"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
"Sebentar lagi kakimu akan sembuh, tetap semangat ya!" Dokter Raihan memberi tahu, tentu aku senang, karena aku akan menjadi wanita normal. Aku tersenyum pada Asih, ia pun membalas senyumku. Kakiku memang sudah sedikit lemas walau masih kaku, kecelakaan itu membuat aku menjadi wanita lumpuh sekarang. "Sih, aku akan beritahu Mas Wahyu untuk hal ini, biar nanti dia antar aku terapi agar dia lihat bagaimana aku mulai bisa selangkang dua langkah berjalan." Aku ungkapkan kebahagiaan ini pada Asih, ART setiaku. Dia terdiam, seperti ada yang dipikirkan. "Bu, bagaimana kalau jangan beritahu dulu sama Suamimu, kita buat kejutan saja kalau Mbak Afi sudah benar-benar sembuh? Surprise gitu, biar dia kaget dan makin berkesan?" Asih memberi saran, tadinya aku tak setuju, tapi di pikir-pikir benar juga. aku akan kasih kejutan nanti saat aku sembuh total dan aku akan berjalan dengan elegant membuat mata Mas Wahyu tak berkedip. Ah ... Pasti itu akan sangat menyenangkan, berkesan dan tentunya makin
Apa ini, Mas?" tanyaku pada Mas Wahyu."Itu surat gugatan cerai kita, Fi," jawabnya datar dan langsung membuang wajah menatap pada jendela kamar.Aku mengambil surat yang tadi tergeletak di pangkuanku. Membaca isinya, benar saja! Itu surat perceraian.Aku menjalankan kursi rodaku, mensejajarkan badanku pada Mas Wahyu. Sama-sama menatap kedepan jendela."Kenapa, Mas?" Aku masih berusaha bertanya."Kenapa! Tentu kamu lebih tahu alasannya. Aku tak mau punya istri cacat seumur hidup!" Jawaban Mas Wahyu mampu meruntuhkan benteng didalam dadaku. Selama ini, aku cukup bersabar, sangat tahu semua yang ia lakukan di belakangku tapi ... Tak menyangka jika Mas Wahyu akhirnya mengugat perceraian."Hanya karena itu? Apa kamu ingin menikah dengan wanita lain?" tanyaku dengan nada bergetar."Ya, aku laki-laki normal, Fi. Tak mungkin terus terkungkung oleh ikatan yang ... Ah! Aku tak dapat menjelaskan!" Seru Mas Wahyu.Aku bergeming, mungkin Mas Wahyu menginginkan gairah ranjang yang tak monoton. Sej
Kamu lupa, Mas. Aku CEO di perusahaan?!" tatapku sinis.Tubuhku bergetar, sebenarnya aku belum bisa berjalan dengan sempurna. Masih satu langkah dua langkah. Namun, ternyata kekuatan hati yang tersakiti mampu bangkit hingga aku seolah telah bisa jalan sempurna.Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Aku tak boleh terlihat bahwa aku masih lemah. Kulirik Mas Wahyu yang masih mematung.Terlalu shock kah dia?"Fi ... Ta-tadi aku ngga serius loh! A-aku hanya bercanda dan kamu kasih kejutan ini. Alhamdulilah, akhirnya kamu bisa jalan lagi." Mas Wahyu mendekat padaku. Duduk tepat disebahku.Kenapa? Nyesel!"Iya, Mas. Seperti yang kamu lihat. Aku kembali bisa berjalan. Sayang kamu tahu dan terlambat!" "Ter-terlambat bagaimana, Fi? Ki-kita masih bisa bersama kan?" Mas Wahyu terlihat panik.Munafik!"Bersama?""Iya, bersama. I-ini aku batalkan!" Ia meraih kertas yang ia berikan tadi dan menyobeknya. "Semua akan kembali seperti dulu. Aku masih mencintaimu, Fi."Cuihhh!"Kamu pikir aku bodoh,
"Pergi! Pergi semua kalian dari sini!" Tubuhku benar-benar sudah bergetar hebat. Tak tahu lagi berapa lama aku bisa berdiri. Linda terlihat bingung, namun Mas Wahyu membawanya keluar segera dari sana. Aku bernafas lega. Menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Kupandangi kakiku yang terlihat gemetar hebat. Mungkin efek di paksakan."Asih!" Aku memanggil penjagaku yang selalu membantu aku kemanapun aku pergi. Dia akan stanby didepan pintu kamar saat aku didalam."Iya, Bu." Ia masuk dengan sedikit tergesa. Mungkin tadi mendengar keributan."Ibu, ngga papa?" tanyanya khawatir saat melihat aku yang tengah kelelahan.Dengan sigap ia mengambilkan air minum dan membantu menyodorkan gelas itu pada mulutku."Terima kasih, Sih. A-aku tadi terlalu memaksakan. Kakiku rasanya kaku kembali." Aku berbicara terus terang. Asih langsung mengangkat kakiku agar lurus dan sejajar.Dia memijit berlahan, aku kesakitan. Rasanya linu semua tulang kakiku."Lebih baik kita kembali kedokter saja, Bu!" Usulnya. Aku
Aku ingin sepertimu, Mbak. Punya segalanya! Bukan hanya penumpang atau mendapat belas kasihan. Selama ini aku selalu iri dengan apa yang kamu miliki!" Linda berkata tanpa tersendat. Seolah ia tengah meluapkan segala isi didada.Aku tertegun. Tak menyangka jika selama ini, Linda memiliki rasa iri yang luar biasa. Padahal ... Segala sesuatu aku bagi dengan adil, bahkan ayah saja memperlakukan dia tak berbeda denganku."Kamu, Mbak! Selalu jadi kebanggan Om Indra. Kamu selalu saja di agung-agungkan di depan semua orang. Bahkan nama kamu juga yang akhirnya di sematkan dalam nama perusahaan Om Indra. Sedangkan aku? Aku ... Aku selalu di kesampingkan. Seolah tak pernah terlihat oleh mereka, dalam hal apapun Om Indra tak pernah menyebut namaku."Aku menelan saliva, ternyata hal sepele seperti itu saja mampu membuat hati Linda iri. Ternyata semua yang di berikan Ayah untuk Linda, masih saja dianggap tak bermakna."Aku! Aku hanya anak dari Kakak Om Indra. Ayahku meninggal dan ...." Linda menjed
Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata."Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga."Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca."Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka