Share

Kecewa (Abiyan Pov)

  Gagal sudah rencana berlibur ku dengan Berliana ke Makassar. Aku relakan tiket pesawat kami karena adanya permasalahan antara kita berdua. Oh tidak, lebih tepatnya masalah yang ibuku timbulkan.


  Lagi dan lagi ibu membuat ulah dan mengganggu rumah tangga kami. Kali ini aku tidak akan tinggal diam, ibu sudah kelewat batas dengan memperkenalkan Dina kepada Berliana. Ibu sukses membuat Berliana naik pitam, dan sekarang wanita itu tengah menuntut penjelasan mengenai siapa Dina dan hubungan seperti apa dulu wanita itu dengan ku.


  Brakkk


  "Abiyan! Apa-apaan sih kamu. Datang-datang banting pintu rumah. Kenapa?!"


  "Seharusnya aku yang tanya, kenapa bu? Kenapa ibu lancang sekali?"


  "Lancang apa sih? Gak jelas banget kamu ini!"


  Aku mengacak rambut frustasi, kepalaku terasa berat memikirkan ini semua. Di satu sisi rumah tanggaku sedang runyam, Berliana menuntut penjelasan dan ibuku biang permasalahannya. Harus apa aku? Harus bagaimana agar bisa memberi pengertian kepada ibuku tanpa menghilangkan rasa hormatku sebagai anaknya.


  "Kenapa bu?"


  "Kenapa apa sih?"


  "Kenapa ibu ganggu rumah tangga ku lagi? Kenapa bu? Kenapa harus memperkenalkan Dina pada Berliana? Kenapa bu?"


  "Kenapa bu! Jawab!"


  ***


  Berliana meninggalkan rumah, pikirannya sedang kacau tidak karuan. Sejak tadi ia uring-uringan sendiri dan Sania yang menjadi pelampiasannya.


  It's okay kalau memang benar Tari menginginkan dia dan Abiyan berpisah. Tapi itu bagaikan sinyal perang yang dikirimkan sang mertua untuk Berliana. Karena selama ini Berliana cukup diam dan melihat sejauh mana ibu mertuanya berani bertindak. Ternyata sampai di titik ini, "Gue mau ibunya Abiyan minta maaf langsung ke gue."


  "Mustahil."


  Berliana menatap spontan ke arah Sania, wanita itu tengah asik meminum kopinya. "Kenapa? Mustahil suami lo bisa buat ibunya minta maaf sama lo. Juga, nenek lampir itu gak bakal mau lah ngerendahin dirinya dengan dia minta maaf ke menantu—eh kayaknya ke wanita yang gak dia suka. Iya kan? Ibu mertua lo enggak suka sama lo kan? Lo bukan menantu yang dia inginkan Lin."


  "Arggghhhh gak tahu lah, pusing gue lama-lama. Kayaknya rumah tangga gue semakin hari makin banyak aja masalahnya, prahara nya ituloh ada aja. Tapi kalau mertua gue gak ikut campur, kayaknya pernikahan gue sama Abiyan adem ayem deh."


  "Gak cuma mertua lo aja biang kerok nya, tapi ipar-ipar lo juga tuh."


  "Makanya, pembelajaran buat kita. Mending nikah sama orang yatim piatu, gak punya kakak gak punya adik. Beres gak ada masalah dari keluarganya." lanjut Sania.


  "Ngawur."


  ***
  "Cinta lama itu gak gampang ilang gitu aja, pasti masih ada sedikit yang tersisa di hati kamu."


  "Ibu tahu kamu sekarang sama Berliana. Pernikahan kalian juga udah menginjak tahun keempat. Tapi Abiyan, dengarkan ibu, kamu juga butuh pewaris, butuh anak buat jadi penerus kamu. Toh sekarang Berliana juga mandul, gak bisa kasih kamu keturunan—"


  "Dia gak mandul! Kami juga sedang program kehamilan bu. Semua butuh proses, gak semuanya harus instan!"


  "Oke, tapi apa selama ini kamu gak kepingin gitu punya anak. Jadi ayah di usia kamu yang sekarang ini, padahal seumuran kamu semuanya udah punya anak loh. Gak kepingin?"


  Menjadi seorang ayah adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi para suami di luar sana. Sebelum menikah dengan Berliana pun, Abiyan sudah membayangkan memiliki keluarga bahagia dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Tapi mungkin Tuhan berkehendak lain, sampai sekarang pun Berliana masih belum diberi kesempatan untuk mengandung.


  Sudah berbagai cara mereka lakukan, tapi dokter pernah memvonis bahwa Berliana sulit untuk hamil. Sulit, bukan tidak bisa hamil. Jadi masih ada kemungkinan meskipun itu kecil.


  Siapa yang tidak mau menjadi ayah, Abiyan sangat ingin memiliki seorang anak dari wanita yang dia cintai. Tapi apa boleh buat, mungkin belum waktunya. Mungkin Tuhan masih ingin melihat dia dan sang istri berusaha dan bersabar lagi.


  "Berliana bukan menantu yang ibu inginkan Abiyan. Bukan Berliana yang ibu inginkan buat jadi istri kamu. Seharusnya kamu sadar itu."


  Abiyan menoleh, ibunya benar-benar tidak bisa ia mengerti. "Kalau bukan Berliana, lalu siapa bu? Dina?"


  "Iya. Dina. Ibu sejak dulu sudah cocok dengan wanita itu, tapi sayang duli takdir tidak berpihak pada kita. Tapi sekarang—"


  "Ah, Abiyan paham sekarang. Disini ibu hanya memanfaatkan Berliana? Ibu cuma memanfaatkan istriku saja kan untuk menggapai keinginan ibu. Apa itu benar?" mata Abiyan memerah, dia mencoba menahan emosinya.


  Sekali lagi, dia mengingatkan diri kalau wanita baya di depannya ini adalah ibu yang sudah melahirkannya.


  "Iya. Itu benar. Dari dulu ibu gak setuju kamu sama wanita itu. Dia anak orang kaya, mau bagaimanapun juga orang kaya akan tetap merendahkan kita si orang miskin. Dia akan merasa lebih unggul dan bisa semena-mena sama kita—"


  "Apa pernah Berliana semena-mena sama ibu?!"


  Tari terkejut, Abiyan membentak nya.


  "Apa pernah dia merendahkan ibu? Merendahkan aku? Merendahkan keluarga kita?"


  "Yang aku tahu, istriku lah yang mengangkat derajat kita, perekonomian kita dan menjadikan kita sampai di titik ini. Dan apa ini balasan ibu untuk dia? Ya Tuhan, aku gak nyangka kalau jalan pikir ibu selama ini begini."


  "Terserah apa yang kamu bilang, ibu tetap ingin kamu kembali sama Dina. Kita sudah kaya, ayah nya Dina sudah pasti memberi restu."


  "Enggak!"


  "Kenapa enggak? Dina bisa kasih kamu anak. Dia wanita subur, dia pasti bisa ngasih kamu keturunan gak kayak istri kamu yang mandul."


  "Sampai kapanpun juga aku gak akan tinggalin Berliana hanya karena masalah sepele kayak gini. Bagiku anak itu nomor dua setelah istriku. Lagian pernikahan itu gak melulu tentang anak."


  "Tapi anak yang menjadi alasan pernikahan itu bertahan."


  Sorot mata Abiyan memancarkan kekecewaan yang mendalam kepada ibunya. Ibunya sendiri ingin menghancurkan pernikahannya dengan wanita yang dia cintai.


  Tidak. Memikirkan berpisah dengan Berliana saja rasanya Abiyan tidak sanggup. Bukan berat karena istrinya dari keluarga kaya, tapi Abiyan sangat mencintai wanita itu.


  Jika anak menjadi alasan untuk sebuah pernikahan bertahan. Maka Abiyan akan menjadikan cintanya sebagai alasan untuk dia bertahan bersama-sama dengan Berliana. Dia yakin suatu saat Tuhan akan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menjadi orang tua. Mungkin ini bagian dari ujian rumah tangganya. Ini badai kecil, bukan badai yang sesungguhnya.


  Abiyan meyakinkan dirinya, bahwa Tuhan punya takdir yang begitu indah untuk dirinya dan wanita yang dia cintai


  Ya, bahagia seperti ending yang dia inginkan.


  "Tetap bersama Berliana, tapi jadikan Dina sebagai istri kedua kamu. Ibu juga mau seorang cucu."

***

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status