Share

Aku Madu Kembaranku
Aku Madu Kembaranku
Author: Nanitamam

Bab 1. Vonis dokter

Di sebuah rumah besar dan megah. Terdengar suara rintihan wanita yang berasal dari salah satu kamar yang berada di sana. Suaranya begitu terasa memilukan seakan dia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.

"Angkat mas," ucapnya penuh harap. Menunggu telponnya tersambung dengan nomer yang sedang di panggilnya.

Lama menunggu yang di teleponnya tak kunjung juga mengangkat telpon. Rania, nama wanita tersebut. Melemparkan ponselnya ke atas kasur kemudian kembali menahan perutnya yang terasa sakit. Ia mencengkram sprei hingga tidak berbentuk lagi untuk menyalurkan rasa sakit yang sedang di alaminya.

"Rania!" panggil seorang wanita paruh baya dari arah dapur. Wajahnya terlihat mengkerut menandakan ia sedang kesal.

"Rania!" panggilnya lagi. Kali ini dengan setengah berteriak.

"Non Rania di kamarnya, Bu," jawab seorang wanita yang memakai seragam pekerja. Ia menarik napas pelan, sebab merasa kasihan pada gadis yang terus di panggil oleh majikannya.

Wanita paruh baya tersebut bernama, Bu Fatma. Nyonya sekaligus mertua Rania. Dia menatap tajam kepada asisten rumah tangganya. Bu Fatma tahu jika semua orang di rumahnya begit menyayangi Rania.

"Sudah jam berapa ini? Dasar menantu pemalas," gerutu Bu Fatma kepada Bi Asih.

"Biar saya saja yang masak. Emang Ibu mau saya masakin apa?" tanya Bi Asih mengajukan diri. Tak ingin suasana rumah yang damai harus di awali dengan omelan majikannya terhadap menantunya.

Rania sering kali mendapat omelan dari ibu mertuanya. Dia selalu di perlakukan seperti pembantu pada umumnya meskipun statusnya seorang menantu di rumah itu. Rania menikah dengan Malik, anak semata wayang Bu Fatma.

Bu Fatma memang tidak menyetujui Malik menikah dengan Rania selain karena Rania hanya gadis biasa. Gadis itu juga bukan tipe menantu ideal bagi Bu Fatma. Oleh sebab itu, Bu Fatma kerap kali memperlakukan Rania dengan buruk.

"Coba panggil Rania, Bi. Saya mau dia yang memasak," titah Bu Fatma kepada Bi Asih.

"Baik, Nyonya." Bi Asih menaruh kembali pisau yang hendak di gunakan untuk memotong sayuran. Perintah Bu Fatma adalah sebuah keharusan yang segera di laksanakan.

Bu Fatma membantingkan bokongnya di kursi makan yang ada di belakangnya. Bibirnya terus cemberut serta deru napas yang turun naik. Dia memaikan jarinya jemarinya di atas meja makan, menahan kesal.

Bi Asih menaiki anak tangga setengah berlari. Dia menarik napas berkali-kali karena usianya sudah tidak semuda dulu. Tulang pinggangnya terasa mau lepas.

Tok! Tok!

"Non Rania, di panggil ibu," ujar Bi Asih sambil terus mengetuk pintu kamar.

Bi Asih menunggu sejenak, berharap yang di panggil segera membuka pintu kamar dan menjawab panggilannya. Akan tetapi, setelah menunggu pintu kamar tetap masih tertutup dan belum ada pergerakan. Bi Asih kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil Rania.

Dari dalam kamar, Rania berusaha untuk bangun dan berjalan ke arah pintu. Tangannya terus menahan perutnya yang terasa begitu sakit. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Hal itu membuat tubuhnya lemas tak bertenaga.

"Bi Asih!" panggil Rania pelan karena sudah tidak kuat lagi menahan sakit. Pandangannya mulai kabur begitu kakinya menginjak lantai.

Brukk!

Terdengar bunyi sesuatu jatuh dari dalam kamar. Bi Asih terkejut karena suaranya seperti orang terjatuh. Ia kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil Rania berkali-kali.

"Non Rania. Non ga apa-apa?" tanya Bi Asih mulai cemas. Pikirannya mulai kalut karena Rania terus diam membisu. Bi Asih refleks membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci. Mata Bi Asih melotot melihat Rania sudah tergeletak di lantai.

"Ya Allah, Non Rania," pekik Bi Asih. Ia berlari menghampiri tubuh Rania yang tak sadarkan diri.

Bi Asih mengguncang tubuh Rania pelan. Namun, Rania masih terpejam.

"Nyonya, Tolong!" Bi Asih berteriak memanggil Bu Fatma yang berada di lantai bawah. Tangannya mengelus pipi Rania berusaha membangunkan sebisanya. Bi Asih semakin panik karena tubuh Rania terasa dingin serta wajahnya pucat pasi.

"Nyonya, Tolong."

Bu Fatma yang mendengar teriakan Bi Asih. Bangkit dari tempat duduknya dan bergegas naik ke lantai dua. Dia sempat menggurutu sebelum melihat Bi Asih dan Rania di lantai.

"Rania kenapa, Bi?" tanya Bu Fatma Panik.

"Saya gak tau, Bu. Saya hanya mendengar bunyi jatuh dari dalam kamar, makanya saya nekat masuk." Bi Asih menundukan wajah saat menjawab pertanyaan Bu Fatma.

"Dasar menantu merepotkan." Bu Fatma berjongkok di samping tubuh Rania, ia menekan leher dan nadi pada pergelangan tangan. Taka lama wajahnya yang masam berubah menjadi panik.

"Cepat panggil ambulance!" titah Bu Fatma kepada Bi Asih. Bi Asih bergegas keluar menuju telpon yang berada di luar kamar.

Kebetulan Malik yang kembali pulang karena ada beberapa file yang tertinggal. Handphonenya juga mati sebab lupa di carger. Malik masuk kedalam rumah dan berlari ke arah tangga.

Malik mengerutkan kening melihat Bi Asih berdiri memegang telpon dengan wajah panik. Ia belum sempat bertanya karena mendengar Bu Fatma berteriak memanggil Bi Asih. Merasa ada yang tidak beres, Malik masuk ke dalam kamar.

"Ya Allah, Rania." Malik terkejut melihat Rania berada di pangkuan ibunya.

Bu Fatma sedikit gelisah, takut Malik menyalahkannya.

"Rania kenapa, Ma?" tanya Malik sambil memeluk tubuh Rania.

"Mama juga tidak tahu. Dia sudah seperti ini saat Mama masuk ke dalam," terang Bu Fatma tidak mau di salahkan.

Malik segera menggendong tubuh Rania dan berlari ke bawah melewati Bi Asih. Dia tidak mau menunggu ambulance datang yang pasti akan memakan waktu lama. Malik membaringkan tubuh Rania di dalam mobil.

Tanpa menunggu Bu Fatma. Malik melajukan mobil secepat mungkin menuju rumah sakit. Jalan yang lenggang membuat mobil sampai lebih cepat di rumah sakit. Malik meminta tolong dokter dan perawat yang berjaga di UGD.

"Tolong istri saya!" pinta Malik kepada dokter sambil membantu mendorong brankar.

Rania langsung mendapat tindakan dari para tenaga medis. Perawat memasang infusan karena tubuh Rania lemah sedangkan dokter memeriksa Rania dengan teliti. Perhatian dokter tertuju pada perut Rania yang bengkak dan juga membiru.

Dokter menyibak tirai lalu mendekati Malik yang terduduk di kursi. Malik yang melihat wajah dokter begitu tegang, langsung merasa semakin cemas dan panik. Ia menelan salivanya untuk menetralisir rasa cemas.

"Apa istri Tuan sering mengeluh sakit pada bagian perut?" tanya dokter dengan nada serius.

Malik menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dok. Memangnya kenapa?"

"Sebaiknya istri Anda menjalani berbagai tes untuk lebih pasti," jawab dokter membuat Malik semakin bingung dan penasaran.

"Memang istri saya sakit apa, Dok?" desak Malik kepada dokter agar bicara lebih jelas.

Dokter menarik napas panjang dan berat. Ia menaruh tangannya di atas pundak Malik, menguatkan. "Saya curiga pasien mengalami penyakit tertentu pada bagian perutnya."

Deg!

Jantung Malik terasa di hantam benda besar setelah mendengar ucapan dokter. Malik menyetujui saran dari dokter. Ia menanda tangani berbagai berkas persetujuan. Rania langsung menjalani berbagai tes yang di anjurkan. Dokter melarang Rania pulang sebelum hasil tesnya keluar.

"Istri saya sakit apa, Dok?" tanya Malik yang begitu penasaran dengan hasil tes pemeriksaan istrinya.

Rania bisa melihat perubahan raut wajah dokter begitu selesai membaca hasil tesnya. Seketika rasa takut menyelimuti hati Rania. Ia memegang erat lengan Malik, Malik berusaha tersenyum ke arah Rania menutupi rasa takutnya.

"Berdasarkan hasil tes. Istri Anda mengalami kanker rahim, sel kankernya sudah menjalar cukup parah dan …." Dokter menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya.

"Dan apa, Dok?" Rania memberanikan diri bertanya karena penasaran.

"Rahim Anda terpaksa harus di angkat secepat mungkin."

"Tidak mungkin, Dok. Jika rahim saya di angkat itu tandanya saya …." Rania menangis kencang.

Malik spontan menarik Rania dalam pelukannya. Ia bisa merasakan kesedihan dan juga ketakutan istrinya. Malik mengecup rambut Rania, memberikan ketenangan dan tempat ternyaman untuk istrinya. Sejujurnya hati Malik juga ikut hancur menerima kabar buruk tersebut.

"Aku tidak bisa hamil, Mas. Aku tidak bisa punya anak," ucap Rania di sela isak tangisnya. Ia merasa dunianya sudah hancur karena tidak bisa menjadi seorang ibu. Mimpinya untuk memiliki banyak anak harus ia kubur dalam-dalam.

"Jadi kamu mandul, Rania?" tanya Bu Fatma tiba-tiba.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status