Aninda Ghea
“Lho, Ge? Masih di sini? Gue kira lo udah balik.” Aku sedang menunggu Syailendra, katanya dia akan datang menjemputku. Dia mengajakku makan malam bersama dengan keluarganya dan katanya aku harus ikut, tidak boleh menolak. Dan yang tadi bersuara itu Tissa.
“Lagi nungguin Lendra, Tiss. Lo udah mau pulang?” Tissa mendudukkan diri di sampingku, saat ini kami masih berada di loby kantor.
Tapi tumben dia sendiri? Biasanya dia selalu pulang dengan Lambang, apa mungkin Lambang lembur?
“Iya, nih. Baru beres kerjaan gue, jadi baru keluar sekarang deh. Eh, Ge, gue boleh nebeng sama lo aja gak baliknya? Lambang lembur soalnya.”
“Tumben dia lembur? Biasanya on time terus dia baliknya?”
“Dia lagi meriksa referensi dan latar belakang beberapa karyawan baru, dengar-dengar sih, ada yang main curang makannya Lambang mencak-mencak terus dari tadi.”
Tuh kan... Lambang tuh emang se-keren ini memang. Banyak hal yang membuat aku tertarik padanya salah satunya ya ini, Lambang yang baik, adil dan jujur.
Mungkin ini memang terdengar jahat banget, tapi jujur aku sudah naksir Lambang jauh sebelum Tissa berkata padaku bahwa Lambang sedang mendekati dirinya. Aku yang waktu itu sempat berpikir untuk mendekati Lambang lebih dulu akhirnya mundur teratur karena ternyata dia mendekati sahabatku.
Lalu aku bertemu dengan Syailendra. Pengacara itu, dulu menangani kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan pacar kakakku.
Mulanya, aku tidak pernah berpikir akan menjalani hubungan dengan dia, sampai akhirnya dia—Syailendra terus mengangguku dengan alasan menanyakan tentang kakakku. Sampai akhirnya aku sadar jika itu hanyalah sebuah modus.
Sejak awal bertemu aku sudah mengatakan padanya jika aku menyukai orang lain yang juga tidak menyukaiku. Dia menerima itu, dan terus menunjukkan ketertarikan dirinya padaku. Padahal, aku sudah beberapa kali menolak dirinya tetapi dia terus datang sampai akhirnya aku menerima dia dengan sebuah syarat.
Jangan melarangku untuk terus mengagumi Lambang, jangan melarangku untuk dekat-dekat dengan Lambang dan jangan pernah menyuruhku melupakan Lambang, karena jika semua itu dia lakukan maka aku akan pergi darinya.
Tapi sepertinya dia sudah terlalu sayang denganku, buktinya? Meski kadang kesal denganku dia tetap memperlakukan aku dengan baik dan berlaku selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa padahal kami sedang berdebat kecil tentang Lambang saat itu.
Jika kalian bertanya tentang perasaanku terhadap Syailendra, maka sayang adalah jawabannya.
Syailendra itu baik dan humoris, meskipun wajahnya fakboi abis tapi hatinya Hello Kitty sekali. Dia pernah dua kali menangis karena aku, karena aku memilih untuk pergi darinya, karena aku memilih untuk terus membanding-bandingkan dirinya dengan Lambang terus agar dia memilih untuk pergi sendiri dari aku. Tetapi tetap saja itu tidak berhasil, ketika melihat dia menangis aku jadi tega untuk pergi.
Padahal aku jelek, aku juga tidak pernah memberikan pelukan ketika dia sedang bersedih, bahuku tidak pernah menjadi penopang kelapanya ketika dia sedang ingin berlaku manja denganku, pun dengan setiap obrolan kami, aku selalu menyelipkan topik Lambang di dalamnya. Brengseknya, dia selalu meladeni aku dan berlaku seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Orang-orang seperti Syailendra ini berpotensi membuatku akhirnya merasa bersalah sekali padanya. Aku, seperti orang yang jahat sekali padanya. Seolah-olah memang, aku tidak pernah mengerti perasaannya.
Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi, sejak awal aku sudah memberitahunya berhubungan denganku hanya akan membuatnya sakit hati. Tapi memang dasar dianya bebal. Terus menerus mendekat seolah-olah hatinya sudah siap hancur berkali-kali.
Berbeda dengan aku, ibuku malah justru menyukai Syailendra. Wajarlah jika Syailendra disukai oleh ibu dan juga keluargaku karena siapa yang bisa menolak pesona seorang pengacara terkenal seperti Syailendra. Dengan tampilan yang oke, dompet tebal juga Mercedes Benz e-class yang mengkilap membuat dia makin tidak bisa ditolak oleh keluargaku.
“Yaudah bareng aja, Tiss, gak apa-apa.” Kataku pada akhirnya.
“Mau mampir ke Mall dulu, Ge? Mumpung kita balik jam segini.”
“Enggak deh, gue mau ke rumah Syailendra, Tiss.”
“Mau ngapain?”
“Makan malam.”
Tissa ber-oh panjang, dia mengambil ponsel dari tasnya. Sambil sesekali melirik ke arah lift.
“Enak banget diajak makan malam terus sama calon mertua,”
“Emangnya lo belum pernah ketemu orangtuanya Lambang?” mendengar kalimatnya tadi, aku spontan bertanya seperti itu.
“Belum, Ge.” Tissa berkata lirih.
“Masa sih, Tiss? Gue kira lo udah say hello ke keluarganya Lambang, mengingat sikap dia yang gak macem-macem gue kira keluarga kalian udah pada saling mengenal.” Kulihat Tissa menekuk bibirnya ke bawah, sepertinya aku salah bicara.
“Lo tau Ge, kadang-kadang gue pernah merasa iri banget sama lo. Punya pacar kayak Syailendra.” Aku mencibir dalam hati, cih. Enak apanya!
“Kenapa lo bisa mikir gitu?”
“Syailendra kelihatan tulus, jujur dan juga apa adanya.” Ujarnya membuat aku memutar bola mata. Dia jujur? Yang benar saja!
“Syailendra gak sejujur itu, Tiss.”
“Kadang yah Ge, lo tuh kayak kurang menghargai keberadaannya Syailendra. Lo terlalu sering memperhatikan orang lain sampai lupa kalau disamping lo juga ada orang yang perlu lo perhatikan.” aku terdiam, Tissa... Apa dia...
“Sebenernya, Ge. Dia itu cemburu tapi dia diam. Sebenarnya juga Ge, gue tau, tapi gue juga sama kayak Syailendra. Diam.”
.
....GHEAAku dibawa ke rumah sakit oleh Tissa dan juga Syailendra, apa yang mereka pikirkan saat menolongku aku tidak tahu. Yang aku tahu adalah Tissa yang menangis saat dia melihatku di dalam kamar dalam kondisi yang tidak mau aku jelaskan, lalu dia pun menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Dia terus mengusap punggungku tanpa mengatakan apapun, karena mungkin memang hanya itulah yang bisa dia lakukan, mengusap punggungku dan kemudian menangis. Syailendra tidak berbicara apapun padaku, sampai saat ini sampai kami tiba di rumah sakit dia tidak berbicara apapun padaku. Di UGD ini, aku hanya di temani Tissa, Syailendra sedang berada di luar ruangan menunggu Ibuku datang.Padahal aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak usah memberitahu kan Ibuku soal kondisiku saat ini, dan memang benar dia tidak memberitahukannya kepada Ibuku tapi dia malah memberitahu kakakku, jadilah sekarang Ibuku mengetahui bagaimana kondisi anak bungsunya saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hi
TISSAAku berkali-kali mendapati Syailendra bergerak gelisah saat mengemudi. Berkali-kali pun jawabannya saat menanggapi obrolannya denganku tampak tidak nyambung, singkatnya. Syailendra sedang tidak fokus saat ini dan sialnya aku tahu kenapa dia jadi tidak fokus seperti itu. Berkali-kali aku memikirkannya, berkali-kali itu juga aku jadi kesal dibuatnya.Aku tidak bertanya kenapa kakaknya Ghea menelpon dan mengirimnya pesan, telponnya memang tidak dia angkat tetapi pesannya dia baca sehingga hal itulah yang membuat aku jadi kesal sendiri sebab setelahnya Syailendra terlihat sekali tidak fokus saat ini. Untungnya, hanya aku yang ikut di mobil Syailendra kalau betulan Mamaku juga ikut disini, bisa dipastikan suasana akan berubah menjadi canggung.Sejujurnya, aku penasaran sekali tentang apa isi pesan kakaknya Ghea kepada Syailendra sehingga pesan itu bisa membuat Syailendra menjadi seperti ini. Tapi, disatu sisi pun aku merasa bahwa aku tidak berhak bertanya sebab aku bukan siapa-siapa
SYAILENDRAPagi hujan, siang cerah. Kondisi cuaca Jakarta memang tidak bisa dipresiksi semaksimal mungkin, aku hampir saja merutuki cuaca karena mereka hari ini aku terpaksa datang dengan salah konstum. Kalau tahu siang hari ini tidak akan turun hujan juga seperti pagi hari tadi, mana mau aku datang ke kedai kopi kakaku dengan swetter panas begini.Yah, tapi apa mau dikata deh. Sudah kejadian, lagipula mau datang pakai baju apapun aku, aku yakin aku masih dan akan sangat terlihat tampan.Hahaha ...Kok aku geli sendiri ya mendengarnya? Biarlah, aku kan jomlo, tidak ada yang memuji aku ganteng lagi sekarang jadi biarkan saja aku memuji diriku sendiri saat ini."Kenapa sih?""Hah? Apa? Apa yang kenapa?""Kamu kenapa?""Aku?" aku menunjuk diriku sendiri saat Tissa bertanya aku kenapa, aku kamu dengan Tissa memang hal yang baru tapi entah kenapa aku nyaman dengan kata ganti Lo-Gue diantara kami ini. "Aku kenapa?""Kayak orang bingung." Tissa menggaruk kecil hidungnya, kemudian melemparkan
GHEAMalam minggu kemarin, aku tidak pulang ke rumah Ibuku. Aku juga tidak masuk lembur, padahal hari sabtu kemarin adalah hari dimana aku seharusnya bekerja lembur tapi aku tidak melakukannya sebab Lhambang tidak memperbolehkan aku untuk pergi ke kantor. Jadi, dari pada wajahku kena tampar lagi olehnya lebih baik aku menurut saja dan mengatakan kepada pihak kantor kalau aku sedang sakit.Yah, walaupun aku tidak menjamin alasan itu akan diterima oleh atasanku mengingat lembur kemarin adalah aku yang meminta sendiri dan aku juga yang membatalkan senaknya. Aku meminta lembur karena aku butuh uang lebih diakhir bulan nanti, tentu saja untuk mengganti uang yang aku pinjam untuk Lhambang, aku berjanji untuk menggantinya meskipun aku meminjam uang tersebut kepada kakakku."Ghe?" Itu suara Lhambang, yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri Lhambang di dalam kamar, aku tidak mau kena omel lagi hanya karena aku terlalu lama menghampirinya padahal katanya jar
TISSASelimut yang masih menyelimuti tubuhku, pendingin ruangan yang masih menyala serta hujan yang mengguyur bumi menjadi saksi bahwa hari mingguku kali ini benar-benar sangat nyaman. Masih menscroll media sosial, dari satu aplikasi lalu ke aplikasi berikutnya jam sembilan pagi ini aku masih betah tidur-tiduran diatas kasurku.Tumben sekali, biasanya Ibuku akan masuk kamar lalu menyuruhku untuk bangun. Setidaknya untuk membantunya membereskan rumah yang sebenarnya selalu rapih ini atau sekedar olahraga bersama keliling komplek dan berakhir singgah di pasar untuk membeli kebutuhan rumah. Tapi hari minggu kali ini agak berbeda, sedikit lebih tenang dan sedikit lebih membahagiakan karena ketika aku bangun ada satu pesan yang selalu aku mimpikan untuk masuk ke dalam ponselku ketika pagi tiba. Yap! Chat dari Syailendra yang berhasil membuat pagiku yang sedang mendung ini menjadi lebih berwarna.Pesannya memang bukan sebuah pesan yang romantis, dipesan itu Syailendra hanya membalas pesanku
SYAILENDRAHari ini aku berjanji untuk berkunjung ke rumah Tissa, tapi sebelum berkunjung aku sudah menyempatkan diri datang ke tukang martabak pinggir jalan. Bukan abang-abang yang sedang berdagang di pinggir jalan melainkan di sebuah toko yang letaknya kebetulan berada di pinggir jalan, katanya ayahnya Tissa sangat suka martabak telur di tempat ini sebab itulah aku membelikannya martabak telur saja sebagai bawaanku malam ini. Karena aku bingung, apa yang harus aku bawa ke sana. Niatku hanya ingin bertamu karena Ibunya Tissa mengundangku untuk makan malam, jadilah aku ke sana malam hari ini selepas pulang bekerja. Ini pun aku datang agak telat, biasanya memang aku pulang sore tetapi tadi ada sedikit pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga makanya aku datang agak terlambat sedikit."Ndra!" Seseorang memanggil namaku dari arah belakang, ketika aku menoleh. Aku sudah menemukan seseorang yang sangat aku kenali sekali.Karena itulah, sembari tersenyum aku melangkah mendekatinya