Malik dan Rania seketika menoleh. Wajah mereka tegang saat melihat raut wajah Bu Fatma yang begitu emosi. Bu Fatma hanya mendengar sebagian cerita saat Rania mengatakan jika dia tidak bisa hamil.
"Mimpi apa aku? Punya menantu seperti kamu. Sudah dari keluarga miskin, sekarang kamu juga mandul," cibir Bu Fatma. "Jaga ucapan Mama!" sentak Malik yang tidak terima Bu Fatma mengatakan hal buruk pada istrinya. "Bela aja terus istri kamu yang tidak berguna itu." Bu Fatma mencebikkan kaki lalu pergi meninggalkan rumah sakit. "Bagaimana ini Mas? Sepertinya Mama begitu kecewa padaku," ucap Sania sendu. Bulir airmata mengalir mengekspresikan rasa sakit hatinya. Bu Fatma pergi dari rumah sakit dengan keadaan penuh amarah dan kecewa. Di hatinya tidak ada sedikitpun rasa iba terhadap Rania. Hanya kecewa dan kecewa yang terus bertumpu di dalam dadanya kepada istri malik tersebut. "Tolong antarkan saya ke alamat ini, Pak." Bi Fatma menunjukkan sebuah alamat apartemen pada supir taksi. "Baik, Bu." Mobil melaju memecah jalanan ibukota yang padat. Satu jam berlalu akhirnya Bu Fatma sudah tiba di tempat yang di tuju. Sebuah gedung apartemen yang tinggi menjulang tepat di hadapannya. Bu Fatma memakai kacama hitamnya lalu berjalan masuk ke dalam gedung. Sepanjang jalan wajahnya terus mengulas senyum. Entah apa yang sedang berada dalam pikirannya? Yang pasti dia berjalan dengan begitu penuh percaya diri. Di dalam lift, Bu Fatma tak hentinya melihat diri dari kaca pintu lift hingga pintu terbuka sesuai lantai yang di tekannya. "Tante Fatma." Seorang wanita cantik berpakaian seksi seketika menunjuk ke arah Bu Fatma. "Meli. Kebetulan sekali kita bertemu di depan lift, Tante mau ke apartemen kamu," jawab Bu Fatma senang. "Owh, ya kebetulan banget dong? Tante apa kabar?" tanya Mely basa basi sambil mencium pipi kiri dan kanan Bu Fatma. "Kita ngobrol di apartemen kamu, ya," pinta Bu Fatma yang kepanasan. Tubuhnya terasa lengket oleh keringat jika berlama-lama berdiri di depan lift. Mely terpaksa mengajak Bu Fatma masuk ke dalam apartemennya, padahal ia hendak pergi. Dia masih malas bertemu dengan Bu Fatma setelah rencananya menjadi istri Malik gagal. Mely membuat minuman dingin sebelum di minta oleh Bu Fatma yang menurutnya cerewet. "Terima kasih Sayang. Kamu memang wanita yang pengertian," puji Bu Fatma seraya meneguk jus dingin hingga habis. "Segarnya." "Tumben Tante main ke apartemen Mely? Ada angin apa gerangan?" sindir Mely kepada Bu Fatma. "Apa Kamu masih menyukai Malik?" Bu Fatma balik bertanya ingin memastikan perasaan Mely lebih dulu. Mely mengerutkan keningnya. Tidak menduga Bu fatma bertanya soal perasaanya secara tiba-tiba. Dia masih diam tidak langsung menjawab pertanyaan Bu Fatma. "Jawab dong, Mel," desak Bu Fatma penasaran. "Mely mencintai Malik dari dulu sampai sekarang," jawab Mely berbohong. Bu Fatma tersenyum lega mendengar jawaban Mely. Seperti dugaanya dari awal jika Mely pasti masih berharap menjadi istri Malik. Bu Fatma menggenggam tangan Mely sambil terus mengulum senyum. "Kamu mau 'kan menikah dengan Malik?" Mely yang sedang minum langsung tersedak. Wajah terkejutnya begitu terlihat jelas dari ekspresi mulutnya yang terbuka lebar. Dia menaruh gelas ditangannya ke atas meja. "Tante lagi bercanda, ya? Malik kan masih punya istri?" tanya Mely yang semakin penasaran. Bu Fatma mengelus wajah cantik Mely yang tebal oleh makeup. "Tante pastikan kamu akan segera menjadi istri Malik." "Lalu istri Malik bagaimana?" "Soal Rania biar Tante yang urus. Kamu jangan khawatir," bujuk Bu Fatma berusaha meyakinkan Mely. Mely tentu saja mengangguk setuju dengan tawaran Bu Fatma. Sudah sejak lama dia menaruh hati kepada Malik, selain tampan dan gagah. Malik ahli waris satu-satunya kekayaan keluarga Hadiguna yang terkenal sebagai juragan batu bara. Setelah merasa tujuannya berjalan mulus dan lancar. Bu Fatma langsung berpamitan karena ingin kembali ke rumah sakit. Sebuah ide muncul di kepalanya setelah bertemu dengan Mely. "Siapa yang datang sayang?" tanya seorang laki-laki dari dalam kamar Mely. Ia berjalan menghampiri Mely yang masih berdiri di depan pintu. "Sumber uang kita akan segera datang," balas Mely sambil menyeringai licik. Pria itu memeluk Mely dari belakang. Mely bersyukur sebab Rizal masih tertidur ketika Bu Fatma datang. Rizal akan merusak aktingnya jika Bu Fatma melihat keberadaannyal. Mely terus tersenyum membayangkan sebentar lagi akan menjadi menantu dari keluarga kaya raya. Tok! Tok! Bu Fatma mengetuk pintu ruangan rawat Rania yang tertutup. Setelah mendapat jawaban, Bu Fatma membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ia bernapas lega karena Rania hanya seorang diri. "Boleh Mama bicara sebentar?" tanya Bu Fatma yang segera duduk di samping Rania. Rania mencoba untuk bangun dan bersandar pada bantal kini posisinya setengah duduk. "Mama mau bicara apa?" Rania memandang wajah mertuanya serius. "Langsung saja, kamu sungguh tidak bisa hamil dan memberi Mama seorang cucu?" Deg! Jantung Rania mendadak tegang. "Maafkan Rania, Bu," ucap Rania sendu. "Pergilah dari kehidupan Malik! Kamu tahu sejak awal kalian menikah, Ibu sama sekali tidak menyukaimu. Apalagi sekarang kamu tidak bisa memberi cucu dan keturunan bagi keluarga kami. Lantas untuk apa kamu masih bertahan di keluarga Hadiguna yang terhormat ini," kata Bu Fatma tanpa belas kasih. Semua ucapannya begitu lancar keluar dari mulutnya tanpa memikirkan perasaan Rania sedikit pun. Tangan Rania meremas sprei untuk menyalurkan rasa sakit hatinya. Dia tidak menyangka sebenci itu ibu mertuanya kepadanya. "Maafkan Rania, Ma. Semua yang terjadi bukan ke inginan Rania. Jangan meminta Rania untuk pergi meninggalkan Mas Malik," ucap Rania memohon. Kedua matanya mulai berkabut oleh genangan air mata. Bu Fatma mendengus kesal mendengar ucapan Rania. "Apa yang bisa aku harapkan dari wanita mandul seperti kamu?" "Rania minta maaf jika tidak bisa menantu sempurna seperti impian Mama. Rania benar-benar sangat menyesal, tapi Rania sangat mencintai Mas Malik," tambah Rania dengan berderai air mata. Menumpahkan rasa sesak yang begitu menyiksa batinnya. Melihat Rania menangis, Bu Fatma malah tersenyum sinis dan muak setiap melihat wajah kusut Rania. Dalam hatinya berpikir Rania sedang berakting agar di kasihani. Namun, rasa tidak sukanya terhadap Rania dari awal membuat Bu Fatma bersikeras ingin mereka berpisah. "Sudah lah jangan menangis seolah dunia kamu hancur. Mama hanya minta kamu pergi meninggalkan Malik. Mama akan memberi kamu uang, berapapun yang kamu minta sebagai imbalannya. Lagipula Malik sudah Mama carikan wanita yang tepat untuk Malik," ujar Bu Fatma semakin menjadi-jadi dan meremehkan. Rania tersentak mendengarnya. Luka didalam perutnya masih bisa dia tahan. Namun, luka hati yang baru saja di goreskan oleh ibu mertuanya terlalu menyakitkan. Bu Fatma pergi meninggalkan Rania. Dia tidak ingin Malik keburu datang dan mendengar percakapannya dengan Rania. Setelah Bu Fatma pergi, Rania memutuskan pergi ke desa tempat dimana kakak kembarnya berada. Rani pergi kesana seorang diri tanpa memberitahu malik. "Assalamualaikum," sapa Rania begitu sampai di depan sebuah rumah yang halamannya cukup luas. "Waalaikumsalam." Terdengar suara menjawab salam Rania dari dalam rumah. Seorang wanita yang seusia dengan Rania keluar rumah. Wajahnnya terlihat bahagia saat melihat wanita yang memiliki wajah begitu mirip dengannya. Sontak saja, Rania langsung merangkul wanita tersebut begitu berdiri didepannya. Rania menangis di pelukan kakak kembarnya yang bernama Tania. Tania begitu bingung karena mendengar suara tangis adiknya yang memilukan. Dia membawa Rania masuk ke dalam dengan dan mendudukannya di sebuah sofa. "Ada apa Rania? Kenapa kamu menangis seperti ini? Apa Malik menyakiti kamu?" Tania langsung membrondong Rania dengan pertanyaan. Rania menggelengkan kepalanya. "Aku bingung Kak. Aku tidak tau harus bagaimana? Tolong aku!" "Apa yang terjadi? Bicaralah pelan-pelan. Agar Kakak bisa memahaminya," pinta Tania sambil menyodorkan segelas air minum. Rania meneguk hingga habis air minumnya. Setelah tangisannya mereda, dia mulai menceritakan semua hal buruk yang sudah dialamainya. Termasuk penyakit parah yang tengah dideritanya. Hati Tania terasa di remas-remas mendengar ucapan Rania. Dia bahkan ikut meneteskan air mata mengetahui adiknya sedang sakit parah. Wajahnya juga terlihat emosi saat mengetahui perlakuan buruk mertua Rania. "Menikahlah dengan suamiku, Kak! Hanya kakak yang bisa aku percaya. Aku tidak rela jika Malik menikah dengan wanita pilihan ibu mertuaku," pinta Rania dengan nada sendu. Matanya menatap Tania dalam. "Jangan gila kamu, Rania. Mana mungkin kakak menikah dengan Malik dan menjadi madumu?" Tania begitu terkejut dengan permintaan adiknya tersebut. "Rania mohon kak. Bantu pernikahan Rania yang berada diujung tanduk ini." Rania bersujud dibawah kaki Tania. Paman Burhan terkejut, begitu membuka pintu melihat Rania tengah bersujud dibawah kaki kakaknya. Terdengar suara tangisan Rania yang begitu memilukan. Sementara Tania berdiri sambil membuang muka dengan tangan terlipat didadanya. "Tania, apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?" sentak Paman Burhan pada Tania."Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma yang sejak awal tak menyukai Rania, kini berusaha untuk menggugurkan kandungan sang menantu. Dia tak ingin Tania yang dianggap Rania itu melahirkan penerus bagi keluarga yang akan menjadi satu-satunya pewaris harta Hadiguna, mengingat jika dirinya hanya ibu tiri bagi Malik. Setelah sempat menyuruh orang untuk mencari obat terkuat yang bisa menghilangan nyawa bayi dalam kandungan, Bu Fatma pun bergegas pergi ke sebuah taman yang sepi tak jauh dari kediamannya. Sosok itu melebarkan langkah mendekati sosok tinggi dengan setelan hitam serta topi senada. "Bagaimana? Sudah kau temukan obatnya?" tanya Bu Fatma begitu sampai di depan orang suruhannya. Matanya berkali-kali melirik sekitar, takut jika akan ada yang melihatnya. "Tenang saja, ini adalah obat terkuat yang bisa digunakan." Jemari itu terulur, memberikan sebuah botol kaca kecil berisi cairan kuning di dalamnya. "Dosisnya sangat kuat, bahkan satu tetes saja bisa melenyapkan nyawa sang bayi." Bu Fatma t
Malik terdiam mendengar pertanyaan Tania. Gadis cantik berambut panjang lurus itu membuang wajah ke luar jendela. Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya. "Mas minta maaf. Mas kira itu bukan hal penting memberi tahu soal alergi Mas," ucap Malik membuka suara. Dia hendak menggenggam tangab Tania. Namun, sang istri menepiskan tangannya. "Aku memang tidak sepenting Rania," lirih Tania kecewa. Malik mengusap kasar rambutnya. Dia tidak menyangka jika Tania akan membahas soal ucapan Rania mengenai alerginya. Malik memutar tubuhnya lalu memeluk Tania erat. Mungkin karena Tania tengah hamil, perasaanya menjadi lebih sensitif. "Mas minta maaf. Mas mulai hari ini tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua," ucap Malik menenangkan kegundahan Tania. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. "Maaf aku juga tidak tahu bisa se sensitif ini." "Mas mengerti. Kamu pasti merasa cemburu kan?" Tania menangguk sebagai jawaban. Memang dia sadar Malik mantan suami adi
"Tidak usah diangkat, biarkan saja, nanti siangan Mas telpon balik agar Mama tidak bawel. Mama pasti ingin memastikan kita ada dimana,” tegas Malik. Tania mengangguk patuh sekaligus bernafas lega dengan keputusan Malik, ia tak mendebat sedikitpun akan keputusan yang sudah dibuatnya karena sadar di balik itu Malik hanya ingin melindungi semuanya. “Ya sudah kalau begitu Mas yang terpenting nanti kau harus kasih kabar ke Mama mu supaya tak panik mencarimu,” sahut Tania sembari tersenyum tipis. “Iya,” ucap Malik. “Sekarang waktunya kita sarapan, Paman dan Rania sudah menunggu di ruang makan sana,” ajak Tania. Malik mengangguk, mereka pun bergegas dengan berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Rania yang mulai menyuguhkan kopi untuk Paman, netra Rania langsung tertuju pada Tania dan Malik yang berjalan ke arahnya. Terlihat senyum Rania begitu lebar hingga membuat kedua matanya jadi sipit. "Selebar apapun senyumanmu, aku tahu kamu sedang sakit m