Share

03 | Pasanganku

Aninda Ghea

“Lho, Ge? Masih di sini? Gue kira lo udah balik.” Aku sedang menunggu Syailendra, katanya dia akan datang menjemputku. Dia mengajakku makan malam bersama dengan keluarganya dan katanya aku harus ikut, tidak boleh menolak. Dan yang tadi bersuara itu Tissa.

“Lagi nungguin Lendra, Tiss. Lo udah mau pulang?” Tissa mendudukkan diri di sampingku, saat ini kami masih berada di loby kantor.

Tapi tumben dia sendiri? Biasanya dia selalu pulang dengan Lambang, apa mungkin Lambang lembur?

“Iya, nih. Baru beres kerjaan gue, jadi baru keluar sekarang deh. Eh, Ge, gue boleh nebeng sama lo aja gak baliknya? Lambang lembur soalnya.”

“Tumben dia lembur? Biasanya on time terus dia baliknya?”

“Dia lagi meriksa referensi dan latar belakang beberapa karyawan baru, dengar-dengar sih, ada yang main curang makannya Lambang mencak-mencak terus dari tadi.”

Tuh kan... Lambang tuh emang se-keren ini memang. Banyak hal yang membuat aku tertarik padanya salah satunya ya ini, Lambang yang baik, adil dan jujur.

Mungkin ini memang terdengar jahat banget, tapi jujur aku sudah naksir Lambang jauh sebelum Tissa berkata padaku bahwa Lambang sedang mendekati dirinya. Aku yang waktu itu sempat berpikir untuk mendekati Lambang lebih dulu akhirnya mundur teratur karena ternyata dia mendekati sahabatku.

Lalu aku bertemu dengan Syailendra. Pengacara itu, dulu menangani kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan pacar kakakku.

Mulanya, aku tidak pernah berpikir akan menjalani hubungan dengan dia, sampai akhirnya dia—Syailendra terus mengangguku dengan alasan menanyakan tentang kakakku. Sampai akhirnya aku sadar jika itu hanyalah sebuah modus.

Sejak awal bertemu aku sudah mengatakan padanya jika aku menyukai orang lain yang juga tidak menyukaiku. Dia menerima itu, dan terus menunjukkan ketertarikan dirinya padaku. Padahal, aku sudah beberapa kali menolak dirinya tetapi dia terus datang sampai akhirnya aku menerima dia dengan sebuah syarat.

Jangan melarangku untuk terus mengagumi Lambang, jangan melarangku untuk dekat-dekat dengan Lambang dan jangan pernah menyuruhku melupakan Lambang, karena jika semua itu dia lakukan maka aku akan pergi darinya.

Tapi sepertinya dia sudah terlalu sayang denganku, buktinya? Meski kadang kesal denganku dia tetap memperlakukan aku dengan baik dan berlaku selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa padahal kami sedang berdebat kecil tentang Lambang saat itu.

Jika kalian bertanya tentang perasaanku terhadap Syailendra, maka sayang adalah jawabannya.

Syailendra itu baik dan humoris, meskipun wajahnya fakboi abis tapi hatinya Hello Kitty sekali. Dia pernah dua kali menangis karena aku, karena aku memilih untuk pergi darinya, karena aku memilih untuk terus membanding-bandingkan dirinya dengan Lambang terus agar dia memilih untuk pergi sendiri dari aku. Tetapi tetap saja itu tidak berhasil, ketika melihat dia menangis aku jadi tega untuk pergi.

Padahal aku jelek, aku juga tidak pernah memberikan pelukan ketika dia sedang bersedih, bahuku tidak pernah menjadi penopang kelapanya ketika dia sedang ingin berlaku manja denganku, pun dengan setiap obrolan kami, aku selalu menyelipkan topik Lambang di dalamnya. Brengseknya, dia selalu meladeni aku dan berlaku seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Orang-orang seperti Syailendra ini berpotensi membuatku akhirnya merasa bersalah sekali padanya. Aku, seperti orang yang jahat sekali padanya. Seolah-olah memang, aku tidak pernah mengerti perasaannya.

Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi, sejak awal aku sudah memberitahunya berhubungan denganku hanya akan membuatnya sakit hati. Tapi memang dasar dianya bebal. Terus menerus mendekat seolah-olah hatinya sudah siap hancur berkali-kali.

Berbeda dengan aku, ibuku malah justru menyukai Syailendra. Wajarlah jika Syailendra disukai oleh ibu dan juga keluargaku karena siapa yang bisa menolak pesona seorang pengacara terkenal seperti Syailendra. Dengan tampilan yang oke, dompet tebal juga Mercedes Benz e-class yang mengkilap membuat dia makin tidak bisa ditolak oleh keluargaku.

“Yaudah bareng aja, Tiss, gak apa-apa.” Kataku pada akhirnya.

“Mau mampir ke Mall dulu, Ge? Mumpung kita balik jam segini.”

“Enggak deh, gue mau ke rumah Syailendra, Tiss.”

“Mau ngapain?”

“Makan malam.”

Tissa ber-oh panjang, dia mengambil ponsel dari tasnya. Sambil sesekali melirik ke arah lift.

“Enak banget diajak makan malam terus sama calon mertua,”

“Emangnya lo belum pernah ketemu orangtuanya Lambang?” mendengar kalimatnya tadi, aku spontan bertanya seperti itu.

“Belum, Ge.” Tissa berkata lirih.

“Masa sih, Tiss? Gue kira lo udah say hello ke keluarganya Lambang, mengingat sikap dia yang gak macem-macem gue kira keluarga kalian udah pada saling mengenal.” Kulihat Tissa menekuk bibirnya ke bawah, sepertinya aku salah bicara.

“Lo tau Ge, kadang-kadang gue pernah merasa iri banget sama lo. Punya pacar kayak Syailendra.” Aku mencibir dalam hati, cih. Enak apanya!

“Kenapa lo bisa mikir gitu?”

“Syailendra kelihatan tulus, jujur dan juga apa adanya.” Ujarnya membuat aku memutar bola mata. Dia jujur? Yang benar saja!

“Syailendra gak sejujur itu, Tiss.”

“Kadang yah Ge, lo tuh kayak kurang menghargai keberadaannya Syailendra. Lo terlalu sering memperhatikan orang lain sampai lupa kalau disamping lo juga ada orang yang perlu lo perhatikan.” aku terdiam, Tissa... Apa dia...

“Sebenernya, Ge. Dia itu cemburu tapi dia diam. Sebenarnya juga Ge, gue tau, tapi gue juga sama kayak Syailendra. Diam.”

.

.

.

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status