Kehidupan Layla berubah drastis setelah sang suami meninggal. Di tengah kesedihan mendalam, ia harus menghadapi berbagai tantangan sebagai seorang janda muda. Mertua yang selalu menindas, hingga munculnya Raffa, seorang pria dari masa lalunya, semakin memperumit keadaan. Rahasia terpendam dan konflik tak terelakkan mewarnai kisah "Layla dan Raffa," sebuah novel drama yang penuh liku dan ketegangan.
Ver másLayla Azhari merupakan seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya. Pernikahan yang baru dibangun selama 4 tahun dan baru dikaruniai seorang anak harus runtuh kala Farhan Hidayat, meninggal dunia karena kecelakaan motor.
Layla begitu terpukul akan kejadian yang dialaminya. Kini ia kehilangan sosok pemimpin sekaligus pelindung bagi keluarganya. Duka yang dialami Layla ternyata bukan sekedar itu, mertua yang ia kira menghargainya dengan tega mengusirnya secara halus dari rumah yang telah susah payah ia bangun bersama mendiang suaminya setahun yang lalu dari tanah pemberian ayah mertuanya. Mereka beralasan untuk meminjamkan rumah tersebut untuk ditempati anak laki-laki ke tiganya yang baru saja menikah. Apalagi ibu mertuanya itu juga merasa mendapat hak waris dari anaknya yang bahkan belum pantas untuk dibahas mengingat suaminya meninggal belum lama ini. Dan dengan santai sang ibu mertua pun menyuruhnya untuk tinggal kembali bersamanya. Layla yang merasa haknya diabaikan, merasa sakit hati dan tak terima meskipun ia hanya menantu di keluarga itu, karena dirinya juga mendapatkan hak, terlebih untuk anaknya. Layla ingin menolak dan mempertahankan rumah itu, namun karena tak ingin menimbulkan kericuhan di lingkungan keluarga besar Raihan, Layla akhirnya mengalah dan memilih pulang ke rumah orang tuanya. Ia juga tak mau tinggal bersama mertuanya lagi meskipun ada anak yang menjadi penghubung. Layla pulang ke pangkuan ibunya dan menangis tersedu-sedu. Tak menyangka keluarga suaminya memperlakukannya dengan begitu hina. Meskipun ia bukan berasal bukan dari keluarga yang setara mereka, ia juga mempunyai harga diri yang tidak bisa diperlakukan semena-mena. Sang ibu pun ikut menangis menangisi kepedihan anak bungsunya yang ia rela diambil oleh suami dan keluarga. Namun ternyata ini balasan yang ia terima. "Kamu yang sabar ya. Kamu tinggal saja disini. Ini rumah kamu. Kamu masih anak ibu." ujar Fatma menenangkan. Sementara Layla hanya diam tersedu dipangkuan ibunya. **** Mentari sore mulai merunduk di ufuk barat, mewarnai langit pedesaan dengan gradasi jingga dan merah. Di rumah Usman dan Fatma, suasana khidmat masih terasa meski tahlilan 40 hari wafatnya Raihan telah usai. Layla, dengan hijab hitamnya yang sederhana, tengah membereskan sisa-sisa jamuan. Tangannya cekatan merapikan piring dan gelas, gerak-geriknya tenang meskipun kesedihan masih tampak jelas di matanya yang sayu. Aroma rempah-rempah dari hidangan yang tersisa masih tercium samar. Suara jerit jangkrik mulai terdengar, menandai pergantian siang dan malam. Layla menghela nafas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang Raihan yang selalu mengikutinya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Layla menoleh, menatap pintu yang terbuka. Seorang pria memasuki halaman rumah, langkahnya tenang dan mantap. Pria itu tinggi, berwajah tampan dengan senyum ramah yang menghiasi bibirnya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain berwarna gelap, penampilannya rapi dan bersih, berbeda dengan suasana kampung yang sedikit berdebu. Pria itu adalah Raffa Adi Wijaya. "Assalamu'alaikum," sapa Raffa, suaranya lembut dan mengalun. Ia menyapa pada Layla yang dilihatnya. Ia tertegun sejenak, terpesona oleh kecantikan Layla yang terpancar manik hitam itu dibalut kesedihan. Layla yang tadinya fokus membereskan barang-barang, menoleh dengan sedikit bingung. Senyum tipis terukir di bibirnya, menambah pesona kecantikannya. "Waalaikumsalam," jawab Layla, suaranya halus. "Siapa ya? Dan ada keperluan apa, Mas?" Ia bertanya dengan sopan, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Raffa tersenyum sebelum menanggapi, "Saya Raffa." jawab Raffa. "Sebelumnya, bapak saya sudah berbicara dengan Pak Usman, mengenai jual beli tanah. Saya ingin membicarakannya lebih lanjut." Ia menjelaskan tujuan kedatangannya dengan tatapan intens kepada Layla. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada perempuan berhijab itu, sebuah aura yang membuat hatinya berdebar. Layla, dengan senyum tipisnya yang menawan, menunjukkan bahwa ia masih mampu tegar di tengah kesedihan yang mendalam. Layla mengangguk, memandang sejenak sosok yang ia rasa kenal, "Bapak lagi di belakang, tolong tunggu sebentar, ya. Saya permisi manggil bapak dulu." ucap Layla sembari masuk ke dalam rumah dan memanggil bapaknya. "Siapa mbak?" tanya Fitri, keponakannya itu mencegat langkah Layla yang penasaran dengan tamu di depan. "Mas Raffa namanya, kalau gak salah dia dari blok sebelah." jawab Layla yang merasa tak asing dengan wajah itu. Fitri hanya mengangguk lalu berjalan beriringan bersama Layla ke dapur. Layla menghampiri bapaknya yang tengah menyantap sisa jamuan. "Pak, itu ada tamu di depan nyari bapak." "Siapa layl?" tanya Usman menghentikan kunyahannya. "Namanya Mas Raffa." Usman pun mengakhiri suapannya dan beranjak dari kursi. Ia diiringi oleh Layla yang hendak ke kamar miliknya di depan. Saat membuka pintu, suara rengekan anak kecil langsung terdengar membuat Layla bergegas menghampiri Ibrahim, anaknya yang bangun tidur. Lalu ia pangku anaknya dan megusap-usap pelan dada kecilnya. "Anak ibu sudah bangun, hm?" tanya Layla lembut melihat mata bulat itu perlahan terbuka disertai dengan mulutnya yang menguap. Layla terkekeh dan menutup ringan mulut mungil yang masih menguap itu. Ibrahim kembali merengek karena merasa tidurnya yang nyenyak sudah berakhir. Setelah Ibra tenang, Layla beranjak keluar dari kamar sembari memangku anaknya yang baru akan menginjak usia 3 tahun itu. Di depan kamar, ia dipanggil bapaknya dari arah ruang tamu. "Layl, tolong bawa suguhan kesini, biar Ibra sama bapak dulu." Layl terdiam sejenak lalu berjalan menghampiri bapaknya yang duduk di karpet bersama tamu tadi. Usman merentangkan tangan untuk membawa Ibra yang langsung disambut senang oleh cucu pertamanya itu. Anak itu langsung berceloteh riang di pangkuan kakek kesayangannya. "Cucu pertama ya, pak?" tanya pria yang duduk di sampingnya. "Iya, biasa kalau cucu pertama suka dimanja terus." ujar Usman sembari terkekeh dan kembali menghibur Ibra dengan candaan dan beberapa kali menggelitiknya. Pria yang memperhatikan itupun ikut tersenyum melihat interaksi antara kakek dan cucunya tersebut. Layl kembali dengan nampan besar berisi piring dan gelas minuman. Ia simpan piring beserta gelas yang terisi di hadapan tamu. Kemudian ia menghampiri Ibra dan mengajak anak itu untuk makan di dapur. Namun Ibra menolak pergi dan ingin makan bersama kakeknya. Layl yang sudah berusaha membujuk pun akhirnya mengalah. Layl membawa kursi makan kecil dari dapur kemudian meletakkannya tak jauh dari Usman dan membujuk Ibra agar mau duduk di kursi makannya. "Ibra, abah sedang bicara sama tamu, Ibra makannya sambil duduk di kursi, ya?" pinta Layl memberi pengertian kepada bocah yang masih menggelengkan kepala menolak. Menyembunyikan dirinya di dalam dekapan sang kakek. "Maaf kalau mengganggu, mas." ujar Layla tak enak kepada tamu bapaknya yang terlihat sesekali memperhatikan. "Tidak apa-apa. Lagi pula bukan sedang membicarakan urusan serius." Layla tersenyum menanggapi jawaban pria yang lupa-lupa ingat di pikirannya itu. "Ayo sayang, makan dulu." Ajak Layla kembali. Kini, Ibra berhasil di bujuk dan Layla segera mendudukkannya di kursi makan. Ia kemudian menyimpan mangkuk makan beserta botol minumnya di atas meja. "Ternyata Ibra sudah mandiri, ya?" ucap tamu itu saat melihat anak kecil itu kemudian makan dengan lahap menggunakan tangannya sendiri. "Alhamdulillah mas, Ibra lebih suka makan sendiri dari pada di suapi." jawab Layl ramah. "Ya, kalau sendiri, anak-anak lebih tahu porsi yang diinginkan ketimbang disuapi. Cara makannya juga sudah rapi." terang Raffa yang dianggukki Layla. "Mamam mau?" tanya Ibra ke arah pria itu seraya mengarahkan sendok makannya. Sontak pria itu tertawa lalu menggeleng dan menolaknya, "Ibra makan saja sendiri, ya." Ibra pun melanjutkan makannya dengan sesekali berceloteh. Ketiga orang dewasa pun tersenyum melihat tingkah Ibra yang menggemaskan. "Layl, kamu ingat sama Mas Raffa ini? Putranya pak Sudirman." tanya Usman kemudian. Layla pun mengingat-ingat hingga ia akhirnya mengingat sosok di hadapannya itu. "Astagfirulloh, oh.. mas Raffa om-nya Aleea ya? Maaf mas, Layl lupa, apa kabar mas? Lama gak bertemu." tanya Layla malu. Ia benar-benar lupa siapa sosok di depannya itu meskipun raut wajahnya ia ingat sedikit. "Alhamdulillah baik. Saya memang jarang pulang kampung, wajar orang-orang di sini suka lupa sama saya." jawab Raihan sembari terkekeh. "Aleea juga suka ngeluh karena om-nya gak pulang-pulang." celetuk Layla mengingat sosok sahabatnya selalu bercerita tentang pamannya. Layla sendiri sudah begitu lama tidak melihat Raffa yang notabenenya adalah om-nya Aleea. Mungkin jika diingat, sewaktu dirinya masih SMP dirinya terakhir kali melihat Raffa karena dulu ia sering bermain di rumah Aleea. Dan kini ia kembali bertemu dengan sosok Raffa yang nampak jauh lebih dewasa dan matang. "Kamu masih berhubungan sama Aleea?" tanya Raffa berbasa-basi. "Alhamdulillah masih, cuma akhir-akhir ini belum sempat berkabar lagi." beritahu Layla akan hubungan pertemanannya dengan keponakan pria itu. "Iya, dia juga sedang sibuk dengan skripsinya." "Ohh, semoga saja cepat beres dan lulus." Harap Layla tulus. Raffa mengangguk seraya meng-amini ucapan Layla, "Sebelumnya saya minta maaf datang diwaktu yang kurang tepat. Saya juga turut berbela sungkawa atas meninggalnya suami kamu." ucap Raffa penuh simpati. Layla tersenyum sendu, kesedihan itu masih ada kala ucapan orang-orang mengingatkannya. "Gak kok mas, lagian acaranya juga sudah selesai. Terima kasih juga atas simpatinya mas, saya mohon do'anya yang baik-baik untuk almarhum suami saya." ucap Layla legowo, mencoba untuk tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Raffa tersenyum tipis dan mengangguk seraya mendo'akan dalam hati. "Umur, jodoh, rezeki, itu semua adalah rahasia. Kita tak tahu kapan itu akan terjadi." ucap Usman pelan, tatapannya menerawang jauh meresapi perkataannya. Sedangkan Raffa mengangguk lalu berkata, "Ya, semuanya sudah menjadi takdir Tuhan. Kita hanya bisa berdo'a dan berusaha mendapatkan hal yang terbaik untuk kehidupan kita."Satu bulan kemudian. Di pagi hari yang cerah, Layla sudah disibukkan dengan kegiatan membuat kue. Di samping itu, hari ini ia yang mengurus semua keperluan dapur dikarenakan sang ibu tengah sakit. Dan kini, Layla keluar dari rumahnya menuju gerobak sayur yang berhenti di depan rumahnya. Terlihat sayuran hijau yang masih segar berkilauan terkena sinar matahari pagi membuat Layla tergiur untuk memasak semua sayuran segar itu. Tak lama kemudian, segerombolan ibu-ibu ikut menghampiri gerobak sayur dan mulai memilih-milih belanjaan mereka. Seperti biasa, mereka memilih sambil berbincang-bincang dan bercanda, namun Layla hanya diam dan sesekali mendengarkan. "Seger banget ya terongnya, mana gede-gede." Sahut seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tebal akan riasan make up. Bibirnya yang merah menyala terkikik geli seraya memperlihatkan terong ungu yang berukuran besar dan panjang itu ke arah ibu-ibu di samp
Raffa Adi Wijaya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas ternama di Jogja. Ia tumbuh dan besar di lingkungan pondok pesantren hingga memasuki bangku kuliah. Setelah lulus dan menjadi sarjana, Raffa menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke Mesir selama 4 tahun. Raffa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.Raffa remaja memang seorang pemuda yang penuh prestasi, sifatnya pendiam dan lebih senang menyibukkan diri dengan membaca buku. Namun dengan sikapnya itu, ia mampu bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang membuatnya semakin dikenal berbagai kalangan.Raffa remaja penuh dengan ambisi untuk menyelesaikan pendidikannya. Tidak ada kisah percintaan yang mewarnai sebagian perjalanan hidupnya. Ia terlalu serius belajar dan menata masa depannya sendiri hingga sampai diusiannya yang ke 35, ia masih melajang dan tengah menyelesaikan pendidikan doktornya.Keseriusannya dalam belajar membuatnya menjadi kaku dalam menghadapi persoalan asmara. Raf
Di hari yang cerah, Layla tengah disibukkan dengan aktivitas barunya. Sudah sepekan ini Layla menerima orderan aneka kue bolu dan kue basah lainnya. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya Layla menyetujui permintaan bapaknya untuk membuka usaha. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan Ibra yang mulai beranjak besar, tidak mungkin juga ia selalu bergantung kepada ibu dan bapaknya terus menerus. Sempat ia berpikir untuk bekerja di luar, namun ia tak tega meninggalkan Ibra dan melewatkan tumbuh kembang anaknya itu.Alhasil, dalam seminggu ini sudah ada beberapa pelanggan tetap yang setiap hari memesan. Layla bersyukur usahanya diberi kemudahan. Kesedihan serta kemuraman hatinya sedikit demi sedikit teralihkan oleh kegiatan barunya itu.Suara alarm panggangan berbunyi keras mengejutkan Layla yang tengah melamun. "Astagfirulloh, malah ngelamun!" Layla lantas membuka oven dan mengeluarkan hasil panggangannya.Layla tersenyum senang kala melihat bolu panggang
Pukul tujuh malam, seperti biasa setelah sholat maghrib ia duduk di ruang tv bersama Ibrahim yang asik menonton animasi favoritnya bersama Fatma. Tak lama kemudian, Usman datang disusul Ardi yang tak biasanya mau ikut bergabung berkumpul bersama.Layla memandang heran kepada Ardi yang kini duduk berselonjor di samping ibunya dan sesekali mengajak Ibra bercanda. Adik bungsunya itu memang jarang ikut bergabung duduk bersama seperti ini, ia lebih sering suka menyendiri di kamar atau jika mau ia akan pergi keluar bersama teman-temannya."Tumben banget keluar kamar." celetuk Layla kepada Ardi. Sang adik yang merasa terpanggil menatap kakaknya dengan cengiran lebarnya."Tau banget bapak habis pencairan. Mau minta duit ya?" tuduh Layla yang tak dijawab Ardi. Pemuda itu terus menampilkan cengiran lebarnya."Memangnya kamu mau apa, minta uang jajan tambahan ke bapak?" timpal Usman melihat gelagat anaknya yang seperti itu. Mendekat jika ada maunya.
Suasana malam nampak tentram, hanya suara dari layar televisi yang menyala dengan volume kecil. Ibra tengah asik menonton tayangan kartun domba kesukaannya. Sementara Layla sedang duduk di sampingnya ditemani Usman. Fatma sendiri sudah memasuki kamarnya karena mau istirahat lebih awal setelah seharian berkutat di dapur.Dan Ibrahim? Ia masih terjaga karena siang tadi tidur lama hingga hari menjelang malam. Tak lama kemudian suara Usman mengalihkan perhatian Layla."Layl, bapak mau jual tanah lagi yang di legok."Layla terkejut mendengar pernyataan sang bapak, "Loh, kenapa pak?" tanyanya penasaran."Bapak sudah capek nyawah."Kan bisa disewakan, pak?""Tanahnya sudah ditawar harga tinggi. Lumayan buat modal usaha. Nanti uangnya kamu pakai kalau mau buka usaha."Bukan ingin menyuruh anaknya sengaja mencari nafkah, hanya saja ia ingin mengabulkan keinginan Layla yang belum tercapai.Layla menggeleng menolak usulan
Layla Azhari merupakan seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya. Pernikahan yang baru dibangun selama 4 tahun dan baru dikaruniai seorang anak harus runtuh kala Farhan Hidayat, meninggal dunia karena kecelakaan motor.Layla begitu terpukul akan kejadian yang dialaminya. Kini ia kehilangan sosok pemimpin sekaligus pelindung bagi keluarganya.Duka yang dialami Layla ternyata bukan sekedar itu, mertua yang ia kira menghargainya dengan tega mengusirnya secara halus dari rumah yang telah susah payah ia bangun bersama mendiang suaminya setahun yang lalu dari tanah pemberian ayah mertuanya. Mereka beralasan untuk meminjamkan rumah tersebut untuk ditempati anak laki-laki ke tiganya yang baru saja menikah. Apalagi ibu mertuanya itu juga merasa mendapat hak waris dari anaknya yang bahkan belum pantas untuk dibahas mengingat suaminya meninggal belum lama ini.Dan dengan santai sang ibu mertua pun menyuruhnya untuk tinggal kembali bersamanya. Layla yang merasa haknya diabaikan, merasa saki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentarios