“Dik, kamu di mana katanya Mirna dua hari ini kamu tidak masuk ke kantor?” tanya Mas Eko melalui voice note.Duh, Mirna juga kenapa sih, pakai bilang aku enggak datang? Tapi, kalau dipikir-pikir ini juga salahku harusnya aku bilang sama Mirna siapa pun yang mencariku jangan katakan yang sebenarnya.“Di mana pun aku, kamu tidak perlu tahu Mas. Karena mulai sekarang kamu tidak boleh lagi mencampuri masalahku,” balasku. Sebenarnya aku ingin memaki, tapi aku tahan.“Eggak bisa begitu dong, Dik! Kamu itu masih istri sahku dan sampai kapan pun yang namanya seorang istri apa pun yang dia lakukan di luar rumah suami itu wajib tahu.”“Iya, Mas. Aku tahu itu, tapi mulai sekarang kamu tidak wajib tahu apa pun yang aku lakukan di luar rumah karena kamu pun tidak pernah memberitahukan kepadaku apa saja aktivitas kamu di luar. Jadi impas, kan? Bukankah suami istri itu memang seharusnya terbuka dalam segala hal? Kamu yang mulai duluan kan, Mas? Jadi, tidak usah banyak menuntut padaku.”“Makin ngelun
“Nah, iya, bener tuh, dia yang harusnya tanggung jawab. Ayo, cepat turun kamu!” teriak Rara. Dasar perempuan tidak tahu malu sudah menjadi benalu di rumah tangga orang lain, kini menyalahkanku.“Sebaiknya tutup mulutmu atau aku robek menggunakan tang. Sampah sepertimu tidak pantas menegurku,” jawabku pada Rara.“Kurang ajar kamu, ya! Dasar perempuan tidak tahu diri. Pantas aja Mas Eko lebih memilihku dari pada kamu. Rupanya memang kamu tuh begini tukang hutang dan juga semena-mena pada orang lain!” kata Rara lagi. Dia tidak terima dengan ucapanku.“Yang kurang ajar itu kamu bukan aku. Kalau Mas Eko memilihmu, ya wajar saja karena memang yang namanya pemulung itu mungutnya sampah. Aku tidak masalah dia mau mungut sampah seperti kamu karena barang berharga sepertiku tidak pantas dimiliki oleh pemulung tidak tahu diri seperti Mas Eko,” jawabku lagi.“Mas ... ih, kamu tidak dengar si Lisa sudah merendahkan kita begitu. Kenapa kamu malah diam saja di situ!” seru Rara. Dia meminta pembelaan
“Mbok, apa Mas Eko dan keluarganya sudah pulang sejak tadi? Apa mereka juga sudah masuk rumah?” tanyaku pada Mbok yang sedang menyiapkan baju gantiku.“Sudah, Bu. Kira-kira 1 jam yang lalu mereka memaksa masuk. Lagi pula tadi Mbok sedang bermain sama Non Fia di teras depan. Mereka lebih banyak jadi Mbok kalah jumlah. Terus setelah dua orang penagih hutang itu datang mereka ribut di depan karena Pak Eko sempat dihajar oleh dua orang itu dan diseret sampai jalan, Bu,” jelas Mbok.“Oh ... syukurlah itu berarti Mas Eko sudah kena bogeman lebih dulu dari dua orang penagih hutang itu. Oh, ya, Mbak, apa orang banknya meninggalkan berkas untuk aku pelajari terkait penyitaan rumah kita?” Mbok terlihat bingung lalu menggeleng.“Enggak ada, Bu. Orang banknya baik. Ke sininya enggak seperti dua orang itu. Cuman memang mereka minta keterangan di mana Pak Eko berada lalu menyegel rumah ini katanya agar Pak Eko cepat melunasi sangkutannya di bank terus kan, Ibu pesan supaya pihak bank datang lagi. M
“Iya, sih, Mbok benar itu bagus. Hanya saja tidak segampang itu mengambil kunci rumah. Pasti mereka punya duplikatnya. Mungkin satu-satunya cara adalah kita mengganti semua kunci rumah ini dan rumah itu dengan begitu si pelakor dan juga Mas Eko beserta keluarga benalu itu tidak akan bisa masuk ke rumah ini ataupun rumah pelakornya. Apa Mbok bisa bantu?”“Bisa dong, Bu. Nanti Mbok akan hubungi si Mamang sayur itu. Dia kan, kerja jadi tukang kunci juga, Bu. Semoga saja rencana kita berjalan lancar ya, Bu?”“Aamiin ... semoga saja, ya, Mbok. Ya, sudah aku mandi dulu Mbok aku minta tolong sama Mbok, cek semua baju-baju aku dan juga perhiasanku. Sebenarnya perhiasannya rnggak banyak sih, Mbok karena beberapa sudah aku simpan di brankas hanya beberapa perhiasan yang sering aku pakai saja. Kalau ada yang kurang Mbok laporan padaku. Setelah ini aku akan datangi si pelakor itu.“Baik, Bu. Ya, sudah sana mandi keburu Magrib. Aku mengiyakan dan segera masuk kamar mandi, mengguyur badanku yang
“Mas! Tolong!”“Lisa, cukup keterlaluan kamu! Mas, tahu kalau Rara salah, tapi tidak sepantutnya kamu melakukan ini padanya dan apa tadi kamu bilang aku ini sampah? Kamu ya, Lis, semakin nglunjak saja tidak ada hormatnya sama sekali pada suami!” jawab Mas Eko. Dicengkeramnya tanganku lalu dihempaskan dengan kuat sampai aku mundur beberapa langkah. Sakit sih, tapi aku coba untuk tahan.“Kalau kamu bukan sampah lalu apa? Pemulungnya? Kan, aku sudah bilang berkali-kali bahwa hanya pemulung yang memungut sampah di jalanan. Mas tahu kan, apa maksudku?”“Cukup Lisa! Kupingku pedes mendengar ucapanmu yang semakin tidak benar. Cincinnya sudah ada di tangan kamu, kan? Lebih baik sekarang kamu pulang lalu renungkan kesalahanmu,” pinta Mas Eko.“Aku merenungkan kesalahanku? Sepertinya aku tidak punya kesalahan, Mas. Walau bagaimana pun juga yang namanya perempuan apalagi statusnya adalah istri, dia tidak akan pernah salah. Harusnya kamu yang ngomong seperti itu untuk diri kamu sendiri, Mas. Ngac
“Apa katamu? Aku pelacurnya Mas Eko? Aku ini istrinya, istri sah juga,” sahut Rara tidak terima. Aku hanya tertawa saja mendengarkan ocehan dia.“Iya, aku tahu kamu itu istri sahnya Mas Eko, tapi jalur ilegal di mata negara. Kamu juga harus garis bawahi bahwa kamu hanya dibutuhkan Mas Eko untuk memuaskan ranjangnya. Itu namanya apa kalau bukan budak seks?! Terserah kamu terima atau tidak aku katakan seperti itu toh, nyatanya kamu memikat Mas Eko dengan pelayanan ranjangmu, tapi bukan hanya itu saja, aku rasa Mas Eko pun menikahimu sepenuhnya bukan karena cinta, tapi 90% karena nafsu. Kamu tahu kan, di mana pun laki-laki keranjang hanya lihat dari pelayanannya saja. Memuaskan atau tidak. Dan tentu saja rayuan maut mereka mampu membuat laki-laki buaya buntung macam Mas Eko bertekuk lutut. Kalau kamu tidak terima aku katakan sebagai pelacur, ya, terserah dan kalau kamu tidak percaya sekarang tanyakan saja pada Mas Eko. Dia menikahimu karena apa,” jawabku seraya kusunggingkan senyu
“Iya, Ibu benar sekali itu aku yang buang karena rumah ini adalah milikku. Aku yakin sekali bahwa rumah ini dibeli pakai duitku. Ibu dan kamu wahai pelakor, harus paham bahwa yang mencari uang selama ini adalah aku. Semua harta yang aku dapatkan dalam pernikahanku dengan Mas Eko atas hasil kerja kerasku dan kenapa aku datang ke sini, Bu? Karena menantu kesayangan ibu ini sudah maling cincin berlianku.”“Maling? Mak—sudnya maling gimana? Memang apa salahnya kalau kamu berbagi dengan Rara. Kamu ngasih dia, jadi kalian itu akur tidak ada masalah. Karena dia adik madumu,” jawab ibu. Beliau tetap saja kekeh membela Rara.“Oh ... tidak bisa, Bu! Apa yang aku miliki tidak akan pernah aku bagi kepada orang lain selain sampah. Kalau Ibu menyuruhku berbagi dengan cara begitu ya, salah besar. Cukup suami saja yang aku bagi karena suami seperti Mas Eko begitu adalah seonggok sampah yang tidak berguna, jika pemikiran Ibu seperti itu apa susahnya kalau perhiasan Ibu satu saja dibagikan kepada men
“Ehh, kamu, ya, dasar menantu tidak punya sopan santun sama sekali!” Ibu menoyor kepalaku. “Memang kamu sudah fitrahin aku, hah! Aku ini orang tua. Kamu harus hormat padaku. Eko kamu juga kenapa diam saja Lisa memperlakukan Ibu begini!? Kamu itu jadi laki-laki harus tegas harus membela ibumu. Ingat ya, Eko, selamanya surga kamu ada di telapak kaki Ibu bukan pada Lisa, jadi kamu tidak pernah takut pada dia,” kata ibu sementara Mas Eko hanya diam saja.“Aku akan hormat dengan orang tua yang mau menghormatiku juga, tapi setelah aku pikir-pikir memang Ibu itu cocok sekali dengan kalian karena sama-sama benalu dan sama-sama tukang maling makanya Ibu membela Rara”“Ya, ampun! Ini mulut ya, makin kurang ajar saja” jawab ibu. Beliau mulai salah tingkah. Aku hanya tersenyum sinis padanya.“Cukup Sudah jangan diperpanjang lagi. Mas, pusing dengarnya bisa-bisa Mas ini sakit lagi. Kalau kalian tidak pernah akur begini,” sahut Mas Eko.“Kalau kamu mau menyudahi ini semua hanya satu caranya Mas,