis itu, kasihan dia. Bagaimanapun juga dia itu manusia, punya hati dan perasaan. Di mana hati nuraninya? Tega mengambil keuntungan dari kemiskinan orang lain.

Dana memang sangat ingin punya anak dari darah dagingnya sendiri, tapi bukan begini caranya. Kenapa Lidya tidak mengalah saja, dengan melepas IUDnya. Dana hanya tidak mau timbul masalah besar dikemudian hari.

"Itulah sebabnya aku memilih gadis desa, yang penampilannya masih lugu dan wajahnya biasa saja. Aku yakin kamu tidak akan tertarik padanya. karena dia tidak ada apa-apanya dibanding aku," ucap Lidya meremehkan calon istri pilihannya, setelah melihat Dana hanya diam, dengan tatapan menerawang ke depan.

"Aku butuh waktu untuk berfikir lagi Lidya, aku rasa kamu juga. Ini bukan urusan sepele," ucap Dana, lalu bangkit dari tempat duduknya hendak meninggalkan Lidya.

"Tidak ada waktu untuk berfikir, gadis itu sedang dalam perjalanan ke sini," ucap Lidya, membuat Dana menghentikan langkah.

"Masalah sebesar ini kamu putuskan sendiri, tanpa minta pendapat atau persetujuanku?" Ditatapnya Lidya, dengan perasaan campur aduk. Wanita itu selalu menuruti kata hatinya, tanpa memikirkan perasaan Dana.

"Bukankah bisanya memang seperti itu?" ucapnya tanpa merasa bersalah.

"Tidak bisakah kamu sekali saja, menghargai aku sebagai suamimu?" Dada Dana tiba-tiba terasa sesak. Menurutnya sikap Lidya kali ini sudah sangat keterlaluan, menginjak-injak harga dirinya sebagai laki-laki.

Meski selama menikah dengan Lidya, Dana tak lebih hanya karyawan, bukan suami yang seharusnya dihormati.

"Itu Bu Lidya dan Pak Dana majikan kita." Tiba-tiba saja, Bi Marni datang dari arah depan, dengan menggandeng seorang gadis muda.

Dana tertegun menatap gadis yang berdiri di hadapannya dengan tas lusuh itu. Penampilan kucelnya menyembunyikan kecantikan alami yang dia punya.

Bersambung ....

Jangan lupa tinggalkan jejak, dan kasih ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐. Terima kasih....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status