Share

02 | Disukai Sepenuh Hati

Aninda Ghea

Seluruh perempuan di dunia ini pasti setuju denganku, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam polos itu tampan. Apalagi, kalau cowok yang sedang memakai kaos hitam itu adalah orang yang kita sukai. Mau pura-pura tidak memperhatikan pun rasanya sulit. Mata ini, tanpa disuruh selalu mencuri-curi pandang padanya.

“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku menahan senyum saat Lambang bertanya seperti itu padaku, suara berat milik Lambang yang sudah kuhafal diluar kepala, membuat mataku spontan menatap wajahnya yang kini sedang duduk di hadapanku.

“Oh, gak apa-apa kok, Lam. Udah gak apa-apa kok ini.” Aku berujar dengan sehalus mungkin, berharap Lambang akan bertanya kembali.

“Syukur deh kalau udah gak apa-apa.” Aku langsung menghela napas saat lagi-lagi Lambang mengakhiri percakapan kami seperti ini. Dia lalu tersenyum, sambil menenggak sprite, minuman kesukaannya.

“Jangan banyak-banyak minum soda, Lam.” Lambang tidak menjawabnya, dia hanya terkekeh dan meminum minumannya lagi. Niat hati ingin membuka obrolan kembali, tapi sayang dia tidak tertarik.

Beautiful, nih salepnya, pakai gih biar gak sakit bahunya. Eh, Lam, Tissa mana?” aku menoleh dan menemukan Syailendra yang sudah berdiri disampingku. Sepertinya dia terburu-buru datang ke rumahku, sampai tidak sempat mengganti pakaian kerjanya.

“Tissa di kamar mandi, Ndra, lagi ganti baju.”

“Gak lo tungguin?”

“Ngapain gue tungguin?”

“Yaaa jaga-jaga aja, takutnya ada apa-apa kan di kamar mandi?” apa sih Syailendra? Ampun deh!

“Yaudah, coba bentar gue cek deh,” dengan tersenyum, Lambang bangkit lalu berjalan menuju kamar mandi rumahku.

“Kamu nih apaan sih?! Emangnya Tissa anak kecil apa segala harus di tungguin pas di kamar mandi?!” Aku langsung mengomel ketika Syailendra sudah duduk disampingku.

“Itu lebih baik daripada dia berduaan begini sama kamu.”

“Berlebihan kamu, Ndra.”

“Iya, iya. Aku berlebihan. Udah, ini pakai dulu salepnya.”

“Gak perlu, tadi udah di pakaiin sama Tissa di mobilnya Lambang.” Syailendra langsung mengangguk-anggukan kepalanya lalu menaruh salep nyeri otot itu di meja taman halaman belakang rumahku.

Tadi, aku, Lambang dan Tissa sedang bermain tenis. Kenapa hanya kami bertiga? Karena Syailendra masih bekerja. Setiap akhir pekan, kami memang selalu menghabiskan waktu bersama. Double Date, begitu orang-orang bilang.

Rencana kami, malam hari ini ingin ngumpul biasa saja di rumahku sambil bakar-bakar ayam atau ikan. Itu ide dari Lambang yang langsung kami setujui. Oleh karenanya, sambil menunggu Syailendra pulang bekerja sore hari tadi, Tissa mengajak kami untuk bermain tenis dulu. Tapi siapa sangka, bahuku malah keram dan kaku karena terlalu banyak set yang kami mainkan.

Ya setidaknya aku cukup puas melihat wajah khawatir Lambang karena melihatku yang kesakitan, aku tidak memberitahu Syailendra perihal bahuku yang sakit, kupikir nanti juga akan sembuh dengan sendirinya tapi Tissa malah memberitahu Syailendra, jadilah cowok dengan stelan kerja yang sudah awut-awutan itu datang dengan cepat ke rumahku.

“Eh, Ndra? Lo langsung kesini? Gak baik dulu? Biasanya balik dulu ganti baju?” aku mendongak, baru sadar kalau Tissa sudah berdiri sambil melipat baju kotornya. Syailendra hanya tersenyum, lalu menoleh padaku yang sedang mencari-cari seseorang.

“Lambang mana?”

“Pulang, ambil ayam yang dia pesan ke ibunya tadi. Jadi kan bakar-bakarnya?”

“Jadi lah,” jawabku, Tissa menarik bangku untuk duduk, setelah duduk, dia memberikan Syailendra teh kotak yang memang sudah ada di meja.

“Buru-buru banget lo kayaknya, Ndra.” Aku mendengar Syailendra tertawa geli.

“Iya, tapi tetep gak guna sih buru-buru juga.”

“Gak guna?” Tissa mengangkat sebelah alisnya, sementara aku mengambil sedotan teh kotak yang tadi Tissa berikan kepada Syailendra untuk aku buka plastiknya.

Tissa ini temanku, teman semasa SMA, semasa kuliah dan teman sekantorku. Kami sudah berteman cukup lama, sampai kami terlalu saling mempercayai.

“Mau ganti baju kamu?”

“Enggak usah lah, gini aja emang kenapa? Aku tinggal lepas dasi sama jas aja, kok. kenapa? Kamu malu? Penampilanku gak keren kayak Lambang?” aku melotot saat Syailendra berkata seperti itu, reflek kucubit saja pinggangnya. Bukannya mengaduh dia malah terkikik geli sambil mengambil sedotan dari tanganku dan mulai meminum teh kotaknya.

“Apa sih kamu ngomongnya?!” Syailendra tertawa keras sambil mengigit sedotannya, karena dia langsung menoleh padaku saat aku berkata seperti itu mau tak mau aku juga memaksakan tertawa kecil, agar Tissa tidak salah paham dengan apa yang tadi Syailendra katakan.

“Becanda sayang,” Syailendra mengusap-usap kecil kepalaku tanpa melepaskan senyum geli di wajahnya. Sebelah tangannya masih memegang teh kotak, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi teh kotak kemasan itu seperti sedang di remas kecil oleh tangan Syailendra.

Syailendra Akbar Gibran

“Ghe, bahu lo masih sakit?” aku berhenti melangkah saat melihat pacarku sedang duduk berduan dengan cowok yang dia taksir setengah mampus. Agak kesel sih, cuma gimana ya, aku hanya tidak ingin Ghea meminta putus dariku dengan alasan aku yang terlalu posesif atau berlebihan padanya.

Menyebalkan bukan? Orang yang ingin kamu pertahankan adalah orang yang selalu ingin lepas darimu. Aku bukannya tidak tau atau tidak peka dengan Ghea yang selalu membuatku kesal karena selalu membandingkan-bandingkan diriku dengan Lambang, tapi berpura-pura bodoh dan selalu sabar adalah jalan paling baik menurutku, karena jika aku terbawa emosi, maka bisa dipastikan hubungan kami sudah berakhir sejak lama.

Jangan menyukainya. Jangan membangga-banggakannya. Jangan membanding-bandingkannya dengan aku. Ingin aku mengatakan seperti itu pada Ghea, tetapi aku takut, dia marah dan memilih pergi.

Aku ingat dulu, pernah sekali bertanya pada Ghea, kenapa dia bisa sampai menyukai Lambang sampai sebegitunya. Lalu, dengan raut wajah yang cantik, sorot mata yang bahagia dia mengatakan kalau Lambang itu mengagumkan. Lambang itu, penyayang, manis, dan selalu memperlakukan pasangannya dengan baik.

Lalu aku bertanya lagi, kenapa dulu dia mau menerimaku padahal dia sedang dan masih menyukai orang lain. Tau apa jawabannya? Katanya, aku terlihat seperti laki-laki yang tidak setia, aku terlihat sekali playboy-nya, aku terlihat sekali tidak bisa membahagiakan pasangannya. Dan yang paling penting, katanya, saat aku memintanya menjadi pacarku, raut wajahku tidak serius. Tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus. Karena itulah dia menerimaku, karena aku terlihat ingin main-main dengannya. Makannya dia menerimaku, dan mengatakan bahwa aku juga harus menerimanya yang menyukai orang lain.

Bahkan, meyakinkannya seratus, ribuan, atau bahkan miliyaran kali bahwa aku mencintainya pun terasa percuma. Dia tetap tidak akan mempercayai itu.

Aku harus bagaimana? Dengan pasanganku yang masih menyukai orang lain?

Karena mencintai Ghea, aku jadi membenci wajahku yang seperti fakboi abis ini. Padahal kalau disejajarkan Lambang dengan aku jelas jauh beda. Gantengan aku kemana-mana, ah iya benar. Ini bukan soal fisik, tapi hati. Menurut Ghea, Lambang itu punya hati yang tulus, bersih dan bersinar layaknya seseorang yang belum pernah melakukan dosa.

“Syukur deh kalau udah gak apa-apa.”

Dan aku bisa langsung melihat jika pacarku itu sedang salah tingkah saat ini. Kalian, pernah gak sih? Sayang banget sama seseorang sampai mikir kayak gini “Ini gue kenapa bodoh banget sih?”

“Jangan banyak-banyak minum soda, Lam.”

Aku melongo waktu mendengar Ghea mengatakan itu pada Lambang, aku aja, yang jadi pacarnya, yang udah jungkir-balik bikin dia senyum karena aku, gak pernah tuh diingetin buat 'jangan banyak-banyak minum soda' padahal dia tau, aku cowok yang paling gak bisa banyak minum soda.

Setelah menghembuskan napas, mencoba sabar menahan kesal yang makin jadi, akhirnya aku melangkahkan kaki mendekati mereka. Lihat, suara pantofel yang berjalan mendekati mereka saja tidak membuat Ghea menoleh padaku. Padahal, aku sudah mengetuk-ngetuk kakiku dengan keramik halaman rumah Ghea sekencang mungkin tapi cewek itu masih gak sadar. Tatapan mata itu masih memuja sosok Lambang yang duduk di hadapannya.

Beautiful, nih salepnya, pakai gih biar gak sakit bahunya. Eh, Lam, Tissa mana?”

See? Muka Ghea langsung gak enak waktu aku nyampe. Boro-boro nyapa bilang 'Eh, sayang' ini nerima salep yang aku kasih aja enggak.

Pada akhirnya, yang memperjuangkan setengah mati akan kalah dengan dia yang disukai sepenuh hati. Karena dari sanalah rasa cinta itu akhirnya tumbuh, dan tentunya percakapan-percakapan yang hadir pun terdengar lebih menyenangkan.

.

.

.

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status