Share

Chapter 6

“Berikan aku apapun itu, berikan kepadaku!” racau Clara.

Aland sudah tidak tahan lagi, dengan cepat kedua lengannya meraih tubuh Clara lalu membalikan posisinya agar benar-benar terbaring di atas ranjang. Wajah cantik dengan rona merah dan terlihat sayu, dada yang naik turun karena napas yang terengah itu kini berada tepat di bawah kuasanya.

Kemudian pria tampan bertubuh tegap itu mencium bibir Clara secara sarkas, membuat decapan demi decapan itu terasa perih dan menyakitkan. Namun Clara hanya terdiam dan menikmati setiap sentuhannya, walaupun dengan bibir yang bergetar dan kaku perlahan Ia membalas sentuhan Aland.

Namun tiba-tiba Aland menarik tubuhnya menjauh, melepaskan ciuman mereka agar mendapat jarak pandang dengan Clara. Keningnya berkerut halus, raut wajahnya heran menatap ke arah wanita cantik di bawah kuasanya. Apakah seperti ini caranya berciuman?

Pandangannya bertemu langsung dengan netra berwarna coklat terang milik wanita cantik itu. Dan Aland bergeming sejenak, menatap Clara dengan begitu intens. Beberapa menit mereka hanya saling bertukar pandang, hingga suara dering telepon yang tiba-tiba menyadarkan Aland dari semuanya.

Pria tampan itu langsung beranjak dari menindih tubuh Clara, menegakkan posisinya namun masih berada di atas tubuh wanita cantik itu. Ia merogoh saku celananya, mengambil sebuah smartphone dari dalam sana.

“Baiklah,” balasnya kepada seseorang di seberang sana.

Aland menatap wajah Clara kembali. “Sepertinya kau harus merasakan hal yang lebih menyakitkan lagi, Clara,” ujarnya. Lalu Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Clara. “Terpaksa kau harus menahannya seorang diri.” Sebelum akhirnya pria tampan itu beranjak turun dari ranjang dan kemudian melangkah keluar dan meninggalkan kamar itu.

Clara tidak mengerti, bahkan pikirannya tidak dapat mencerna dengan baik untuk saat ini. Pengaruh obat itu benar-benar telah membuatnya seperti orang gila. Hanya perasaan panas, haus, dan aneh yang muncul di tubuhnya.

Kemudian tak lama setelah Aland pergi, Clara beranjak terbangun dari posisinya berbaring. Napasnya masih terengah dengan suhu tubuhnya yang semakin memanas. Itu sangat menyiksa. Benar kata Aland tadi, jika Clara harus merasakan hal yang lebih sakit lagi, bahkan lebih sakit dari sebuah cambukan.

“Hah hah hah ….” Clara menundukan wajahnya ke bawah, mencengkram sprei dengan kuat. Itu menyiksa, dan sangat menyiksa.

**

Di dalam mobil, Aland sedang memegangi sebuah tab dengan satu video terputar di dalamnya. Video tersebut tak lain adalah video yang diambil dari CCTV kamar Clara. Sudah setengah jam berlalu wanita cantik itu masih dalam pengaruh obatnya. Namun tiba-tiba tubuh ramping itu jatuh dan lunglai di atas peraduan, Aland yang melihatnya pun langsung meraih smartphonenya untuk menelpon seseorang.

“Pastikan agar dia tetap hidup!” perintahnya kepada seseorang di seberang sana.

Setidaknya matilah nanti, setelah Aland puas bermain dengan seorang wanita dengan harga tiga milyar itu. Karena akan merugikan untuk Aland jika Ia membeli wanita namun tiba-tiba mati begitu saja.

Lalu Aland mematikan layar tabletnya dan kemudian menyimpan itu tepat di sampingnya. Pria itu tidak memperdulikan kondisi Clara, setidaknya Ia telah memerintahkan itu kepada anak buahnya. Dan jika Clara mati, maka beberapa anak buah yang ditugaskan menjaga Clara juga akan ikut mati.

Mobil mewah itu berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah perusahaan besar bertuliskan Washington Grup. Beberapa orang penjaga sudah berderet di depan pintu masuk untuk menyambut kehadiranya. Seorang penjaga membukakan pintu, Aland keluar dari mobil dan langsung menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.

Pria tampan itu mulai memasuki area lobby perusahan dengan diikuti beberapa orang berpakaian jas rapih di belakangnya. Satu langkah di belakangnya sudah ada seorang wanita cantik yang berstatus sebagai sekretarisnya, dan sibuk dengan satu tablet di tangannya, mengatur beberapa jadwal Aland.

“Ada yang menunggu anda di ruang tunggu, Pak,” ucap sang sekretaris cantik Aland yang bernama Luna.

“Siapa?”

“Hanna Royce.”

“Royce?” tanya Aland memastikan.

“Benar, Pak,” balas Luna.

Aland pernah mendengar nama Royce sebelumnya. Yaitu, pada sebuah saluran televisi di mana perusahaan Royce terancam bangkrut. Namun hal itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya. Lantas untuk apa, salah satu anggota keluarganya datang mengunjungi Aland di perusahaan?

“Berapa menit sebelum rapat di mulai?” tanya Aland kepada Luna.

“Tiga menit, Pak,” jawab Luna.

“Perintahkan dia untuk masuk ke dalam ruanganku,” perintah Aland kepada Luna.

Luna menjawab, “Baik, Pak.”

Aland masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di atas kursi kebesaranya. Pria tampan itu memeriksa beberapa berkas dengan begitu kompeten sampai tak lama suara Luna kembali terdengar. Namun fokusnya terbelah menjadi dua di antara pekerjaan dan wanita yang tak lama akan masuk ke dalam ruangannya. Apa yang akan dilakukan oleh wanita bernama Hanna Royce itu sudah bisa Aland tebak.

“Silahkan masuk, Nona,” kata Luna mempersilahkan.

Aland langsung menatap ke arahnya, mempersilahkan Luna keluar setelah sekretarisnya itu mengantarkan Hanna untuk masuk ke dalam ruangannya. Kemudian Aland langsung beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan menuju sofa berwarna abu yang masih berada di dalam ruang kerjanya.

“Silahkan duduk, Nona Hanna,” ucap Aland dengan senyuman.

Hanna tersenyum lalu akhirnya Ia duduk di atas sofa di depan Aland. “Aku kira akan sulit untuk menemuimu, Tuan Aland.”

“Tidak akan sulit jika aku mempunyai waktu senggang,” balas Aland cepat.

Tentu saja Aland tidak akan mempersulit seorang wanita untuk masuk ke dalam perusahaan ataupun kediamannya. Jika mereka berani melemparkan diri kepada Aland, dengan resiko tidak akan pernah kembali lagi ke tempat asalnya, Aland akan merentangkan tangannya dengan senang hati. Karena Aland akan mengurung mereka, mempermainkannya, menikmati, lalu setelah puas Ia akan membuangnya.

Aland melirik arlojinya. “Kau hanya mempunyai waktu dua menit, Nona Hanna.”

Hanna mengangguk dan mengerti. “Baiklah, aku tidak akan berbasa-basi. Aku kemari ingin menawarkan sebuah kontrak kerjasama dengan anda, Tuan,” ungkapnya dengan penuh percaya diri.

“Kerjasama?” Aland mengangkat sebelah halisnya.

“Benar, dengan perusahaan keluargaku,” balas Hanna seraya tersenyum ke arah Aland dengan bibir meronanya.

Aland balas tersenyum kepadanya, menatap Hanna dengan begitu intens. Di matanya Hanna tak lebih dari seorang jalang murahan. Wanita itu menawarkan sebuah kontrak kerja sama namun datang dengan berpenampilan seperti itu.

Baju yang terbuka dan memperlihatkan belahan dadanya, rok slim fit yang hanya menutupi sebagian paha, serta high heels yang begitu tinggi. Jangan lupakan rambutnya yang tergerai, serta make upnya yang begitu menonjol.

“Waktumu habis, Nona Hanna. Aku berharap bisa memiliki pertemuan lain denganmu,” ujar Aland, dan demi apapun itu sangat membuat Hanna merasa senang. Karena secara tidak langsung, Aland meminta Hanna untuk mengatur jadwal pertemuan mereka.

Hanna tersenyum merekah karena kedatanganya tidak sia-sia. Wanita cantik itu merasa jika Aland tertarik kepadanya. Tentu saja, Hanna sudah berdandan dengan secantik mungkin untuk menarik perhatiannya. Wanita cantik dan sexi itu jadi tidak sabar dengan apa yang akan terjadi di pertemuan selanjutnya. Apakah di dalam sebuah kamar hotel?

***

Semangaat bacanya yaaa ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status