Elok Puspa Keinan menikah dengan Damar Wira Nugraha atas dasar kesepakatan kedua belah pihak orangtua. Badai pernikahan datang semakin kencang ketika Damar memadunya. Elok ingin bertahan. Namun, cinta baru yang manis datang menawarkan kehangatan untuknya.
View More“Wah, ada apa ini?”
Elok bergumam melihat rumah yang tiba-tiba saja banyak ornament khas perayaan. “Tadi pagi Mas Damar enggak bilang apa-apa kalau di rumah mau ada acara.” Elok kembali berbicara sendiri. Seharian Elok pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi wajahnya dan baru pulang menjelang senja. Keadaan rumah yang sepi lalu tiba-tiba ada beberapa pekerja yang memasang berbagai bunga di sudut-sudut ruangan membuat Elok mencari seseorang. “Mbak!” panggil Elok pada asisten rumah tangganya yang melewatinya seraya membawa sapu. Asisten tersebut berhenti. “Mana Mas Damar?” “Oh, Pak Damar pergi, Bu. Saya enggak tau ke mana.” Asisten rumah tangga yang Elok tahu bernama Susi itu menjawab datar. Elok mengangguk mengerti. “Makasih, Mbak,” jawabnya. Elok memerhatikan Susi yang pergi tanpa berbicara sepatahpun padanya. Sesaat, Elok menghela napas melihat tingkah tidak sopan Susi. Elok ingin menegur tetapi dia sadar, dirinya pun bukan siapa-siapa di rumah itu. Itulah yang Damar katakan padanya berulang kali setiap kesabaran pria itu menipis melihatnya. “Elok!” Suara Rima yang merupakan Ibu mertuanya membuat Elok menoleh ke sumber suara. Rima menuruni anak tangga dengan cepat. “Kamu ngapain masih berdiri di situ? Cepat ganti baju!” Elok menatap Rima bingung. “Saya juga ganti baju, Ma?” Rima memutar matanya. “Emangnya Damar enggak bilang sama kamu?” Elok menggeleng masih dengan ekspresi bingung. “Tadi pagi Mas Damar enggak bilang apa-apa, Ma.” Memang benar, Damar bahkan tidak mau melihat wajahnya saat dia pamit mau bertemu dengan dokter. “Aduh!” Rima menepuk dahinya dengan nada kesal. “Kamu enggak tanya? Ada acara apa setelah ini? begitu? Bisa jadi Damar lupa.” Elok menggeleng. Mana kepikiran dia untuk bertanya pada Damar yang tergolong tidak memedulikan keberadaannya. Hal itu terjadi selama satu tahun pernikahan mereka. “Kamu itu!” Rima berdecak. “Sana pakai gaun yang bagus! Kita mau merayakan ulang tahun pernikahanmu dan Damar.” Mendengar itu, membuat hati Elok berbunga. Senyumnya mekar sempurna seperti bunga matahari yang dia tanam di taman belakang rumah utama yang dekat dengan rumah kecil, begitulah mereka menyebut rumah dengan luas 40 meter persegi di belakang rumah utama. “Kok Mas Damar malah enggak kasih tau saya, Ma?” Elok kemudian kecewa. “Mungkin lupa. Sana cepat ganti baju kamu itu.” Rima melihat Elok dari atas sampai bawah. “Heran Mama sama kamu. Suka banget pakai pakaian lusuh begitu.” Elok tidak menggubris. Dia berjalan cepat menuju kamarnya. Dia berusaha untuk berpikir baik pada Damar. Dia berpikir bahwa Damar sebenarnya peduli padanya walau ditutupi dengan sikap yang menurutnya menyebalkan. Di kamar, Elok sibuk memilih dan mematutkan diri di depan cermin besar. Beberapa gaun pesta berbagai warna dan model tergeletak di atas tempat tidur. Siap untuk dipilih yang menurutnya terbaik dan tercantik. Sebagian besar gaun itu milik Rima yang tidak terpakai lagi lalu diberikan padanya dengan alasan ketinggalan zaman. Padahal menurut Elok semua gaun itu bagus. Akhirnya Elok memilih gaun terusan sederhana berwarna biru muda. Dia berusaha berdandan cantik untuk acara pesta ulang tahun pernikahannya itu. Elok memerhatikan jam di dinding. “Mas Damar belum pulang juga? Padahal sudah jam setengah tujuh.” Kemudian menghela napas pelan. “Apa yang mau aku harapkan dari dia? Datang memeluk aku? Mimpi!” Tidak bisa dipungkiri, dia ingin Damar bersikap baik padanya. Dia ingin seperti kebanyakan pasangan lain yang dengan bangganya memperkenalkan istrinya. Sejurus kemudian Elok menyentuh wajahnya. Akhirnya, Elok berusaha untuk bersikap biasa saja dengan wajahnya. “Aku harus bisa menerima wajah ini. Selamanya.” Diteguhkan hatinya lalu keluar kamar. Elok berusaha menyapa para tamu yang sudah berdatangan. Dia tidak kenal semua tamu yang datang itu. Yang jelas menurutnya mereka semua memiliki selera berpakaian yang sangat bagus. Dan, mereka datang berpasangan. Memperkenalkan pasangan masing-masing pada rekan yang dikenal. Elok tersenyum tipis karena masih belum melihat keberadaan Damar. “Elok, sini ikut.” Damar tiba-tiba saja menarik Elok menjauh dari kerumunan pesta yang diadakan di ruang tamu rumah itu. “Mas?” Elok menurut dibawah tarikan Damar. “Dari mana saja?” Damar menatap Elok. “Bukan urusan kamu,” jawabnya ketus. “Ikut saya sini.” Kemudian pria itu mengajaknya masuk ke kamar mereka. Di dalam kamar, sudah ada Rima dan Arya yang merupakan kedua orang tua Damar. Senyum yang tadi Elok ulas akhirnya luruh. Elok tahu bahwa ada yang tidak beres. “Ada apa, Mas?” Elok menatap Damar yang masih mencengkeram lengannya. “Saya mau menikah lagi.” Damar berkata yang membuat Elok seperti tersambar petir. “Dan kamu harus menyetujui niat Damar.” Arya menimpali. “Apa?!” Napas Elok mulai tersengal.“Gilang…” suara Elok lirih, parau, ketika membuka matanya pagi itu. Dia menoleh ke arah pintu kamar, seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata.Gilang muncul dengan langkah tenang sambil membawa dua cangkir teh. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya. Aku di sini. Kamu aman.”Elok menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya di tepi ranjang. “Rasanya… aneh. Bangun tidur tanpa dengar suara Mama Rima yang ngetok pintu, tanpa harus buru-buru ke dapur.”“Kalau gitu, mulai biasakan. Karena mulai hari ini, kamu enggak lagi bangun untuk mereka,” jawab Gilang sambil menyerahkan secangkir teh hangat. “Aku buat teh. Minum dulu.”Elok menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap uapnya yang mengepul. “Terima kasih, Lang. Aku… masih belum percaya semua ini nyata.”“Percaya saja,” Gilang menepuk bahunya lembut. “Karena sekarang kamu bener-bener bebas.”Udara pagi masuk lewat jendela rumah tua itu, membawa aroma kayu lama bercampur embun. Elok duduk di kursi rotan di ruang tamu, sesekali m
“Dengan ini, majelis hakim memutuskan… perkawinan antara penggugat Elok Puspa Keinan dan tergugat Damar Arya Nugraha dinyatakan putus karena perceraian.”Kalimat itu menggema di ruang sidang yang hening. Elok menunduk, kedua tangannya meremas ujung kerudungnya hingga kusut. Hatinya bergetar hebat. Seolah setiap kata yang keluar dari mulut hakim itu menjadi palu yang menghancurkan dinding terakhir kehidupannya yang lama.Dia tahu, sejak awal tidak ada cinta. Pernikahan itu lahir dari paksaan, luka, dan tekanan. Tapi tetap saja, mendengar kata ‘putus’ begitu resmi dari mulut hakim, seakan-akan sesuatu yang besar dalam hidupnya ikut runtuh.“Sidang selesai. Panitera akan menyerahkan salinan putusan dalam waktu dekat,” ucap hakim menutup persidangan.Elok mengangguk lemah, tidak mampu berkata apa-apa. Saat ia berdiri, langkahnya terasa goyah. Gilang yang sejak tadi menunggu di kursi pengunjung langsung menghampiri.“Elok,” bisiknya lembut sambil menyodorkan sebotol air. “Minum dulu. Kamu
“El, sudah siap?” suara Gilang terdengar pelan, hati-hati, ketika mobil berhenti di depan gedung pengadilan agama.Elok menarik napas dalam-dalam. Jemarinya dingin, padahal udara Jakarta siang itu panas terik. Dia mengangguk pelan sambil menatap bangunan bercat putih itu—tempat yang akan menentukan nasibnya. “Aku… enggak tahu bisa disebut siap atau enggak. Tapi aku enggak mau mundur lagi.”Gilang tersenyum tipis lalu meraih tangan Elok sebentar. “Enggak ada yang minta kamu sempurna hari ini. Yang penting, kamu berani. Dan itu sudah cukup.”Elok menunduk berusaha menahan gemetar. Sejak semalam dia tidak bisa tidur. Kata ‘cerai’ begitu berat di telinganya, meski hatinya tahu itulah jalan keluar.Ruang sidang tidak terlalu besar. Dindingnya polos dengan lambang negara terpampang jelas di belakang kursi hakim. Elok duduk di sisi penggugat bersama kuasa hukumnya sementara kursi di sisi tergugat kosong.Hakim memasuki ruangan, suara palu diketuk. “Sidang perkara perceraian atas nama Elok P
“Mas, apa yang sebenarnya kau lakukan tadi?” suara Anjani menusuk tajam, terdengar dari balik pintu kamar ketika Damar baru saja masuk. Tubuh lelaki itu masih tegang, napasnya memburu, wajahnya merah padam karena emosi.Damar melempar jasnya sembarangan ke kursi. “Jangan tanya macam-macam, Anjani. Aku lagi enggak mau dengar ocehanmu.”Anjani melipat tangannya di dada. “Enggak mau dengar? Kau habis bentak-bentak Gilang sampai suara kalian terdengar ke seluruh rumah. Dan aku yang harus menanggung malu di depan pembantu-pembantu.”Damar menoleh tajam. “Kau pikir aku peduli?” balasnya kesal. “Itu semua salahmu! Kalau saja kau lebih menjaga Elok, dia enggak akan sampai kabur seperti ini!”Mata Anjani melebar, lalu ia tertawa kecil. Tawa dingin dan penuh sindiran. “Jadi sekarang salahku? Kau yang dari dulu enggak pernah bisa mengendalikan hatimu sendiri, Mas. Kau kira aku enggak tahu? Kau mulai goyah, kan? Mulai menyukai Elok yang kau hina-hina dulu.”Damar mendengus kasar mendengar ocehan
“Lang, kamu yakin mau datang sendiri?” suara Elok terdengar cemas dari seberang telepon. Napasnya terdengar tidak tenang.Ini adalah pagi hari berikutnya. Setelah pembicaraan kemarin malam, Elok memutuskan untuk tidur di rumah orang tuanya. Pagi setelah sarapan nasi uduk, Gilang berangkat menuju rumah besar itu. “Enggak usah ikut.”Begitu yang Gilang ucapkan ketika dia hendak bersiap-siap ganti gamis. Gilang menggenggam ponselnya erat. Dia sedang berdiri di trotoar seberang rumah besar itu, menatap bangunan yang dulu juga sempat dia tinggali. “Elok, aku harus. Gugatan ini enggak bisa diwakilkan lewat orang lain. Kalau aku kirim pengacara, mereka bisa pura-pura enggak tahu. Aku mau mereka dengar langsung.”Elok terdiam sesaat. “Aku takut… kamu tahu sendiri, Damar dan Papamu enggak akan tinggal diam.”Gilang menarik napas panjang, lalu menatap ke arah pagar hitam menjulang. “Biar aku yang hadapi. Kamu sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian. Kali ini, biarkan aku berdiri di d
“Aku masih ingat hari itu,” ucap Elok pelan, suaranya hampir tenggelam. “Hari pernikahan. Semua orang bilang aku beruntung… dapat Mas Damar. Tapi aku tahu, Lang… aku sama sekali enggak pernah setuju. Aku cuma tunduk. Aku pikir kalau aku nolak, Ibu yang sakit makin disakiti. Jadi aku diam.”Elok duduk di lantai ruang tamu, cahaya lampu yang redup memantulkan bayangan di wajahnya. Di tangannya, buku nikah bersampul hijau itu terbuka, memperlihatkan lembaran yang menuliskan nama dirinya dan Damar berdampingan. Suaranya pecah di ujung kalimat. Elok memejamkan mata, dan ingatannya berputar saat dia memakai gaun putih yang dikenakannya kala itu dan wajah Damar yang dingin saat mengucapkan ijab kabul, serta tatapan penuh tekanan dari Arya dan Rima yang duduk di kursi keluarga. Semua serba indah di mata tamu, tapi baginya itu adalah penjara.Tangannya menggenggam buku nikah itu lebih erat. “Sejak hari itu… aku enggak pernah merasa jadi diriku sendiri lagi.”Gilang duduk di sampingnya lalu di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments